01 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Kasus Century, Kita Dapat Apa?

Kasus Century, Kita Dapat Apa?

POLITIK adalah seni kemungkinan. Pada setiap kemungkinan, atas nama apapun, harus memberikan manfaat bagi pemainnya. Jadi proses politik adalah arena political game yang muaranya adalah transaksi kepentingan. Maka, betul juga adagium yang menyatakan bahwa dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang tetap adalah kepentingan.


Kasus Bank Century di tangan Pansus Hak Angket DPR adalah arena pertandingan tersebut. Karena itu tidaklah mengherankan jika dari partai-partai dalam pansus itu akan lahir kesimpulan yang bukan hanya berbeda, melainkan  berlawanan makna. Itu yang kita lihat sekarang ini. Berbagai klaim kebenaran akan lahir dari kepentingan yang berbeda. Karena itu apapun kesimpulan akhir Pansus Century, tetap akan dan selalu mengundang perdebatan.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa muncul kesimpulan yang serbamungkin? Kesimpulan yang serbamungkin tersebut terjadi karena dalam menelaah kasus Bank Century tersebut tidak mengikuti kaidah-kaidah epitemologis.  Akibatnya, pandangan atas berbagai masalah yang mengemuka akan berbeda-beda karena berangkat dari definisi dan batasan yang berbeda pula. Lebih jauh, pandangan ini menyebabkan adanya perbedaan cara bagaimana hipotesis adanya masalah tersebut akan dimintakan konfirmasi.

Epistemologi adalah cabang dalam tradisi filsafat yang membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas atau definisi, sumber, dan kebenaran suatu pengetahuan.

Dalam konteks kasus Century, kebenaran pengetahuan yang akan dicari adalah adanya dugaan mengalirnya uang negara ke kas partai peserta pemilu; dalam hal ini kemungkinan Partai Demokrat, dan kepada calon pasangan presiden dan wapres; dalam hal ini kemungkinan SBY-Boediono. Berkaitan dengan dugaan ini, kebijakan mem-bailout Century adalah kebijakan yang diduga juga salah. Dalam rangka membuktikan hipotesis tersebut, proses pembuktian yang dilakukan Pansus Hak Angket masih menyisakan banyak ketidak-fair-an dan ketidakkonsistenan.

Jadi Acuan

Pertama, tentang dampak risiko sistemik. Dalam ranah pasar  keuangan, ada dua definisi risiko sistemik yang biasa dijadikan acuan, yakni too big too fail (TBTF) yang mengunakan pendekatan size dan too interconnected too fail (TICTF) yang menggunakan pendekatan lebih komprehensif, termasuk psikologi pasar uang (Suara Merdeka, 16 Desember 2009).

Pendekatan TBTF menggunakan pendekatan biaya akuntansi, sementara pendekatan TICTF menggunakan pendekatan biaya ekonomi.

Pansus cenderung menggunakan pendekatan TBTF dan audit BPK yang menggunakan pendekatan biaya akuntansi dengan mengatakan pendekatan TICTF  tidak terukur karena faktor psikologi tidak bisa diukur. Dari sisi definisi, pengabaian ini adalah langkah tidak fair.

Dari aspek sumber pengetahuan, Pansus Hak Angket memanggil pihak-pihak yang terkait yang cenderung setuju dengan menggunakan pendekatan TBTF, tetapi tidak memanggil pihak perbankan seperti Perbanas  dan pasar modal yang mengalami suasana krisis saat bailout dilakukan. Sangat mungkin, pihak perbankan akan setuju dengan pendekatan TICTF. Hal ini tentu juga bukan langkah yang fair dalam suatu proses objektif mencari kebenaran.

Dari sisi dampak, Pansus cenderung mengatakan kondisi ekonomi saat ini (bukan pada waktu bailout dilakukan) baik-baik saja, tetapi  tidak menggunakan pengandaian kondisi ekonomi saat ini jika tindakan bailout tidak dilakukan. Memang hal ini suatu asumsi, tetapi jangan lupa bahwa membaiknya ekonomi saat ini juga bisa diasumsikan karena tindakan bailout  saat itu. Hal inipun dirasakan juga tidak fair.

Kedua, menyangkut uang negara. Dalam mendefinisikan kerugian negara juga terjadi ketidakkonsistenan. Bahkan dua guru besar hukum yang dihadirkan di forum Pansus pun juga berbeda pandangan mengenai hal tersebut.  Berkaitan uang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang digunakan untuk mem-bailout  bank tersebut, Pansus cenderung menggunakan definisi keuangan negara sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang konsepnya mencakup aset (Pasal 2). Definisi ini cenderung menggunakan pendekatan biaya ekonomi.

Sedang pandangan lain; yang juga dijadikan acuan oleh mantan Ketua KSSK, mendefinsikan uang LPS bukan uang negara, karena uang LPS merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Definisi ini cenderung mengikuti pendekatan akuntansi. Pansus cenderung mengikuti definisi yang pertama. 

Ketiga ,tentang kerugian negara. Apa yang dimaksud dengan kerugian dan apa bentuk kerugian tersebut. Dalam hal inipun terjadi perbedaan. Ini memang masuk ranah hukum, tetapi perbedaan batasan pun sudah mulai tampak. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan akuntansi.

Karena itu, uang yang digunakan untuk mem-bailout Century dianggap bukan sebagai kerugian, sebab uang tersebut pada akhirnya akan menjadi bentuk penyertaan modal pemerintah.

Bahkan uang LPS yang digunakan untuk menjamin simpanan nasabah Century seharusnya juga bukan dianggap sebagai kerugian, tetapi sebagai kewajiban negara. Apabila kemudian nanti terbukti uang tersebut dikorupsi, maka sudah terjadi kerugian negara, baik menurut definisi akuntansi maupun definisi ekonomi.

Dengan mengacu adanya perbedaan definisi dalam membahas kasus Century tersebut, maka apapun kesimpulan Pansus Hak Angket seharusnya dilihat sebagai bukan kesimpulan final dan belum memenuhi unsur fairness.  Lebih dari itu, baik pemerintah maupun sebagian besar anggota Pansus berangkat dari definsi yang berbeda yang cenderung mengikuti definisi yang akan paling memberi keuntungan bagi masing-masing pihak dan cenderung tidak konsisten.

Karena politik itu serbamungkin, maka tidak mengherankan pula jika kasus Century ini melebar ke kasus-kasus lain.  Niat pemerintah mengangkat ke ranah hukum dugaan penghindaran pajak perusahaan Grup Bakrie dan dugaan gagal L/C salah satu petinggi partai PKS di Bank Century, sangat naif jika dikatakan tidak terkait dengan kasus Century saat ini.

Tidak relevan berdebat apakah langkah ini upaya politisasi atau bukan, toh kita juga tidak bisa menutup mata, kasus-kasus ekonomi di Indonesia selama ini tidak pernah tidak melibatkan kekuasaan.

Juga tidak bisa dikatakan tidak ada kaitannya, jika Golkar ngotot mendongkel Sri Mulyani dan hal ini tidak terkait dengan ngototnya Sri Mulyani mengejar penghindaran pajak oleh Grup Bakrie tersebut. Bahkan, ketika SBY mengangkat kasus KKN pengusaha dan politikus beberapa waktu yang lalu tetap dapat dikatakan bernuansa politis.  Bukan tidak mungkin pernyataan itu diduga sebagai bentuk serangan balik kepada lawan-lawan poliknya.

Ilustrasi ini perlu disampaikan dalam forum terbuka karena diangkatnya kasus-kasus tersebut pada saat yang bersamaan bukanlah suatu kebetulan, tetapi pasti dalam suatu desain.

Tentu kita, rakyat, sangat khawatir apabila semua itu hanya merupakan instrumen untuk saling mendelegitimasikan guna memaksa melakukan ‘’transaksi politik’’ khususnya ‘’tukar guling’’ kasus, demi kepentingan politik pula. Hal tersebut sudah mulai nampak. Kasus Century yang bermula dari dugaan mengalirnya dana bailout untuk partai tertentu dan capres tertentu, sudah tidak terdengar lagi.

Setiap partai tampaknya mempunyai target sendiri-sendiri, dan bukan tidak mungkin mereka akan saling menelikung di ujung. Jika ini terjadi, jelas rakyat yang dikorbankan dan dibohongi. Rakyat tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari kasus Century ini, walaupun semua selalu mengatasnamakan rakyat. Rakyat akan selalu tersandera oleh para politisi yang mereka pilih sendiri.

Dapatkah rakyat dan negeri ini keluar dari sandera para politikus? Harapan itu masih ada jika SBY berani dan mampu menumbuhkan harapan tersebut. Semoga, pernyataan SBY yang mengatakan dia bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah menjadi pintu pembuka harapan itu.

Kalau SBY jujur dan tidak tersangkut pada kasus Century, dan penyelamatan Century benar-benar murni karena pertimbangan untuk menghindari krisis ekonomi domestik, SBY harus berani mempertahankan para pembantunya yang kredibel dan punya integritas baik seraya menghindari ‘’tukar guling kasus’’.

Sebaliknya jika SBY mampu mempertahankan para pembantunya, terutama yang saat ini disorot hanya jika dia mau melakukan ‘’tukar guling kasus’’, misalnya dengan menghentikan kasus pajak Grup Bakrie atau lainnya, maka sesungguhnya dia membiarkan rakyat selalu dalam kondisi tersandera oleh para politikus dan rakyat tidak mendapat apapun dari kasus yang sudah membuat rakyat ini sangat lelah.

Jika ini terjadi; dan para pembantunya tersebut tidak terbukti bersalah, secara tidak langsung SBY juga telah melakukan deligilitimasi terhadap para pembantunya dan dirinya sendiri.

Karena itu, mari kita tunggu kasus Century di pengadilan yang semoga mampu menerapkan asas pembuktian yang fair. Biarkan kami, rakyat, yang sudah letih ini merasakan kemerdekaaan.(10)

— FX Sugiyanto, guru besar ilmu ekonomi Fakultas Ekonomi Undip
Wacana Suara Merdeka 02 Maret 2010