01 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Ekonomi Syar’i sebagai Alternatif

Ekonomi Syar’i sebagai Alternatif

Ajaran ekonomi syar’i bertujuan agar keluarga di suatu negara menjadi kuat secara ekonomi, di samping negaranya kokoh kemampuan ekonominya

AJARAN syaríi memperbolehkan kepemilikan pribadi (private property) dengan menentukan cara memilikinya,  memberikan izin kepada individu untuk mengolah harta miliknya, dan bagaimana cara mengelolanya.


Selain itu, memperhatikan perbedaan kuat dan lemahnya akal dan fisik manusia sehingga selalu membantu individu yang lemah, mencukupi kebutuhan orang yang memerlukan, dan mewajibkan kepada manusia mengingat di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak bagi para fakir miskin.

Sistem ekonomi kapitalis dengan paradigma trickle down effect yang mengutamakan upaya penumpukan modal oleh kalangan elite ekonomi, dengan harapan mereka meneteskan kekayaannya kepada orang miskin, jelas terbukti salah dan tidak menjadi kenyataan hidup. Kekeliruan itu  terletak pada kesalahan membuat asumsi sifat dasar manusia. Mereka yang berhasil menjadi kaya ternyata berperilaku makin tamak, bahkan lebih agresif menghisap mereka yang lemah dengan berbagai cara. 

Di sisi lain, ekonomi  kapitalis didominasi oleh aktivitas yang bergerak di dunia maya seperti transaksi saham, obligasi, dan perdagangan valuta asing.  Aktivitas itu  ternyata tidak menyentuh langsung kehidupan rakyat dan tidak juga bisa  dirasakan manfaatnya secara nyata  oleh penduduk  pada umumnya.

Sebaliknya aktivitas itu meningkatkan kesenjangan  antarindividu dalam memenuhi kebutuhannya, sebagaimana kondisi di negara ini. Maka harus diwujudkan adanya keseimbangan antarindividu dalam mengupayakan distribusi baru, yang bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
Ajaran syaríi dapat memberi alternatif solusi prinsip ekonomi makro atau ekonomi pembangunan yang substansinya jelas jauh berbeda dari ekonomi kapitalis. Ajaran ekonomi syariat bertujuan agar semua keluarga di suatu negara menjadi kuat secara ekonomi, di samping negara sebagai lembaga yang kokoh kemampuan ekonominya. Dengan kekokohan kondisi ekonomi di tingkat keluarga dan di tingkat pemerintahan maka kesejahteraan ekonomi bangsa-negara sebagai suatu tatanan sosial akan terjamin berkelanjutan (sustainable).

Status ekonomi masyarakat amat dipengaruhi oleh kondisi politik, budaya, hukum, pendidikan, serta keamanan nasional  dan internasional. Kompleksitas kehidupan sosial ini dijawab oleh ajaran syaríi dengan memberikan syariat yang utuh, terkait dengan pengelolaan sosial-kemasyarakatan, dengan mengajarkan epistomologi sosial, bukan sekadar ajaran moral umum yang abstrak dan multiinterpretatif.

Dalam lingkup kepemimpinan, syariat menegaskan keharusan suatu lembaga dipimpin oleh orang beriman, taat, bervisi syariat, dan sesuai kompetensinya. Dalam bidang pendidikan misalnya, syariat mengharuskan anak didik diajar tentang  keimanan dan ketakwaan secara operasional dan nyata, selain ilmu pengetahuan empiris yang terkait dengan sunnatullah.
Ekonomi Waris Dalam bidang hukum, syariat mewajibkan masyarakat diatur oleh hukum dan peraturan yang bersumber dari Allah SWT dalam bentuk huddud, qisas, dan taízir .Dalam bidang budaya, syariat mengharuskan manusia menjaga kehormatan, menutup aurat, dan ketat terhadap hubungan  laki-perempuan (hubungan bebas). Dalam bidang ekonomi, syariat mengharuskan diterapkannya  prinsip ekonomi syaríi yang berintikan ekonomi waris dan pengembangan baitul-mal disertai prinsip kemaslahatan, kejujuran, berkeadilan, dan noneksploitatif menuju kemantapan ekonomi  keluarga dan negara.

Karena itu, kalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi  tersebut dengan memasok rakyat yang fakir dengan harta  yang diambilkan dari baitul mal, yang merupakan milik seluruh kaum. Dengan pasokan tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi, hanya saja ini tidak termasuk dalam kategori anggaran tetap belanja baitul mal namun sebatas solusi terhadap kondisi tertentu, dengan harta tertentu pula.

Ajaran syariat tegas memberi garis bagaimana substansi berbagai aspek kehidupan sosial itu harus dilaksanakan  secara serentak dalam suatu pemerintahan supaya mampu menyejahterakan umat dan bangsa..

Upaya mencapai akhlak yang baik, dalam proses ekonomi misalnya, jelas diperlukan kebijakan politik dan pengembangan budaya yang mendukung. Pada saat yang sama juga diperlukan penegakan hukum yang mendidik namun tegas dan menjerakan. Maka di sinilah kemudian tampak betapa kondisi ekonomi itu tidak cukup hanya ditentukan oleh kebijakan teknis ekonomi melulu.

Demikian halnya, kalau terjadi penyimpangan di benak  manusia dalam menerapkan hukum syaríi karena pemahaman yang keliru atau kebobrokan pihak negara menerapkan sistem maka kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan individualis. Hal ini sekaligus menyebabkan rusaknya pengelolaan hak milik  pribadi  sehingga  terjadi kerusakan distribusi kekayaan kepada individu atau kelompok tertentu. 

Karena itu, keseimbangan di tengah anggota masyarakat tersebut harus dijaga, atau kalau belum ada harus diwujudkan. Pandangan hidup menyeluruh seperti ini berbeda dari cara pandang penganut paham sekuler, yang ukuran keberhasilannya juga amat picik, yakni meningkatnya  pertumbuhan ekonomi dalam skala  makro. Dengan cara berpikir seperti itu maka kegiatan politik  menjadi ajang mencari kekayaan-nafkah bagi pelaku politik itu sendiri.
Kegiatan pendidikan juga dikomersialisasikan, begitu pula kegiatan keamanan-ketertiban, bahkan budaya dan kesenian pun didorong berlomba guna menghasilkan kekayaan materi. 

Jelas bisa dipahami bahwa kultur masyarakat sekuler berorientasi kekayaan dan materi belaka. Karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi lewat mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan, kuatnya rasa kasih sayang antarsesama, ketenteraman-kebahagiaan hati, dan keberhasilan surgawi dalam kehidupan nanti sesuai dengan fitrahnya.

Kenyataan dalam falsafah hidup inilah yang membedakan  antara penganut kapitalisme dan pemeluk syariat .Rasullulah adalah contoh pribadi yang jelas dalam memberi penilaian makna kemanusiaan yang benar. Beliau menggunakan aspek nonmateri dalam proses kehidupan, yakni betapa pun berkuasanya beliau di dunia politik kekuasaan itu  bukan dipakai untuk memupuk kekayaan dan menikmati kemewahan hidup duniawi tapi diabdikan untuk mengajarkan nilai kemanusiaan yang berorientasi pada kebenaran yang diajarkan Allah SWT  dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, ataupun berbangsa-bernegara.

Lebih jauh mengutip Amsyari bisa dijelaskan bahwa ajaran   Islam yang utuh dan kaffah jelas memberi alternatif solusi prinsip ekonomi makro atau ekonomi pembangunan yang substansinya jauh berbeda dari ekonomi kapitalis. 

Pembangunan ekonomi nasional menurut ajaran Islam  terletak pada upaya mengangkat kesejahteraan di tingkat keluarga  dan negara  serta bergerak secara nyata dalam aktivitas ekonomi dalam proses kehidupan bermasyarakat .
Pasalnya, kondisi ekonomi bangsa jelas tidak akan berdiri sendiri dalam arti kata indepenen dari kondisi soisal kemasyakatan yang lain. (10)

— Hajjah Wuryanti Koentjoro, doktor ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Unissula  Semarang


Wacana Suara MErdeka 1 Maret 2010