Oleh Gun Gun Heryanto
satu hal yang layak diberi catatan akhir dari prosesi Pansus Bank Century sejak Desember hingga awal Maret ini adalah liputan media massa. Setiap hari berbagai media, baik cetak, radio, televisi, maupun media online, intensif membingkai pemberitaan Bank Century. Kasus Bank Century memang isu seksi, memenuhi kriteria nilai berita sekaligus layak menjadi menu utama media karena sarat kontroversi dan menjadi sorotan publik. Di satu sisi, banyak media telah berupaya menghadirkan perannya sebagai ruang publik (public sphere) berkaitan dengan kasus ini. Namun, di sisi lain, banyak juga media yang lekat dengan kepentingan ekonomi-politiknya sehingga kasus Bank Century tak lebih dari sekadar komoditas.
Ruang publik
Apresiasi yang tinggi sudah sepatutnya kita sampaikan kepada para insan pers yang tak henti-hentinya mewartakan setiap dinamisasi yang terjadi di Pansus Bank Century kepada khalayak. Jika dilihat dari perspektif literasi politik, media massa cukup memberi kontribusi pada pendidikan politik warga negara.
Lantas, di mana posisi strategis media dalam pemetaan kasus ini?
Pertama, satu perkembangan menarik dalam konteks demokratisasi informasi dan politik di Indonesia adalah disepakatinya siaran langsung dan terbuka hampir seluruh rapat pansus. Hal ini memberi keleluasaan bagi media untuk melaporkan, menelisik, juga memublikasikan dinamisasi pansus secara cepat, transparan, dan kritis. Media menghadirkan berbagai sepak terjang anggota pansus, mencatat track record, konsistensi, serta reliabilitas ucapan dan tindakan mereka. Jika seseorang atau sekelompok orang dari suatu fraksi ataupun partai politik berkhianat atas sikap kritis mereka, seperti kerap mereka ekspresikan melalui media, tersedia cukup banyak file untuk menghukum mereka di kemudian hari. Publikasi media yang luas dan intensif ini cukup membatasi ruang gerak politisi dalam berbagai manuver lobi dan negosiasi mereka.
Kedua, bingkai media massa telah turut memberi fokus pada ranah diskursus publik. Penguasaan opini publik, debat, perang urat saraf, dan persuasi di antara para anggota pansus telah diberi ruang oleh media. Mereka secara langsung dapat berbicara dan menjelaskan kepada publik mengenai aktivitas pemeriksaan guna mengurai benang kusut Bank Century ini.
Begitu pun masyarakat, mulai dari pengamat, peneliti, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan masyarakat awam telah banyak difasilitasi media untuk mengartikulasikan opini mereka masing-masing. Perlahan, tetapi pasti, bingkai isu mengerucut pada empat upaya identifikasi pelanggaran hukum, yakni dalam proses akuisisi dan merger, fasilitas pendanaan jangka pendek, kebijakan dana talangan (bailout), dan aliran dana. Keempat isu ini menjadi penting dalam perhatian khalayak karena media juga menempatkannya sebagai sesuatu yang penting.
Ketiga, media massa juga berperan penting dalam peneguhan (reinforcement) gerakan sosial-politik yang muncul dari simpul-simpul kekuatan rakyat. Berbagai pemberitaan kritis media telah mentransformasikan skandal Bank Century yang mulanya isu elitis menjadi isu publik dan masif. Publik pada akhirnya merasakan bahwa kasus Bank Century sebagai bagian persoalan rakyat Indonesia karena turut mencederai idealisasi demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks inilah, banyak media massa menunjukkan perannya sebagai ruang publik. Menurut Jurgen Habermas dalam esainya, ”The Structural Transformation of the Public Sphere”, ruang publik merupakan wilayah yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan praktik pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan umum. Media turut membentuk kepekaan publik (sense of public) selaku pemilik mandat. Negara pun tak bisa lagi membatasi, apalagi menjadikan media sebagai ideological state apparatus.
Komodifikasi
Selain apresiasi, kritik juga sepatutnya penulis kemukakan atas peran media selama liputan Pansus Bank Century. Pertama, masih banyak media yang terjebak dalam logika akumulasi keuntungan. Kasus Bank Century diposisikan dalam konteks komodifikasi. Mengacu pada Vincent Mosco dalam ”The Political Economy of Communication” (1996), komodifikasi itu merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan.
Jika kasus Bank Century hanya diposisikan sebagai komodifikasi, tak heran produk media yang menonjol adalah sensasi, gosip, dan ulasan yang menonjolkan kontroversi dibandingkan dengan substansi. Tak ada yang salah jika media untung karena oplah atau peringkat naik selama kasus Bank Century. Yang tidak tepat adalah jika realitas simbolis yang dikonstruksi media seputar Bank Century bersifat dangkal dan tak memberikan pendidikan politik yang memadai.
Kedua, terkait dengan imparsialitas media. Jika kita perhatikan secara saksama, beberapa media massa yang sahamnya dimiliki oleh politisi yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan polemik kasus Bank Century cenderung bias. Secara halus pembingkaian berita (news framing) dari media tersebut mengarah pada posisi yang kurang objektif. Misalnya, terlihat dari pemilihan narasumber berita ataupun gelar wicara (talk show), termasuk dalam narasi teks dan program yang diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak.
Bagaimanapun, media massa memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, seyogianya media selalu memiliki komitmen pada upaya literasi politik sehingga publik kian berdaya dalam menyikapi berbagai persoalan di negeri ini.***
Penulis, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan kandidat doktor komunikasi Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 02 Maret 2010
01 Maret 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Oleh CECEP DARMAWAN Rencananya, Selasa (2/3) ini DPR akan menggelar sidang paripurna membahas hasil akhir Panitia Khusus (Pansus) Kasus Bank Century. Minggu lalu, pansus sudah usai memberikan pandangannya yang beragam. Pansus menyampaikan hasilnya berkenaan empat tema penyelidikan Pansus, yaitu soal merger dan akuisisi, pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), soal penyertaan modal sementara (PMS), dan aliran dana bail out Rp 6,7 triliun. Meski, Pansus tidak berhasil menyampaikan kesimpulan bersama dan tidak ada rekomendasi tunggal, hasil Pansus akan disampaikan ke rapat paripurna DPR, 2 Maret 2010. Di tengah persiapan paripurna itulah lobi politik dilakukan berbagai pihak, utamanya dari kubu pemerintah kepada elite-elite parpol di DPR. Di samping itu, aksi dukung-mendukung pun marak dipertontonkan. Ribuan massa pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono melakukan "Apel Kebulatan Tekad" di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (28/2). Tujuannya tidak lain turut mendukung kepemimpinan SBY-Boediono sampai 2014. Apel akbar dipenuhi oleh beberapa elemen organisasi kemasyarakatan dan sukarelawan pendukung Partai Demokrat. Tidak ingin kalah dengan kelompok pendukung SBY-Boediono, berbagai elemen mahasiswa berencana menduduki Gedung DPR selama sidang paripurna DPR pada 2 Maret. Aksi ini dilakukan, karena khawatir partai politik akan berubah sikap, khususnya Partai Golkar dan PKS. Terhadap kasus Century ini, Presiden Yudhoyono akan memberikan pidato tertulisnya. Sekadar mengingatkan kita, Yudhoyono pada akhir November 2009 pernah memberikan pidato, yang intinya ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat ditegakkan bersama. Bahkan Yudhoyono juga ingin semua desas-desus, kebohongan, dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya. Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan hak angket terhadap Bank Century, SBY menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat. Berikutnya Yudhoyono mengatakan, yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Presiden pun menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini. Posisi Yudhoyono sebagai Presiden sudah tepat, tidak ingin melindungi yang salah dan ingin kasus ini segera diselesaikan sesuai aturan yang berlaku. Namun, entah mengapa beberapa elemen pendukung SBY, acap terkesan berlebihan memberikan dukungannya. Bahkan muncul tekanan politik kepada parpol yang berbeda haluan dengan parpol penguasa. Mulai dari wacana pemecatan menteri, pembagian ulang "kue kekuasaan" di lembaga negara, sampai pada persoalan akan membongkar kasus-kasus lain sebagai efek domino kasus Century ini. Padahal barangkali Yudhoyono sendiri tidak seperti yang dikesankan itu. Saya yakin presiden akan bijak menyikapi hasil paripurna Pansus ini. Persoalannya, pascaparipurna Pansus, ke manakah arah politik koalisi parpol di DPR selama ini? Bagaimana posisi kabinet terkait dengan pendulum koalisi yang berubah arah? Itulah sekelumit pertanyaan publik yang menggelayut selama ini. Secara kalkulasi politik, jika Partai Golkar dan PKS terus mengambil posisi beraduhadapan dengan koalisi, memang agak mengancam posisi koalisi (PD, PAN, PPP, PKB). Namun, jika tetap solid, partai koalisi tetap masih sekitar 75 persen kursi DPR. Isu pemakzulan terhadap Boediono pun terlalu kebablasan, meskipun tidak mustahil secara teoretik. Kita berharap pemakzulan tidak terjadi hanya karena persoalan seperti ini. Namun demikian, jika hasil paripurna tanpa arah politik yang jelas, DPR akan menanggung beban politik yang berat dari rakyat. Tekanan dan desakan massa akan semakin kuat. Tidak hanya menganggap anggota DPR "masuk angin", tetapi juga akan memperburuk citra lembaga wakil rakyat itu. Teatrikal politik tak boleh terjadi di lembaga politik. Terlalu mahal ongkos politik yang harus ditebus oleh rakyat. Kongkalingkong politik pun sudah harus dihentikan. Lobi politik untuk maksud kebaikan bersama masih perlu dilakukan, tetapi bukan untuk kepentingan pragmatis yang memuluskan akal bulus. Kita sepakat bahwa jika menyangkut ranah hukum serahkan sepenuhnya kepada lembaga hukum dan DPR tidak boleh mencampuri urusan ini. Kita berikan kepercayaan kepada Polri, kejaksaaan, atau KPK untuk mengurusi masalah hukumnya. Tidak boleh keputusan apa pun atas dasar dendam politik. Hanya untuk menyingkirkan dan mencuatkan seseorang, keputusan lembaga dilegitimasi. Keputusan apa pun harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa, negara, terlebih dihadapan Allah SWT. Begitu pula, publik tetap harus mengawal skandal Bank Century ini yang telah menyedot perhatian publik dan barangkali energi dan biaya juga sudah banyak yang dikeluarkan. Meski kelantangan masih dibutuhkan, tetapi etika politik dan fatsoen politik tetap harus dikedepankan. Jangan ada pihak yang merasa menang sendiri. Pansus harus arif, pemerintah mesti berbesar hati. Semua pihak memahami ranah dan lingkungannya masing-masing. Ambil hikmah atas pelajaran Century ini. Mungkin saja Century-century lain masih tersisa, tetapi cukuplah kasus Century kali ini merupakan kasus terakhir yang tejadi di republik kita ini. Ke depan, kita butuh para pemimpin yang bijak, pro rakyat, dan menghitung secara cermat bagaimana proses, implementasi, dan implikasi berbagai kebijakannya. Tidak boleh rakyat menanggung beban atas kesalahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Sudah cukup rakyat memberikan apa yang dipunyainya untuk bangsa dan negara ini, di tengah kesulitan sebagian rakyat dengan berbagai penderitaan yang menerpanya. Negeri ini masih butuh contoh sikap dan teladan politik seperti para pendiri bangsa ini tempo dulu, yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya.*** Penulis, dosen Ilmu Politik FPIPS dan Pascasarjana (S-2, S-3) Universitas Pendidikan Indonesia.