Politisi yang kemarin mengatakan “Tuhan berada di pihak kita” pada hari ini mengatakan “opini publik berada di pihak kita”. Demikian ungkapan Pierre Bourdieu (1930-2002), sebagaimana dikutip Helena Markstedt (2007), yang menegaskan betapa penting peran opini publik dalam kehidupan demokrasi.
Kalangan pemimpin politik acapkali merujuk opini publik untuk menakar dukungan yang masih mereka terima. Apabila opini publik masih menguntungkan para pemimpin politik, maka kekuasaan mereka terasa nyaman. Sebaliknya, pada saat opini publik tidak lagi memihak para pemimpin politik, maka kekuasaan mereka pun sangat terancam.
Keadaan itulah yang dialami Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Empat fraksi dalam Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Hak Angket Bank Century, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Golkar (FPG), serta Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura), secara eksplisit menyebut kedua pejabat tinggi itu sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengucuran dana talangan (bailout) kepada Bank Century. Suara nyaring yang menyatakan Boediono dan Sri Mulyani harus mundur dari jabatannya seakan-akan makin menggema. Bahkan, pemakzulan (impeachment) bagi Boediono seolah-olah sulit lagi dicegah.
Ini semua bisa terjadi karena Pansus Century telah berhasil menciptakan opini publik yang memojokkan kedua pejabat tinggi itu. Suara atau pendapat yang memberi dukungan bagi Boediono dan Sri Mulyani makin tipis terdengar, bahkan nyaris tidak ada. Media massa yang menyoroti rapat-rapat yang dilakukan Pansus Century juga telah menempatkan kedua orang itu sebagai sosok-sosok yang wajib bertanggung jawab. Kalau pun ada pendapat yang mendukung kedua figur itu hanya dikemas amat kecil oleh media massa.
Cicak dan buaya
Bagaimanakah Boediono dan Sri Mulyani bisa semakin terhimpit oleh opini publik yang tidak menguntungkan mereka? Ada baiknya jika kita menengok kembali kasus “Cicak-Buaya” yang mengguncangkan perpolitikan kita pada akhir tahun 2009. Pada mulanya kepolisian menetapkan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah sebagai tersangka. Tapi, sangkaan yang ditujukan pada mereka tidak konsisten.
Karena polisi merasa “tidak tahan” dengan cerita kriminalisasi itu, maka aksi penahanan dijalankan. Alasan objektif dan subjektif penahanan disodorkan polisi, yakni ancaman hukuman di atas lima tahun, tersangka tak mengulangi perbuatannya, tersangka akan menghilangkan barang bukti, dan supaya tersangka tidak melarikan diri. Alasan lain yang signifikan kenapa polisi menahan Bibit dan Chandra adalah keduanya bisa melakukan jumpa pers. Hal inilah yang dikhawatirkan mempengaruhi opini publik.
Gejala ini membuktikan bahwa persoalan legalitas bergeser ke penguasaan publisitas. Wilayah pertikaian bergeser dan meluas, dari ranah hukum menuju domain media massa dan bahkan rakyat itu sendiri. Namun, mengapa sekalipun Bibit dan Chandra sempat ditahan, yang berarti mereka “dibungkam” untuk berbicara kepada media, suara yang membela mereka makin terdengar? Kenapa hanya ada segelintir pihak yang “membela” langkah yang diambil polisi? Mengapa media “membela” Bibit dan Chandra? Mengapa polisi dan kejaksaan seakan-akan terus dihakimi media?
Semua soal itu dapat diuraikan dengan sebuah acuan, yakni politik penandaan (politics of signification). Pada politik penandaan yang tidak kondusif bagi kepolisian untuk memberantas korupsi, justru watak arogan ditunjukkan aparat negara berbaju cokelat itu. Simak pernyataan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, yang mengibaratkan polisi sebagai buaya dan KPK seperti cicak. Kata-kata ini memiliki watak ideologis yang menunjukkan kejumawaan luar biasa. Politik penandaan ini menjadi kesadaran bersama bahwa KPK sengaja dikerdilkan, atau setidaknya dipandang remeh dan mudah dikalahkan. Cicak melawan buaya bukan pertandingan berimbang. Cicak itu underdog, buaya sungguh-sungguh superpower.
Hanya saja, dalam arena politik penandaan yang digelar media, justru pihak yang sengaja dianggap lemah, sepele, dan teraniaya itu mendapatkan simpati besar. Domain hukum formal dan kekuasaan politik boleh saja menjadikan polisi sedemikian berkuasa, tapi tidak demikian halnya pada ranah media. Terlebih lagi pemberantasan korupsi sedikit bergerak bagaikan riak. Satu-satunya institusi yang menjadi harapan masyarakat adalah KPK. Dalam arena politik penandaan yang digelar media, KPK yang diibaratkan sebagai cicak itu berperan sebagai sosok pahlawan. Kehadiran dan aneka gebrakannya ditunggu-tunggu sekalian rakyat. Sebaliknya, buaya berkedudukan sebagai figur penjahat yang ditolak dan dicemooh publik.
Problem moralitas
Akhirnya, dapat dibayangkan ketika pahlawan bertikai dengan penjahat, maka selemah apa pun pahlawan pasti mendapat dukungan. Opini publik yang berkembang pun tidak terhindarkan lagi pasti berpihak kepada sang cicak. Sosok buaya yang serba beringas dikalahkan dan menjadi pihak yang dilindas. Hal hampir serupa dialami Pansus Century ketika mengusut keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani. Memang ada kritik yang ditujukan kepada Pansus Century yang dianggap arogan dalam mencecar para saksi yang dihadirkan. Karena Pansus Century berhasil mengubah penampilan menjadi “figur pahlawan” yang mengungkap “kejahatan besar”, maka dukungan mengalir. Apalagi opini publik memang sering tidak mendukung pihak penguasa.
Inilah realitas media yang disebut sebagai spiral keheningan (spiral of silence). Sebagaimana dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann, spiral keheningan terjadi ketika opini yang berkedudukan sebagai mayoritas kian membesar, maka opini yang berposisi sebagai minoritas mengecil. Opini publik yang memihak Pansus Century membesar dan berkedudukan sebagai mayoritas. Opini publik yang mendukung pihak kekuasaan (Boediono dan Sri Mulyani) mengecil dan berposisi sebagai minoritas.
Spiral keheningan yang dijalankan media ini mudah terjadi terutama pada isu-isu yang berkaitan dengan problem moralitas. Perilaku yang dianggap baik dan terpuji pasti disokong media, sedangkan perbuatan yang dinilai buruk dan terkutuk otomatis disudutkan media. Perilaku masyarakat dipengaruhi gerak dari spiral keheningan ini. Gejala ini menunjukkan tiga hal. Pertama, masyarakat pada dasarnya memiliki “organ kuasi-statistik”, semacam indera keenam, yang menjadikan mereka tahu kepada pihak mana opini publik terarah. Kedua, masyarakat takut diisolasikan dan mengetahui perilaku apa yang bisa menjadikan mereka terisolasi. Ketiga, masyarakat bungkam untuk mengekspresikan pandangan minoritas karena mereka takut diisolasikan.
Fenomena itu menegaskan opini publik yang digulirkan media berkekuatan dahsyat. Sebagaimana dikemukakan Richard T Schaefer (Sociology: Tenth Edition, 2007), publik adalah sekelompok orang yang tersebar, tidak harus saling menjalin kontak, yang punya kesamaan kepentingan pada isu tertentu. Publik ialah sekelompok orang yang memfokuskan pada suatu isu, terlibat dalam diskusi, sepakat atau tidak sepakat, dan kadang-kadang bubar setelah suatu isu diputuskan. Opini publik adalah ekspresi sikap terhadap kebijakan publik yang ditujukan bagi pembuat keputusan.
Boediono dan Sri Mulyani mendapatkan sorotan negatif. Publik menganggap kedua pejabat tinggi itu terlibat dalam skandal bailout untuk Bank Century. Di sini opini publik berperan dominan. Pansus Century diposisikan sebagai sang pemenang, sementara itu Boediono dan Sri Mulyani ditempatkan sebagai pecundang. Ini bukan berarti Pansus Century sebagai “cicak yang teraniaya” dan “Boediono-Sri Mulyani sebagai “buaya yang menganiaya”. Konteks terbentuknya opini publik yang muncul dari pertikaian KPK-polisi tidak sama dengan pertarungan Pansus Century melawan Boediono-Sri Mulyani. Sehingga, harus disadari bahwa opini publik bukan kebenaran sejati, tapi ekspresi pendapat yang tidak terlepas dari permainan politik itu sendiri. - Oleh : Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Opini SOlo Pos 1 Maret 2010
01 Maret 2010
Boediono-Sri dalam spiral keheningan
Thank You!