Konflik merupakan masalah sosial yang bisa terjadi kapan dan di mana saja, terutama dalam aktivitas keseharian kita. Akhir-akhir ini bentuk konflik di sekolah atau lembaga pendidikan kerap terjadi, baik yang disebabkan oleh proses belajar-mengajar yang tidak sehat maupun karena rapuhnya sistem manajemen sekolah. Akibatnya, ada siswa yang dikeluarkan karena menghina gurunya di Facebook, melanggar aturan sekolah, atau aksi demo untuk memperebutkan posisi tertentu di sekolah.
Fenomena konflik di lembaga pendidikan merupakan indikasi dari lemahnya sistem manajemen penanganan internal konflik di sekolah. Di samping tidak adanya mekanisme penanganan konflik yang dibangun berdasarkan kesadaran manajemen seperti school code of conduct yang disepakati bersama, konflik banyak disebabkan oleh lemahnya soft skills tenaga pengajar yang tidak memiliki kemampuan pendekatan psikologis dan resolusi konflik sekaligus. Jarang sekali, misalnya, ada sekolah yang memiliki manajemen konflik berbasis sekolah, baik dalam bentuk eksemplar kurikulum maupun bangunan budaya sekolah.
Tawaran pendekatan
Tricia S Jones (2000) mendefinisikan pendidikan resolusi konflik sebagai 'a spectrum of processes that utilize communication skills and creative and analytic thinking to prevent, manage, and peacefully resolve conflict'. Pengertian tersebut memberikan gambaran umum kepada kita bahwa, sebagaimana pendidikan pada umumnya, proses kreatif dalam menumbuhkan kemampuan berkomunikasi dan berpikir analitis harus menjadi acuan para guru dalam mengajarkan pendidikan damai dan resolusi konflik.
Secara pedagogis, menimbulkan tindakan nyata adalah indikator efektivitas komunikasi dan berpikir kritis yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, proses pembelajaran harus berhasil menanamkan pengertian, serta membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan ialah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi dan berpikir kritis. Ini bukan hanya memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang memengaruhi perilaku siswa.
Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) mengajukan pertanyaan menarik tentang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. "Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu RAS, bahasa, dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?รข€ Pertanyaan sangat serius itu mengundang kita untuk menjawab, bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah. Artinya, persoalan konflik, bahkan di tingkat sekolah, sangat mudah terjadi.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang kerap menimbulkan konflik di tingkat sekolah, manajemen sekolah sebaiknya mempertimbangkan untuk memasukkan agenda keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum sekolah. Menurut Ronal Ferguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa, terutama menyangkut sikap dan perilaku dalam memandang perbedaan.
Selain kebutuhan instingtif siswa dalam memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnik dalam kurikulum formal kita juga akan meminimalisasi pemahaman siswa terhadap monopoli makna kebenaran secara sepihak. Selain itu, muatan keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan juga untuk mengubah dan menambah respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya. Melalui pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru terhadap siswa juga akan berbeda. Hal tersebut dengan sendirinya akan membantu siswa dalam mengaksentuasi keragaman budaya di lingkungan mereka masing-masing (Gordy & Pritchard, 1995).
Geneva Gay dalam Culturally Responsive Teaching (2000) memberikan sedikitnya lima argumen mengapa muatan budaya dan etnik itu sangat strategis dan penting untuk ditubuhkan dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan damai dan resolusi konflik. Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek pedagogis dosen dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan sumber belajar di ruang kelas adalah textbook, memasukkan agenda budaya dan etnik ke dalam textbook merupakan keniscayaan karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru.
Ketiga, berdasarkan riset secara simultan di beberapa lembaga pendidikan, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan memiliki arti yang banyak bagi para siswa sekaligus meningkatkan apresiasi siswa dalam belajar. Keempat, relevansi muatan budaya dan etnik dalam kurikulum juga menyumbang kelestarian sejarah, budaya, dan tradisi sebuah etnis tertentu sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan apresiasi kebangsaan yang tinggi.
Kelima, biasanya muatan budaya dan etnik diambil dari berbagai sumber yang sangat kaya, bukan hanya dari buku tetapi juga dari pengalaman orang perseorangan, baik melalui wawancara maupun yang didokumentasikan dalam bentuk tayangan dan sebagainya. Artinya, sumber informasi yang sangat melimpah tentang budaya dan etnis di luar sekolah itu akan membantu baik guru maupun siswa dalam menciptakan kecintaan terhadap keragaman pola kehidupan.
Model implementasi
Paling tidak ada dua model implementasi pendekatan pendidikan damai dan resolusi konflik yang bisa ditubuhkan ke dalam budaya sekolah. Pertama melalui program workshop yang sengaja diciptakan pada tahun ajaran baru dalam rangka pengenalan dan orientasi sekolah. Nilai-nilai damai dan jenis-jenis resolusi konflik yang disampaikan melalui workshop biasanya sarat dengan kegiatan yang menggembirakan melalui sebuah proses bermain, camping, diskusi tentang keragaman, dan menonton film-film yang berkaitan dengan penciptaan budaya sekolah yang sehat dan kreatif. Pendekatan dengan model workshop akan memudahkan guru dan fasilitator untuk menciptakan pemahaman dan keterampilan mengelola konflik sekaligus menciptakan rasa damai di lingkungan sekolah. Hasil akhir dari pendekatan ini juga sangat mungkin untuk diadaptasi ke dalam sebuah bentuk kurikulum formal dan menjadi semacam student and teacher code of conduct yang diciptakan dan disepakati bersama.
Setelah mempertahankan student and teacher code of conduct secara tertulis dalam bentuk statuta, sekolah kemudian bisa mempertahankannya dengan melakukan model implementasi kedua, yaitu pengintegrasian materi-materi tentang pendidikan damai dan resolusi konflik ke dalam mata ajar yang ada di sekolah. Pengintegrasian pengetahuan dan keterampilan mengelola konflik dalam kurikulum sekolah merupakan elemen yang sangat penting dalam manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS).
Beberapa contoh proses integrasi kurikulum pendidikan damai dan resolusi konflik ke dalam mata pelajaran misalnya dapat dilakukan bahkan terhadap matematika dasar. Ketika guru sedang menyampaikan topik bahasan tentang menghitung rata-rata pendapatan dan pengeluaran sebuah profesi seperti tukang becak dan guru, menghitung anggaran pendapatan dan pengeluaran daerah, merancang anggaran proyek kelas (untung-rugi), di sini guru dapat melakukan debriefing tentang bentuk-bentuk empati terhadap aneka profesi di masyarakat, transparansi dan akuntabilitas, antikorupsi, dan kewirausahaan.
Ketika mengajarkan biologi tentang keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan mengenali aneka jenis dan karakteristik makhluk hidup, mengidentifikasi aneka teknik adaptasi terhadap lingkungan, mengenali flora dan fauna yang telah punah dan langka, serta jenis yang masih tinggi populasinya, guru juga dapat memasukkan nilai-nilai tentang perlunya kita merayakan makna perbedaan, adaptasi sosial, kelangkaan, konservasi, kearifan lokal, dan kecintaan pada lingkungan hidup. Artinya, ada banyak cara dan cerita tentang citra damai dan resolusi konflik yang dapat dielaborasi guru ketika mengajar setiap pelajaran yang diasuhnya.
Model dan pendekatan ini, di samping murah dan tak perlu repot dengan kompleksitas aturan kurikulum formal yang biasanya rigid dan melelahkan, juga akan mampu bertahan lama. Dapat dipastikan bahwa nilai-nilai tersebut akan menciptakan suasana sekolah menjadi damai dan manajemen sekolah yang mampu mengatasi kondisi konflik apa pun yang terjadi, baik guru dengan siswa, siswa dengan siswa, atau sesama guru.
Oleh Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Opini Media INdonesia 1 Maret 2010
01 Maret 2010
» Home »
Media Indonesia » Senin, 1 Maret 2010 | Metro TV | Lampung Post | Borneo News | Yayasan Sukma | Kick Andy Home Advertisiment * Home * Polhukam * Ekonomi & Bisnis * Olahraga * Sepak Bola * Megapolitan * Nusantara * Internasional * Sains & Teknologi * Humaniora * Opini * Perempuan * Hidup Sehat * Otomotif * Travelista * Kuliner * Blog * Video * Foto * Cinema * Politik Dalam Negeri * Politik Luar Negeri * Hukum * Hankam * Lainnya * Ekonomi * Bursa & Valas * Finansial & Perbankan * Bisnis & Investasi * Lainnya * Bulu Tangkis * Tenis * Basket * F1 * Moto GP * Tinju * Sosok * Lainnya * Liga Inggris * Liga Itali * Liga Spanyol * Liga Jerman * Liga Indonesia * Off Side * Lainnya * Kriminal * Trafik * Sosial * Peristiwa * Lainnya * Berita & Peristiwa * Lainnya * Piranti * Iptek * Telekomunikasi * Regulasi * E Lifestyle * Kesehatan * Pendidikan * Lingkungan * Kebudayaan * Religi * Umum * Bali - Nusa Tenggara * Jabar - Banten * Jateng - DIY * Jatim * Kalimantan * Maluku - Irian Jaya * Sulawesi * Sumatera Suara Anda | Layanan Umum | Kontak Media | Jadwal Hari Ini | Lowongan Kerja Jadwal Sholat Penerbangan Kereta Api Travel + Primajasa Polisi Pemadam Kebakaran Layanan Publik Media Online Iklan Sirkulasi Percetakan Production Publishing Advertisiment Pendidikan Damai dan Resolusi Konflik untuk Sekolah