01 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Teladan Kepemimpinan dan Kejujuran

Teladan Kepemimpinan dan Kejujuran

Hasibullah Satrawi
Alumnus Al Azhar Kairo, Mesir; peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad saw. senantiasa dirayakan oleh umat Islam secara gegap-gempita. Perayaan maulid tentu bukan hanya ritual tahunan belaka atau sekadar merayakan lahirnya seorang bayi dari rahim ibunya. Hakikat perayaan maulid Nabi adalah memperingati lahirnya kepemimpinan agung dengan karakter kejujuran yang nyaris sempurna.


Dalam sebuah kitab berjudul Ad-Dardir disebutkan, dalam peristiwa ini Nabi Muhammad saw. singgah di Masjid Al Aqsha (Al Quds) untuk melakukan salat berjamaah bersama dua saudaranya sesama Nabi, yaitu Nabi Musa (Moses) as. dan Nabi Isa (Yesus) as. Adalah Nabi Muhammad saw. yang menjadi imam dalam salat berjamaah ini. Peristiwa ini terjadi sebelum Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malam (al-isra) ke puncak langit ketujuh.
Dalam konteks kekinian bangsa Indonesia, peristiwa di atas bisa dijadikan sebagai teladan baik bagi kepemimpinan nasional. Di mana antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain saling menghormati. Kepemimpinan suatu tokoh tidak harus diangkat "setinggi langit" sambil "menginjak" kepemimpinan tokoh yang lain. Karena kepemimpinan sejatinya ibarat mata rantai yang sambung-menyambung untuk terus mendorong bangsa ini maju ke depan dan mewujudkan cita-citanya.
Menurut hemat penulis, inilah makna penting salat berjamaah yang dilakukan Nabi Muhammad saw. bersama dengan Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Simbolisasi Nabi Muhammad saw. sebagai imam dalam salat berjamaah ini sejatinya dipahami sebagai penghormatan yang sangat tinggi dari "para pemimpin terdahulu" kepada "pemimpin masa kini", yaitu Nabi Muhammad saw.
Bangsa ini sangat membutuhkan teladan kepemimpinan seperti di atas. Karena sejauh ini, hubungan antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain menjadi salah satu persoalan fundamental yang kemudian melahirkan persoalan-persoalan lain yang sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan tidak baik antara para pemimpin bangsa ini kemudian melahirkan sikap-sikap yang tidak harmoni, saling curiga, atau bahkan menurunkan satu pemerintahan di tengah jalan.
Peringatan maulid Nabi Muhammad saw. sejatinya dijadikan momentum oleh semua pihak (terutama para pemimpin bangsa yang terhormat) untuk meninggalkan semua kebiasaan buruk di atas. Penyelesaian atas pelbagai macam persoalan bangsa ini membutuhkan campur tangan semua pihak, terutama para pemimpin yang terhormat. Hingga semua persoalan yang membebani pundak republik bisa terasa lebih ringan.
Dalam salah satu Hadisnya, Nabi Muhammad saw. menegaskan setiap manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban.
Hadis di atas hendak menegaskan bahwa setiap menusia mempunyai basis "kepemimpinan kecil", yaitu kepemimpinan atas seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Basis kepemimpinan kecil ini juga berfungsi sebagai ruang "uji coba" untuk menentukan apakah seseorang layak menjadi pemimpin dalam skala yang lebih besar seperti keluarga, negara atau bahkan pada tingkat global.
Bangsa ini (terutama para elite) membutuhkan reorientasi kepemimpinan dan kejujuran para pemimpin; untuk apa mereka menjadi pemimpin bangsa ini? Kalau hanya untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya, lebih baik Anda kembali pada basis kepemimpinan kecil yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada seluruh hamba-Nya; belajar mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan tangan agar tidak melakukan hal terlarang, menjaga perut agar tidak dipenuhi oleh barang-barang haram dan mengasah hati nurani agar peka terhadap persoalan yang ada.
Tentu saja, sebuah kepemimpinan harus dibangun di atas kejujuran. Nabi Muhammad saw. dikenal sebagai sosok yang jujur, bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi. Atas dasar kejujuran yang sudah terbukti ini, Nabi Muhammad saw. mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk menjadi pemimpin. Bahkan menjadi pemimpin di "negeri tetangga", Madinah, bukan di tempat kelahirannya sendiri, Mekah.
Tentu ini merupakan peristiwa langka yang sulit diulang sejarah, terutama dalam konteks kekinian. Pada umumnya seorang calon pemimpin melakukan pencitraan sedemikian rupa dengan bermodalkan uang yang tidak sedikit untuk meneguhkan diri sebagai sosok yang baik, jujur, peduli rakyat dan sejumlah kebaikan lainnya.
Akibatnya adalah mereka bukan memimpin dengan sejumlah kebaikan yang dicitrakan itu. Sebaliknya, mereka memimpin dengan watak aslinya; rakus, pembohong, mengedepankan kepentingan diri sendiri, merasa paling benar, dan watak-watak buruk lainnya.
Jangan heran bila bangsa ini terus dililit pelbagai macam persoalan hingga hari ini. Karena para pemimpin bangsa ini secara umum dipilih bukan karena kejujuran dan kebaikan yang sudah terbukti, melainkan karena kejujuran dan kebaikan yang dipaksakan melalui citra atau iklan, baik para pemimpin yang duduk di jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif

Opini Lampung Post 1 Maret 2010