01 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra

Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra

Salim Alatas
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bandar Lampung
Dalam tulisan Industrialisasi Politik, Siapa Takut! (Lampung Post, 25 Februari 2010), Arif Sugiono mempersoalkan perdebatan mengenai industrialisasi politik. Arif menilai bahwa praktek political marketing yang hadir dalam berbagai wujud di dalam dunia politik, yang telah mengarah pada industrialisasi dunia politik haruslah disambut dengan pemikiran konstruktif.
Menurut Arif, beberapa peneliti yang mencoba meyakinkan tentang pentingnya peran ilmu pemasaran dalam dunia politik. Namun, ada beberapa kalangan skeptis dengan industrialisasi politik, yang disebabkan adanya peran dunia marketing dalam politik. Sayangnya Arif tidak merinci secara jelas alasan munculnya skeptisme tersebut.


Tulisan ini justru berada pada posisi berseberangan (skeptis) dengan Arif. Saya pernah membahas tentang industrialisasi politik di Indonesia dengan judul Hiperrealitas Politik (Lampung Post, 31 Januari 2009).
Sesungguhnya "industrialisasi politik" merupakan hal baru bagi proses politik di negeri ini. Menjelang Pemilu 2004, berbagai partai politik dan aktor-aktor mulai menggelar berbagai langkah, manuver dan strategi politik untuk meraih kemenangan politik. Para kontestan pemilu menyadari bahwa personalisasi politik begitu penting untuk menjaring suara dalam pemilu.
Indikasi dari maraknya industrialisasi politik ini, dimulainya pemanfaatan konsultan kampanye (electioneer) profesional untuk mengemas atau merekayasa citra. Para electioneer ini tidak hanya direkrut dari dalam negeri, banyak partai politik "gemuk" yang menggunakan konsultan dari mancanegara. Bahkan menurut Dedy Nur Hidayat dalam Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu (2004), kelompok electioneer profesional inilah yang sebenarnya berperan sebagai elite kekuasaan baru dalam proses mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di tanah air.
Apa yang dikahawatirkan sebagian kalangan dari maraknya industrialisasi politik ini adalah munculnya hiperrealitas dalam politik, yang merujuk pada realitas artifisial yang telah terdistorsi. Istilah hiperrealitas pertama kali digunakan Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis, dalam bukunya In the Shadow of the Silent Majorities (1983), untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Yasraf Amir Pilliang, Transpolitika (2005), menyebut hiperrealitas sebagai penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua (second hand reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri. Hiperrealitas, menurut Pilliang, tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi sehingga pada tingkat tertentu, ia tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Dengan demikian hiperrealitas menciptakan sebuah kondisi, yang di dalamnya citra dianggap sebagai "realitas", kesemuanya dianggap kenyataan, kepalsuan dianggap kebenaran, isu lebih dipercaya dari ketimbang informasi dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Di dalam keadaan hiperrealitas ini, kita tidak sadar lagi bahwa apa yang kita lihat sebagai suatu kenyataan tersebut sebetulnya adalah konstruksi atau rekayasa realitas.
Political marketing--setidaknya dalam konteks transisi demokrasi--seringkali dimaknai sebagai rekayasa citra. Hal ini pada akhirnya menimbulkan aspek-aspek yang berdampak pada rekayasa citra yang dilakukan para aktor politik untuk mengemas "politisi busuk". Dengan political marketing, para "politisi busuk" bisa dipasarkan dalam kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan masa kini. Dengan kata lain, seorang politisi yang dikategorikan "busuk", dengan bantuan electioneer profesional, dapat menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya.
Dan sebaliknya, mereka merekayasa citra diri, dengan menampilkan pesona yang menghanyutkan, yang dapat menggerakkan massa untuk dengan sukarela mengangkatnya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara "politisi busuk" yang telah menggerogoti keuangan negara untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya, dan pahlawan yang telah mengorbankan dirinya dan kelompoknya untuk bangsa dan negara.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa (incumbent). Menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para pejabat pemerintah berlomba memasarkan "keberhasilan" mereka melalui iklan, baik di media cetak ataupun elektronik. Seolah mereka ingin merekayasa citra diri (atau simulasi) sebagai pejabat publik yang telah "berhasil" memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Meskipun, lagi-lagi, dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.
Dengan melihat fenomena tersebut, setidaknya ada empat dampak negatif yang disebabkan oleh "industrialisasi politik" bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Pertama, industrialisasi politik telah mereduksi makna demokrasi dengan "kepalsuan", dan ini membuka peluang aktor-aktor politik yang hanya menjadikan lembaga politik sebagai tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan kepentingan pribadi atau kelompok.
Kedua, dalam industrialisasi politik, para kontestan cederung lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas, di mana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai. Karena dengan bantuan electioneer profesional, mereka dapat dengan mudah merekayasa citra agar citra para kontestan melekat kuat dalam memori dan imaji serta alam bawah sadar (subsconscious) para calon pemilih.
Ketiga, melemahkan kesadaran politik masyarakat. Terutama dalam konteks masyarakat yang sedang mengembangkan demokrasi, ketika masyarakat harus belajar bagaimana memilih para pemimpin secara bertanggung jawab. Keempat, penggunaan political marketing dalam proses demokrasi hanya akan menjadikan pemilihan umum sebagai sebuah transaksi "untung-rugi" yang menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama kekuasaan (profit oriented). Terlebih ketika "keuntungan" yang diperoleh melalui uang rakyat.
Inilah yang harusnya menjadi pemikiran kita semua, bagaimana mengembalikan arah transisi demokrasi pada posisi semula, yaitu menjadikan demokrasi sebagai alat--bukan tujuan--untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Opini Lampung Post 1 Maret 2010