SUATU kota mempunyai identitas khas daerah.  Biasanya masyarakat yang berkunjung akan lebih mudah mengenang ikon kota  tersebut. Selama ini, Tegal terkenal dengan sebutan kota industri,  namun masyarakat belum banyak yang tahu, bahwa daerah itu menyimpan  benda peninggalan sejarah berumur 50-an tahun.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah itu ditandai dengan berdirinya  pusat perbelajaan modern, seperti Mal Sri Ratu Pasifik, Rita Swalayan,  di jalur menuju Jakarta dan arah selatan (Purwokerto) terdapat mal Dedi  Jaya dan supermarket-supermarket berskala medium. 
Tiap sudut kota terdapat toko atau supermarket medium modern, bahkan  sampai masuk kecamatan. Pasar ini, banyak dilirik masyarakat karena  tempatnya bersih nyaman, pelayanan yang memuaskan. Minat masyarakat  berbelanja di pasar itu cukup tinggi, pasar tradisional direnovasi mirip  pasar modern. Semata-mata memberikan fasilitas yang lebih.
Namun, pembangunan pusat modern ini, kurang memperhatikan benda  peninggalan sejarah atau benda cagar budaya (BCB). Gedung ini, tergerus  oleh kekejaman zaman. semisal rumah tua milik RA Kardinah, adik kandung  RA Kartini, berubah menjadi Mal Dedy Jaya, Keraton Kaloran berubah  menjadi halaman parkir sebuah mal, Gedung Kepatihan menjelma menjadi  Pasar Pagi, gardu listrik di tepi  alun-alun ’’lenyap’’ dan lampu  gantung pengetur arus lalu lintas di perempatan Tumpuk “hilang tak  berbekas’’.
Gedung-gedung yang masih berdiri yakni markas Kutil, tokoh revolusi tiga  daerah berubah jadi kantor bank swasta, demikian gedung transportasi  kereta api (KA) berlantai tiga yang dulu sebagai kantor biro  Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS) zaman kolonial Belanda  menjadi sekretariat PTS. Konon bangunan ini, termegah setelah bangunan  Lawang Sewu di Semarang. Di dalam gedung terdapat pernak pernik yang  memiliki estetika tinggi. Sekilas gedung itu begitu indah, jika dilihat  dari dekat cat tembok terkelupas dan di lantai atas dipenuhi sarang  walet, menyebarkan bau kurang sedap.
Di Tegal ada sedikitnya ada 100 BCB. Sebagian kondisinya terbengkalai  tak bertuan, dalam  bahasa Jawa disebut gedung suwung (kosong), pemilik  meninggalkan begitu saja tanpa ada perawatan, bahkan hampir 50 persen  dalam di ambang kerusakan. Padahal gedung itu simbol artefak perjalanan  Tegal.
Gedung tersebut, banyak dimiliki instansi swasta dan perseorangan dari  pembagian warisan. Bangunan itu dijual, hasilnya dibagi rata ke anggota  waris, mungkin saja mereka tergiur nilai jual yang tinggi. Pembeli  menyulap cagar budaya menjadi mal-mal modern sekelas di kota  metropolitan.
Tegal Keminclong Kelihatannya Pemerintah Kota Tegal ingin menjadikan daerah itu sejajar  dengan Ibu kota. Terbukti dengan slogan Tegal Keminclong Moncer Kotane  (Tegal Bercahaya Meriah Kotanya). Ketika malam sepanjang jalan kota  dihiasi kelip-kelip lampu warna-warni dan tempat hiburan yakni diskotek,  kafe ikut memeriahkan denyut kota. Bahkan beberapa hotel berbintang  dibangun di jantung kota.
Menuju kota modern, pembangunan infrastruktur terus dibenahi, dan pelaku  bisnis raksasa bergerilya mencari tempat strategis untuk membangun  usahanya. Hanya saja pebisnis itu kurang mempertimbangkan nilai BCB.  Bagi mereka (pebisnis) yang penting mendatangkan keuntungan.
Pernah suatu ketika, penulis bercakap-cakap dengan beberapa siswa SMA,  mengenai letak BCB di Tegal, rata-rata mereka kesulitan menyebutkan  tempat itu. Tapi salah satu dari mereka spontan menunjukkan jari ke  gedung tua. Dari mana mereka tahu itu cagar budaya? Jawabnya, karena  bentuknya kuno, unik, dan berbeda dari gedung-gedung di sampingnya.
Ironis sekali, seorang terpelajar kurang mengetahui sejarah kotanya  sendiri, sebaliknya mereka mengetahui tahun berdirinya mal-mal.  Seharusnya pelajar lebih tahu mengenai BCB karena sehari-hari  beraktivitas di kota itu.. 
Melihat kondisi BCB semakin mengkhawatirkan, tahun 1998, pejabat Kantor  Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan BCB  di Kota Tegal. Namun pemerintah daerah kurang merespons dengan dalih   masih kesulitan menginventarisasi mana saja yang termasuk benda sejarah  dan bukan cagar budaya, selain faktor keterbatasan tenaga arkeolog.
Terkadang kita tidak bisa menyalahkan pemilik menjual BCB itu.  Ketidaktahuan mereka pada bangunan warisan orang tua yang ternyata  mengandung nilai sejarah, sehingga sekarang pengusuran BCB tak  terbendung.
Bila merujuk keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87/P/  Tahun 1993 Pasal 5 Ayat 2 disebutkan bahwa kepemilikan, penguasaan,  pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya, harus  didaftarkan ke instansi berwenang. (10)
— Fathurozi, warga Tegal, Ketua Komunitas Mahasiswa Kreatif (KMK)  Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Wacana Suara Merdeka 01 Maret 2010