Oleh SULIS STYAWAN
BERBAGAI macam bencana yang datang silih berganti terus saja ”membombardir” negeri kita mulai awal tahun ini, seakan memberi sinyal kepada kita bahwa alam benar-benar telah ”murka”. Betapa tidak, bencana banjir bandang disertai tanah longsor—dua jenis bencana yang seakan telah menjadi ”tradisi” di negeri ini saat musim hujan—datang dan ”menyapu” berbagai daerah di negeri ini.
Pun, ”parade” bencana di Indonesia semakin lengkap dengan terjadinya berbagai bencana lain semisal angin puting beliung, cuaca buruk, rob, ombak dan badai, bangunan ambruk, tanggul jebol, luapan air sungai dan waduk, merebaknya wabah penyakit menular, gempa bumi, dan kecelakaan massal moda transportasi nasional (baik laut, darat, maupun udara) yang telah merenggut puluhan nyawa anak manusia.
Peristiwa bencana alam paling mutakhir adalah tragedi tanah longsor di Perkebunan Teh Dewata di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang menyebabkan lebih dari 50 kepala keluarga tertimbun longsoran tanah.
Celakanya, terkait rentetan multibencana ini, pemerintah dan rakyat negeri ini selalu saja terkesiap, tergagap, dan bingung mau berbuat apa. Kita selalu tanpa persiapan dalam menghadapi hal yang tak terduga ini.
Tak dimungkiri, semua bencana itu bukan saja telah memorak-porandakan fisik, moral, dan mental masyarakat di berbagai daerah hingga menimbulkan kerugian materiil mencapai triliunan rupiah, tetapi juga membuat birokrasi di tingkat pemerintah daerah kian kelimpungan. Tak ada yang bisa menjamin dana penanggulangan bencana—yang jumlahnya puluhan triliun rupiah itu—bakal cukup digunakan untuk penanganan bencana hingga akhir tahun.
Ya, kini serasa tak ada satu pun tempat di negeri ini yang bisa dikatakan ”aman” dari ancaman bencana. Bencana, seakan telah ”menahbiskan” dirinya dan menjelma sebagai ”kendaraan maut” yang setiap saat siap menjadi tumpangan sang maut untuk merenggut nyawa rakyat negeri ini. Sungguh ironis!
”Reframing”
Terkait bencana alam yang akhir-akhir ini kian ”akrab” dengan kita, fenomena itu harus disikapi secara arif oleh seluruh warga, terlebih oleh para pemimpin bangsa.
Terlepas dari situasi itu, secara gamblang dapat kita lihat bahwa ternyata negeri ini amat rawan dilanda bencana. Mau tak mau, setiap bencana haruslah dihadapi karena kita tidak bisa menghindarinya. Menurut konsep ”pisau bedah” Kluckhohn, hidup bisa dilihat dalam tiga dimensi, yaitu: buruk, baik, atau buruk tetapi bisa diubah menjadi baik. Dengan cara pandang menggunakan dimensi ini maka perilaku terhadap bencana bisa dirumuskan.
Dalam konteks bencana gempa bumi, banjir, dan bencana-bencana lainnya, tak ada salahnya jika kita belajar pada negara Jepang. Jika kita cermati, baik dari segi geografis maupun kondisi geologisnya, Jepang adalah negara dengan keadaan yang hampir sama—bahkan lebih parah dari Indonesia. Berbagai potensi bencana ada di sana. Gempa, bangunan ambruk, banjir, badai, dan tanah longsor, terjadi di setiap titik pulau yang dihuni manusia.
Namun, justru dari kondisi itulah mereka kemudian bangkit dan melakukan sesuatu. Berbagai riset terkait bencana (riset kegempaan, geologis, efek runtuhan, banjir, dan tanah longsor) dilakukan, yang kemudian dimodifikasikan pada seluruh infrastruktur kehidupan mereka guna beradaptasi dengan berbagai bencana tersebut. Kurikulum mengenai cara bergerak (moving) ketika berbagai bencana terjadi juga diajarkan di sekolah-sekolah mereka.
Cara pikir inilah yang disebut sebagai reframing (pengembalian cara pandang). Frame—cara pandang—lama yang memandang bencana adalah takdir dan nasib, dapat diubah dengan frame baru yang memandang dengan cara baru pula bahwa bencana dapat kita antisipasi.
Dengan itulah, proses reframing akan menjadi perubahan yang menyeluruh dalam hidup kita, yaitu meski bencana bisa terjadi setiap menit sekalipun, kita tetap bisa bertahan hidup karena kita sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya.
Sekali lagi, harus selalu kita ingat bahwa saat ini kita tinggal di Indonesia, negeri yang selalu diancam dan ”diintai” oleh berbagai bencana, baik sekarang, nanti, dan masa-masa yang akan datang.
Kita tentu tidak ingin seperti ”dinosaurus” yang hanya bisa mati konyol karena perubahan yang tak mampu dihadapinya bukan? Akan sangat lucu tentunya, jika kita sampai mati konyol hari demi hari karena bencana yang sebenarnya bisa diantisipasi, minimal dengan kewaspadaan.***
Penulis, peneliti Center for Education Urgency Studies (CEUS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), aktivis Green Citizen Indonesia (www.indonesiahijau.org), Sekjen ”Forum Indonesia”.
Opini Pikiran Rakyat 1 Maret 2010