Kekhawatiran tersebut tidak sesederhana yang dikira orang. Selaku mekanisme politik yang sudah berusia dua ribu lima ratus tahun lebih, demokrasi tidak pernah diyakini secara bulat. Kebebasan yang dijamin demokrasi senantiasa dicurigai sebagai kotak pandora bagi segala kebejatan dan ketidakpatutan.
Oleh karena itu, demokrasi tidak pernah cukup pada dirinya. Dia memerlukan etika publik yang tertanam dalam setiap warga dalam bentuk kebajikan (virtue). Demokrasi perlu dilengkapi program etis terencana. Kita bisa menyebutnya pendidikan moral, pendidikan karakter, pendidikan kewargaan, pendidikan toleransi atau apa pun namanya. Demokrasi pun menjelma layaknya taman kanak-kanak.
Percakapan mengenai fungsi kebajikan dalam demokrasi bukan sesuatu yang baru. Filsuf-filsuf Yunani sudah lama membincangkan secara serius persoalan ini. Aristoteles, misalnya, menyebut demokrasi sebagai sistem politik yang kurang ideal. Demokrasi dengan mudah terjerembap ke dalam mentalitas gerombolan tanpa panduan etis yang jelas. Oleh sebab itu, Aristoteles meletakkan etika sebagai subordinat dari politik. Politik adalah seni hidup bersama dengan panduan etika publik yang membuat warga tidak sekadar hidup, melainkan hidup dengan bijak (euzen).
Otentisitas menjadi lebih penting ketimbang demokrasi. Plato, filsuf Yunani lainnya, membuat cerita bersayap mengenai narapidana dalam goa. Alkisah, sekelompok narapidana terikat di dalam goa dan melihat bayangan sebagai kenyataan itu sendiri. Namun, satu saat seorang dari mereka mampu melepaskan diri dan keluar guna menyaksikan kebenaran. Demokrasi ibarat goa. Solidaritas demokratis justru menciptakan moralitas umum yang tidak otentik. Bagi Plato, moralitas umum demokrasi perlu dikoreksi oleh filsuf-raja (philosopher-king) yang akrab dengan bentuk-bentuk sejati moralitas.
Runtuhnya Merkantilisme di Eropa menambah persoalan tersendiri bagi demokrasi. Kebebasan ekonomi yang diusung borjuasi baru semata bertumpu pada rasionalitas teknis yang mengabaikan moralitas. Adam Smith, Bapak Liberalisme Ekonomi, pun menyebut kompetisi sebagai cara menyelaraskan naluri ekonomi yang tidak mengenal moralitas sebab membicarakan moralitas pada antropologi baru pasca-merkantilisme adalah lelucon tersendiri. Smith mengatakan bahwa kita tidak mendapat makan malam dari belas kasihan tukang daging, melainkan naluri ekonominya.
Sama halnya dengan ekonomi pasar, demokrasi tidak merespons antropologi baru tersebut dengan program etis terencana. Demokrasi, layaknya ekonomi pasar, meyakini bahwa prosedur yang tepat mampu mengubah imoralitas menjadi kebaikan umum (common good). Filsuf Perancis, Rousseau, sangat percaya pada kebaikan umum. Dia menyebutnya sebagai kehendak umum (general will). Baginya, kehendak umum adalah transendensi naluri-naluri pribadi manusia yang melaluinya politik dijalankan.
Demokrasi menawarkan dua jalan prosedural untuk mencapai kehendak umum. Pertama adalah agregasi dan kedua, deliberasi. Paham agregasi memandang naluri, kepentingan, atau keinginan manusia sebagai sesuatu yang tak dapat diubah. Apa yang dipikirkan paham agregasi adalah prosedur penjumlahan keinginan guna mencapai kebaikan umum.
Di balik prosedur tersebut tersimpan keyakinan betapa suara mayoritas adalah representasi politik yang utuh. Minoritas harus menerima kebaikan umum mayoritas tanpa syarat. Penolakan terhadap kebaikan mayoritas sama halnya dengan membiarkan diri terpenjara dalam naluri sempit-pribadi. Oleh sebab itu, Rousseau pun menawarkan semacam pendidikan etis untuk menjinakkan para pembangkang sekaligus mengintegrasikannya secara total ke dalam sistem.
Paham deliberasi, sebaliknya, justru berupaya mengubah naluri, kepentingan, atau keinginan manusia melalui pecakapan publik. Percakapan publik diyakini mampu menjembatani perbedaan sekaligus mentransendensi kepentingan sempit. Partisipasi dalam percakapan publik mampu menghasilkan semacam perluasan mentalitas dalam diri partisipan. Setiap partisipan menjadi mampu menempatkan diri pada sudut pandang orang lain. Semua itu dimaksudkan guna menemukan semacam patokan publik guna menjalankan politik harian secara bijak.
Bagi paham agregasi dan deliberasi, demokrasi tidak secara langsung berurusan dengan moralitas. Dia adalah prosedur yang melaluinya semacam moralitas atau kebaikan umum mampu mengejawantah. Prosedur tersebut bisa berhasil, bisa juga tidak. Atau bahkan bisa juga tidak sahih. Ian Shapiro (2003) mengingatkan betapa demokrasi jangan difungsikan sebagai mekanisme atau prosedur penghasil kebaikan umum. Demokrasi lebih baik dipandang sebagai sarana untuk mengelola relasi-relasi kuasa dan meminimalisasi dominasi.
Demokrasi menyisakan persoalan mengenai kesenjangan antara moralitas dan legalitas, antara kebebasan dan negara. Ada dua pertanyaan penting. Pertama, perlukah kebebasan diatur secara institusional. Kedua, apabila kebebasan diinstitusionalisasikan, apakah watak aslinya tidak ternodai. Sebagian orang mungkin berkeras bahwa kebebasan tidak dapat dibiarkan tanpa rambu etis. Namun, pertanyaannya, siapakah yang berhak mendefinisikan rambu-rambu tersebut?
Legalitas dan moralitas juga perlu dibedakan. Legalitas pada prinsipnya adalah urusan negara. Negara di sini memosisikan diri sebagai koalisi dari berbagai kepentingan atau keinginan individu. Negara adalah kehendak publik yang memberikan dasar moral bagi legislasi. Moralitas, sebaiknya, adalah urusan individu. Tak ada yang mengikat individu secara moral kecuali suara hatinya sendiri. Individu bisa dibilang sepenuhnya otonom dalam soal moral. Namun, ketika yang dibicarakan adalah soal legislasi publik, patokan yang dipakai bukan suara hati, melainkan kehendak publik.
Filsuf Jerman, Hegel, menegaskan bahwa negara berfungsi mengatasi kekuatan yang merusak akibat kebebasan tanpa rambu dalam masyarakat ekonomi. Di balik premis tersebut tersembunyi keyakinan bahwa rasionalitas politik mengatasi naluri ekonomi. Negara berhak melakukan intervensi moral sebab merupakan representasi dari rasionalitas yang lebih tinggi ketimbang naluri ekonomi. Negara adalah sumber kohesi sosial yang melampaui individualitas ekonomi nan sempit dan membabi buta. Dengan demikian, ketegangan antara kebebasan dan negara pun selesai di tangan Hegel.
Persoalannya, naluri manusia tidak melulu ekonomi. Kebebasan ekonomi hanyalah satu dari sekian banyak kebebasan yang tak kalah pentingnya. Pernyataan Presiden tidak ditujukan kepada para pedagang, tetapi pendemo dan politisi. Pernyataan tersebut menyasar pada segaris naluri yang tak kalah purba dari ekonomi, yakni naluri politik. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kekuasaan harus merespons naluri tersebut sebab kekuasaan pun dibangun dari batu bata naluri yang sama.
Idealnya, negara merupakan representasi dari kebebasan dan kekuasaan sekaligus. Akibatnya, negara harus menjamin kebebasan individu dan pada saat yang sama menciptakan ketertiban dan keadilan publik. Keduanya bukan sesuatu yang saling meniadakan sebab kebebasan hanya paripurna dalam ketertiban dan keadilan publik. Negara sebagai penyelenggara ketertiban publik sesungguhnya adalah penentu ruang kebebasan yang utuh dan etis.
Pikiran-pikiran di atas menempatkan negara sebagai kepala rumah tangga moral sebuah bangsa. Kelemahannya, negara dipandang terlalu mulia dan suci. Padahal, negara diurus oleh darah dan daging yang rentan kekhilafan atau kekeliruan. Kita sulit membedakan mana kepentingan rezim dan mana kepentingan negara. Tabir yang memisahkan keduanya sungguh teramat tipis. Kita sulit mengatakan bahwa penataran Pancasila pada masa Orde Baru sungguh-sungguh bersih dari kepentingan regim.
Kita perlu belajar dari kekhawatiran seorang Wilhelm von Humboldt. Kekhawatiran Humboldt dituangkannya dalam secarik esai tua berjudul Essay on the Limits of State Action (1851). Dalam esai tersebut, Humboldt mengkhawatirkan gejala pengkultusan negara sebagai sekolah moral. Bagi Humboldt, pandangan tersebut adalah kekeliruan fatal. Humboldt pun menggariskan bahwa moralitas atau kebajikan bukan urusan negara dan berbagai aparatus ideologisnya. Negara cukup mengurus keamanan mutual dan menghapus berbagai hambatan bagi aktualisasi kebebasan. Lebih dari itu, negara terjerumus dalam totalitarianisme terselubung.
Saya pun bersatu pikiran dengan Humboldt. Bagi saya, terlalu banyak alasan untuk mengikat kebebasan, dan terlalu sedikit alasan untuk melepaskannya. Semoga republik yang kita cintai ini masih memiliki cukup alasan untuk mendengar keluhan Humboldt.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia; Penulis Buku Demokrasi Kami
Opini Kompas 02 Maret 2010