Lupakan kecamuk skandal Bank Century yang tengah  heboh. Situasinya belum terang benderang dan pusaran politiknya entah  mengarah ke mana. Mari sejenak kita lihat, betapa politik sebenarnya  mirip-mirip sepakbola. Jadi anggap saja kasus Bank Century seperti kita  nonton Liga Champions. 
Bagi  kawan yang tim favoritnya menang boleh tepuk tangan, sebaliknya, bagi  yang timnya kalah boleh sedih. Tapi tak perlu diambil hati, jangan  lama-lama sedih atau senang, segera lupakan karena itu sekadar  permainan. Just for fun.
Rumus kedua hal ini, politik dan  sepakbola, sebenarnya sama: tak ada lawan atau kawan abadi, yang ada  adalah kepentingan. Dalam sepakbola, kepentingan mewujud dalam bentuk  gelar juara, trofi, gelar pribadi, popularitas dan kekayaan yang  melimpah. Dalam politik, kepentingan itu bernama kekuasaan, kursi  kebesaran, jabatan baik eksekutif maupun legislatif, lengkap dengan gaji  selangit dan hak istimewa baik tertulis maupun tidak tertulis.
Jika  politik punya istilah koalisi, sepakbola juga punya koalisi dalam  bentuk kontrak kerja sama. Kedua hal itu sifatnya sama, setiap saat jika  terjadi perbedaan kepentingan, bisa saja pecah kongsi, putus hubungan.  Kalau dulu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa seiya sekata mendukung  pasangan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden, sekarang PKS  bisa saja mengarah ke pemakzulan Boediono. 
Di sepakbola juga  sama. Dulu David Beckham adalah pahlawan Manchester United. Stadion Old  Trafford yang punya julukan ampuh, Theatre of Dream, dulu adalah tempat  si David menyemai kebesarannya. Namun tengah pekan ini, dia akan datang  membawa bendera AC Milan dengan misi tunggal, menggusur MU dengan  selisih gol minimal dua. Hanya, dalam sepakbola, aturan koalisi alias  kerja sama diatur lebih rigid, dilindungi undang-undang bentukan FIFA  yang berlaku mutlak. Sifatnya juga lebih private, karena keputusan hanya  menyangkut perorangan. Sedangkan di politik, koalisi hanya diatur oleh  perjanjian yang bisa kapan saja berubah seiring hembusan angin politik.
Dalam  kasus Century, yang pertengahan pekan ini akan mencapai klimaksnya,  kita mengenal para pelobi politik entah dengan baju politisi, staf ahli,  atau dengan baju lain. Mereka menyiapkan deal-deal politik yang  mengarah pada penyelesaian masalah menurut versi para cukong politik.  Sedangkan di sepakbola, kita juga mengenal istilah pelobi dalam bentuk  agen pemain, tim pemandu bakat dan lain sebagainya. Di Eropa, agen  pemain adalah profesional yang bonafid, bergaji mahal dan glamor. Di  kancah politik nasional, para pelobi politik adalah para investor  politik. Kelak, mereka akan menyemai hasilnya, entah untung atau  buntung.
Sama-sama kisruh
Anehnya, di negeri kita  tercinta ini, sepak bola dan politik sama-sama kisruh. Para politisi  kita lebih sibuk mengurus kepentingannya masing-masing. Beda janji  dengan kenyataan setelah bertengger di kursi kekuasaan. Kalau tragedi  tanah longsor di Ciwidey terjadi sebelum Pemilu, tanggapan pemerintah  dan para politisi sangat mungkin berbeda kemasannya. Tidak seperti  sekarang, tragedi yang menewaskan puluhan orang itu minus perhatian para  elite politik. Kondisi sepak bola kita setali tiga uang. Tim nasional  kita selalu gagal. Terakhir tim Sea Games kita kalah dari Laos, negeri  antah berantah yang 10 tahun lalu masih jauh di bawah kita. Klub juara  liga kita juga tak mampu bersaing di level Asia, dan kisruh suporter  mulai menimbulkan korban jiwa.
Kalau dipikir-pikir, akar masalah  kisruh politik dan sepak bola kita sama. Para elite politik kita dan  para pengurus PSSI sama-sama egois, hanya memikirkan kepentingan diri  masing-masing dan menganggap sepi kepentingan rakyat, masyarakat yang  lebih luas. Elite politik kita saling tunjuk kesalahan lawan, dan enggan  mengakui kesalahan sendiri, jumawa, membusungkan dada seolah tanpa  dosa. Harap maklum, permintaan maaf secara terbuka belum menjadi tradisi  politik kita. Pengurus PSSI juga cenderung menutup diri, sulit menerima  saran dan besar kepala, meski prestasi sepak bola kita terpuruk, paling  jeblok sepanjang sejarah. Sudah begitu, PSSI berani mencalonkan diri  menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Jadi, jangan terlalu  berharap akan terjadi sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat dari kecamuk  skandal Century. Semuanya tak lebih dari sekadar sepak bola. Dan bola  itu bulat, bundar, bisa bergulir kemana pun juga, terserah kaki pemilik  kuasa….. .  - Oleh : Suwarmin Station Manager Star Jogja FM
Opini SOlo Pos 1 maret 2010 
01 Maret 2010
Menonton Century, menonton sepak bola…
Thank You!