01 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Ancaman Kinerja Pansus Century

Ancaman Kinerja Pansus Century

Albert Barita Marulam Sihombing
Alumnus Kriminologi UI
Terdapat lima ancaman yang dapat melemahkan kinerja Pansus Bank Century, yaitu pengkhianatan terhadap niat awal, ketidakpatuhan pada logika kebenaran, kesia-siaan pencarian kemasyhuran semata, inkonsistensi yang didorong pertimbangan untung rugi, dan kekurangmampuan membuat terobosan karena beratnya "beban" masa lalu. Siapkah menjadi yang terdepan untuk membongkar misteri dan menjadi sasaran pengungkapan masa lalu?


Kelima ancaman tersebut sarat "buaian dan ancaman" untuk menggeser niat nurani mengungkap kasus menjadi niatan politis dengan substansi yang berbeda berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:
Pertama, niat atau niatan? Kemenangan besar tidak akan bisa diraih tanpa ada niat untuk menang dan kemurnian niat akan berpengaruh pada pencapaian hasil. Terpilihnya ketua pansus yang bukan berasal dari tim inisiator, berlarutnya debat yang tidak mengupas substansi masalah dan gencarnya lobi-lobi politik sebenarnya dapat dijadikan indikator, adakah niat awal sedang dikobok-kobok oleh niatan tertentu? Apakah niat awal untuk menjawab pertanyaan ada tidaknya penyimpangan sudah dibumbui oleh niatan disertai jawaban yang sudah dipersiapkan? Niatan yang muncul kemudian dikhawatirkan akan menimbulkan bias dan sikap yang berlebihan terkait dengan pola ungkap masalah dan silang pendapat isu pemakzulan.
Dalam kondisi demikian, peliputan menyeluruh "apa adanya" secara live on TV dapat semakin mengingatkan anggota terhormat untuk tunduk pada logika "Siapa melawan rakyat, akan kualat".
Kedua, demi kemaslahatan atau kemasyhuran. Pansus Century terlahir karena adanya desakan publik melalui unjuk rasa dan pemberitaan bergayung-sambut gencarnya gerilya Tim Inisiator mendapatkan kuorum tanda tangan terbentuknya pansus. Saat puncak, terjadi dua pilihan, yaitu bergabung karena didesak atau terdesak bergabung. Pilihan pertama masih meninggalkan opsi adanya kerelaan untuk memperjuangkan kemaslahatan bagi rakyat sepanjang tidak merugikan partai. Namun, pilihan kedua relatif terjadi karena "terpaksa" untuk menjaga popularitas.
Bagi yang didesak maupun yang terdesak, sudah barang tentu memiliki kiat pertahanan diri agar tidak serta merta terbawa irama kelompok yang mendesak. Unjuk penyusunan kata dan pertanyaan yang tidak substantif para anggota Dewan terhormat dapat dijadikan indikator adanya upaya penciptaan opini demi menjaga kemasyhuran atau kesempatan penonjolan pribadi seolah sebagai pembela rakyat. Dalam konteks ini, maka terjadilah perdebatan sengit dengan bumbu tepuk riuh yang justru berpotensi menggeser arah perdebatan tersebut menjadi ajang penyerangan antarpribadi.
Kata "bangsat" yang dilontarkan Ruhut Sitompul merupakan bukti adanya niatan menggeser hukum positif menjadi sekadar pernyataan-pernyataan yang bernada sentimen. Ragaan yang dipertunjukan para anggota pun sempat mengundang antipati penonton kala para "yang dicurigai" diberondong pertanyaan yang sifatnya menjebak dan menjebloskan emosi pada titik pesakitan. Beruntung ragaan ini tidak berlangsung lama sehingga pemirsa masih mampu membedakan rasio dari emosi untuk berpikir logis.
Ketiga, kebenaran atau keben'ran (kebetulan). Kebenaran merupakan hal hakiki yang harus diperjuangkan, terlepas dari kekuatan yang dimiliki. Apa pun yang terjadi, kebenaran akan menyatakan dirinya secara alami. Tetapi ironisnya, sering kebenaran direkayasa atau dimunculkan kalau ada konteks kebenaran sesuai dengan niatan partai dan momentum yang cocok. Bila tidak, kebenaran akan ditutupi dengan konsep saling titip, tatap, dan tutup demi status quo yang harus dipertahankan dan dijadikan kebiasaan.
Keempat, konsisten atau konsideran. Konsistensi merupakan wujud "taat asas" terhadap sebuah komitmen, sementara konsideran merupakan wujud suatu pertimbangan. Saat tayangan live on TV, terdapat letupan yang menggiring sisi pertimbangan emosional dan logis; etiskah partai yang berkoalisi untuk berseberangan?
Letupan pertanyaan ini berpengaruh luar biasa pada pembentukan opini pro-kontra. Di satu sisi bila terjadi komitmen awal untuk membangun koalisi, pertimbangan etis untuk tidak saling menjatuhkan adalah hal yang wajar.
Sementara itu, wajar juga ketika partai-partai yang berkoalisi didorong oleh komitmen demi rakyat yang diwakilinya terpaksa "berbeda pendapat" demi etika dalam spektrum yang lebih luas. Pro dan kontra itu sendiri berpotensi untuk menggeser porsi dan menimbulkan isu baru berbuntut pemakzulan. Awal pembentukan Pansus adalah dalam rangka mengungkap ada tidaknya kesalahan. Jika terjadi kesalahan, energi yang ada seharusnya difokuskan untuk menjelaskan bagaimana kesalahan itu terjadi sehingga dapat mengungkap modus operandi, pelaku dan bukti-bukti yang dapat dijadikan pertimbangan hukum dari suatu konsistensi politik yang seharusnya beralaskan niat tanpa tedeng aling-aling.
Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso secara lugas menyatakan berseberangannya Golkar dengan Demokrat yang menjadi koalisinya harus dipandang sebagai niat untuk mendudukkan kasus Century pada porsinya secara proporsional tanpa niatan berbuntut pemakzulan. Akankah terjadi perimbangan niat yang dilandasi kebenaran dan konsistensi awal?
Kelima, terobosan atau terabasan. Momentum proses hukum yang paling spektakuler dalam sejarah hukum Indonesia adalah terobosan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara logis-kreatif berorientasi pada rasa adil di hati masyarakat: membuka rekaman percakapan rekayasa kriminalisasi KPK untuk ditonton jutaan pasang mata agar masyarakat menemukan jalan pelampiasan membuka fakta yang sering sukar mengemuka. Keberanian itu tentunya didukung upaya transparansi dan akuntabilitas lepas dari keinginan politik.
Menjadi masalah ketika upaya ini menyangkut urusan politik, transparansi dan akuntabilitas disasar dengan retorika sudut pandang yang lebih mengarah pada seni menerobos peraturan tanpa ketahuan dan menerabas informasi dalam wujud pilah dan pilih hanya yang menguntungkan! Ini yang terjadi? Akankah Pansus menorehkan guratan sejarah pada Selasa, 2 Maret 2010? Apakah fakta-fakta yang ada mampu menggiring sudut pandang yang lebih transparan? Atau akankah kepentingan politik tetap akan menutup mata dengan kekuatan imbalan dan ancaman atau adakah fakta di balik fakta lain yang masih harus diungkap sebelum mencapai suatu kesimpulan?
Siapa melawan rakyat, akan kualat! Itulah kata yang diucapkan Mahmud M.D. saat membuka rekaman Anggodo secara live on TV. Rakyat dapat menakar langsung! Semoga kehadiran Pansus, partai, dan individu yang terlibat di dalamnya dapat memberi takaran yang proporsional: Sudahkan bekerja berdasarkan niat untuk sebuah kebenaran terlepas dari kepentingan kelompok demi kemaslahatan rakyat? Mari, bersama menakarnya! n

Opini Lampung Post 1 Maret 2010