Piping Setia Priangga
Dosen FISIP Unila
Situs WikiLeaks milik Julian Assange, warga Australia, menyiarkan hasil bobolan ratusan ribu informasi Deplu Amerika Serikat (AS) dengan kedutaannya di seluruh dunia. Bobolan itu membuka kedok standar ganda diplomasi AS, hingga pemerintahan Obama menilai tindakan Assange itu mengancam keamanan negara dan membahayakan hubungan mereka dengan negara-negara lain.
Dilihat dari fungsi penyiaran informasinya sebagai pengungkapan kebenaran, apa yang dilakukan Julian Assange dengan Situs WikiLeaks mutlak diperlukan. Memang, cara memperoleh informasinya, yaitu lewat pembobolan (hacking), jelas melanggar hukum formal. Menyadari besarnya risiko yang dihadapi atas pelanggaran hukum formal dalam membongkar kejahatan negara Adikuasa, Julian Assange layak diacungi jempol sebagai orang yang bernyali besar, lebih besar dari nyali Majid Shahriani, ilmuwan yang hanya sekadar pekerja dalam melaksanakan kebijakan nuklir Iran, yang akhirnya tewas di tangan Mossad-CIA.
Hukum formal yang secara filsafati dibuat untuk menghakimi tindak kejahatan, pada kenyataannya malah berlaku sebaliknya, menjadi pelindung bagi para pelaku kejahatan. Anomali hukum, yang kemudian menjadi dilemma bagi sebagian manyarakat dan menjadi anomali bagi sebagian masyarakat lainnya.
Pada fitrah atau pada awal penciptaannya manusia itu baik, dengan keberadaan hukum formal yang menjadi pelindung bagi para pelaku kejahatan. Di satu sisi nurani manusia akan merasa berdosa jika tidak mengungkapkan kejahatan yang diketahuinya, di sisi yang lain manusia juga akan merasa berdosa jika melanggar hukum. Hanya manusia yang nyalinya besar, baik yang berada di dalam sistem seperti Bradley Manning dan Susno Duaji, maupun yang berada di luar sistem seperti Julian Assange, yang dapat keluar dari dilema ini.
Bagaimana halnya dengan para peneliti sains, khususnya sains sosial yang objek studinya terkait langsung dengan sistem hukum dan sistem kekuasaan yang anomalik tersebut. Sejak usul penelitian diajukan para peneliti sudah berhadapan dengan mafia pembiayaan penelitian, berlaku pepatah Ki Ronggo Warsito ora melu edan ora keduman (tidak ikut edan tidak kebagian)".
Pada saat mengajukan izin penelitian, silakan coba ajukan penelitian dengan judul Modus Operandi mafia Kepegawaian atau Modus Operandi Mafia Hukum atau Modus Operandi Mafia Pajak atau Modus Operandi Mafia Proyek dan semacamnya, berhadapan dengan Kesbanglinmas. Lolos perizinan, pada saat pengumpulan data peneliti akan berhadapan dengan ketakutan banyak pihak terkait. Dengan dalih itu dan ini adalah rahasia negara, takut disalahgunakan, dan semacamnya, berlaku pepapatah maling "apa pun yang dilakukan aparat hanya aparat sendiri yang berhak mengetahui".
Sesudah penelitian selesai pun peneliti masih berhadapan dengan pengesahan laporan penelitian. Terdapat sedikit saja data atau pernyataan yang dapat dipandang membahayakan, maka peneliti harus memperbaiki laporannya. Hanya laporan-laporan penelitian yang isinya dipandang tidak membahayakan yang akan mendapat pengesahan. Tidak heran kalau ribuan bahkan jutaan penelitian sains sosial telah dilakukan, hasilnya nyaris tidak diketahui orang selain oleh peneliti itu sendiri dan para pejabat yang terkait pembiayaan, perijinan, dan pengesahan penelitian.
Celakanya, kalau ternyata para peneliti sains sosial pun sudah berada di dalam sistem pendidikan yang anomalik juga. Para peneliti sosialnya hanya melulu terdiri atas para akademisi yang sudah berdiri pada posisi satuan kerja pemerintahan yang tidak lagi berdiri pada posisi dilematik, tetapi sudah berdiri yang ikut menikmati sistem hukum dan sistem kekuasaan yang anomalik itu.
Bahkan mungkin dapat dinyatakan sudah berdiri pada posisi anomalik akademik, yang semestinya bergairah menemukan kebenaran malah sudah berdiri pada posisi yang ikut memanipulasi informasi, yang pada akhirnya juga berarti menjadi pelindung bagi para pelaku kejahatan.
Sebagian mungkin masih berdiri pada posisi dilematik, mengadakan penelitian tidak untuk menemukan kebenaran masih dihantui dosa, tidak mengadakan penelitian sama sekali juga dihantui ketinggalan langkah dalam perebutan status sosial dan kekayaan, akhirnya ikut-ikutan mengadakan penelitian sekadar formalitas, sekadar untuk memelihara hubungan pertemanan. Sebagian lainnya mungkin sudah kehilangan gairah, berdiri pada posisi yang anomi akademik, memilih mengasingkan diri dari lingkungannya dengan tidak mengadakan penelitian sama sekali.
Andaikan memang ada yang masih konsisten mengemban misi akademik, apa yang mungkin bisa dilakukan, haruskah para peneliti sains sosial pun seperti Julian Assange, membangun jaringan penelitian dari ulu sampai ilir. Dalam hal masih menggantungkan sepenuhnya kepada tradisi penelitian sains, yang hanya bersifat eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif tentang fenomena sosial yang ada, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, menemukan funding dari yang berpihak kepada kebenaran dalam jumlah yang cukup. Kedua, menemukan lembaga penyiaran informasi yang luas, yang dapat diakses berbagai kelas sosial. Ketiga, menemukan aktor-aktor peran Bradley Manning di semua tingkatan dan satuan kerja pemerintahan di berbagai negara.
Dalam hal sudah dipandang perlu mengikuti jejak sains eksakta, misalnya khawatir bernasib seperti Julian Assange, ditangkap polisi Inggris (Dokumen Rahasia, Lampung Post, 8 Desember 2010), pada tahap ketiga tidak perlu mencari aktor-aktor peran Bradley Manning melainkan mengembangkan model-model penelitian kaji tindak (action research) yang terpisah dari berbagai bentuk kehidupan anomalik.
Kalau dari sains "fisikis-kimiawi-biologis" dapat melahirkan rekomendasi-rekomendasi teknologis yang fungsional dalam pengembangan lingkungan hidup alam buatan yang dapat memenuhi hasrat kenyamanan jasmaniah manusia, dari sains sosial diharapkan dapat melahirkan rekomendasi-rekomendasi teknologis yang fungsional dalam pengembangan lingkungan hidup sosial binaan yang dapat memenuhi hasrat kenyamanan rohaniah manusia. Dari keduanya sebagai keseluruhan yang merupakan satu kesatuan sains dapat mengembangkan teknologi tanpa ekses destruktif bagi kehidupan bersama manusia.
Opini Lampung Post 13 Desember 2010