Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Ilmu Administrasi UI
Wacana pemajakan warung tegal (warteg) cukup menyita perhatian banyak pihak dan sudah masuk dalam ranah politik. Ide ini didorong oleh penghasilan dari pengusaha warteg yang terkesan cukup besar dalam ukuran usaha yang dikembangkannya. Namun, dari kacamata administrasi pajak, terdapat dua persoalan besar yang menyangkut substansi pemajakannya dan kriteria warteg sebagai objek pajak, dalam hal ini pajak Provinsi DKI Jakarta. Keduanya saling terkait. Dua hal ini jika tidak diperhatikan akan bermasalah dari sisi keadilan dan dari sisi efektivitas pemungutannya.
Substansi objek pajak
Substansi sebagai calon objek pajak menyangkut dua hal: yakni, pertama, menyangkut karakter dasar usaha warteg; dan kedua, menyangkut kategori pajak dalam artian hukum. Warteg, seperti kita tahu, adalah sektor informal. Jika ini dipajaki atau menjadi objek pajak, dengan self assessment, yang harus dilakukan pertama kali adalah membangkitkan kesadaran dari pengusaha warteg untuk mencatat pembukuan dengan baik dan akhirnya kesadaran mengenai pajak itu sendiri.
Negara, dalam hal ini Pemda DKI, saya kira tidak sepantasnya melakukan lompatan dengan langsung mengusulkan pengusahaan warteg dikenai pajak, apakah restoran atau pajak lain tanpa membenahi kapasitas para pengusahanya. Belum service delivery Pemda DKI yang baik bagi mereka, apakah nanti sebanding? Mengingat lokasi-lokasi warteg umumnya di daerah pelosok Jakarta yang rentan macet, banjir, listrik mati, penumpukan sampah, pendidikan yang kurang, dan fasilitas kesehatan yang buruk.
Kita juga harus tahu apakah Pemda DKI memiliki catatan yang faktual mengenai jumlah warteg yang ada di DKI. Bagaimana dasar pengenaan pajak restoran jika data mengenai pengusaha pajak tidak dimiliki? Dalam hal ini, perlu dikembangkan dahulu pengaturan perizinan pembukaan warteg yang mungkin akan menuai protes mengingat warteg sekali lagi adalah sektor informal yang menjadi sabuk pengaman sektor formal dalam berbagai aspek.
Jika pembukaan warteg di Jakarta dilalui dengan proses perizinan, sejumlah hal harus dibenahi terlebih dahulu oleh Pemda DKI Jakarta sebagai investasi jangka panjang. Mereka harus diperkuat kembali kapasitasmya, kemudian fasilitas pembukaan harus disiapkan menyangkut lokasi-lokasi mana saja yang akan diperuntukkan buat mereka.
Jika pun bekerja sama dengan swasta, perlu dorongan pemerintah terhadap swasta tersebut agar memperhatikan keberadaannya dengan insentif bagi mereka. Di berbagai mal, pasar, dan tempat-tempat strategis perlu disiapkan presentasi ruang untuk mereka terlebih dahulu. Baru Pemda DKI memiliki legitimasi untuk bisa mengatur perihal perizinan pembukaan warteg.
Selama ini, Pemda DKI berpangku tangan terhadap mereka, bahkan mereka nyaris dianaktirikan. Dari sisi ini, nilai keadilan pemajakan warteg dan perizinan warteg sangat lemah.
Kriteria pajak warteg
The four canons Adam Smith yang diadaptasi oleh Devas (1984) menjadi dasar penentuan kriteria apakah satu objek pajak layak dapat dikembangkan. Pertama, keadilan (equity). Kriteria ini lemah jika warteg sebagai sektor informal dipersandingkan dengan sektor-sektor lain, baik yang lebih besar maupun kecil. Mengapa hanya warteg yang dipajaki? Jika serius, bahkan Pemda DKI harus mendata sektor informal secara keseluruhan di Jakarta apa saja dan jumlahnya berapa. Semangatnya juga tentu didorong oleh pengaturan (regelend), bukan budgetair semata.
Kedua, menghasilkan (yield). Memang cukup elastis warteg terhadap jumlah penduduk dan PDRB. Dengan demikian, jika diterapkan, tentu menjadi sumber yang baik dengan catatan administrasi yang rapi. Ketiga, ketepatan sebagai objek pajak daerah. Dari sisi kejelasan objek sangat tinggi hanya karakter informalnya yang menjadi pertimbangan, seperti dijelaskan tadi yang menyentuh soal-soal keadilan.
Objek pajak yang tingkat legitimasinya tinggi adalah pajak untuk sektor formal karena diakui secara hukum dan diperlakukan dengan adil yang membawa kemudahan untuk memetakan pola hubungan antara wajib pajak dan negara. Sektor informal amatlah lemah sehingga ketidakadilan terganggu. Jika mereka menikmati keberkahan pembangunan sebetulnya secara makro, sektor ini turut menyelamatkan ekonomi yang masih rapuh juga. Jadi, sumbangannya jangan dilihat dari sisi kontribusi kepada negara berupa uang, tetapi maintenance soal sosial politik yang lebih luas.
Keempat, adalah penerimaan secara politik sebagai objek pajak. Masyarakat harus didengar aspirasinya jika warteg dipajaki, dan tentu wakil rakyat di DPRD DKI harus memiliki arah pemahaman yang jelas terhadap persoalan ini. Pemahaman mereka akan didasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan subjektifnya. Apa pun hasilnya, menjadi keputusan yang harus dijalankan oleh Pemda DKI Jakarta.
Biasanya faktor rasional yang mendorong mereka adalah kebutuhan peningkatan PAD bagi Pemda DKI Jakarta, sedangkan faktor subjektifnya adalah kepentingan mereka sendiri terhadap persoalan pemajakan warteg dalam konteks yang lebih sempit atau lebih luas. Faktor subjektif mereka juga bisa didasari nurani yang diyakini oleh mereka. Apakah mereka menganggap bersinggungan terhadap nilai keadilan atau tidak, menjadi pertimbangan utama.
Jika mereka lebih mendengarkan birokrasi Pemda DKI Jakarta mungkin hasilnya adalah dominasi pertimbangan rasional PAD bagi pemda. Namun, jika mereka lebih populis, masih terdapat banyak kemungkinan. Perlu didorong agar wakil rakyat lebih menggunakan nurani yang jernih di sini. Sebab, soal pajak adalah soal keadilan dalam hubungan antara warga dan negara (pemda).
Guru Besar Ilmu Administrasi UI
Wacana pemajakan warung tegal (warteg) cukup menyita perhatian banyak pihak dan sudah masuk dalam ranah politik. Ide ini didorong oleh penghasilan dari pengusaha warteg yang terkesan cukup besar dalam ukuran usaha yang dikembangkannya. Namun, dari kacamata administrasi pajak, terdapat dua persoalan besar yang menyangkut substansi pemajakannya dan kriteria warteg sebagai objek pajak, dalam hal ini pajak Provinsi DKI Jakarta. Keduanya saling terkait. Dua hal ini jika tidak diperhatikan akan bermasalah dari sisi keadilan dan dari sisi efektivitas pemungutannya.
Substansi objek pajak
Substansi sebagai calon objek pajak menyangkut dua hal: yakni, pertama, menyangkut karakter dasar usaha warteg; dan kedua, menyangkut kategori pajak dalam artian hukum. Warteg, seperti kita tahu, adalah sektor informal. Jika ini dipajaki atau menjadi objek pajak, dengan self assessment, yang harus dilakukan pertama kali adalah membangkitkan kesadaran dari pengusaha warteg untuk mencatat pembukuan dengan baik dan akhirnya kesadaran mengenai pajak itu sendiri.
Negara, dalam hal ini Pemda DKI, saya kira tidak sepantasnya melakukan lompatan dengan langsung mengusulkan pengusahaan warteg dikenai pajak, apakah restoran atau pajak lain tanpa membenahi kapasitas para pengusahanya. Belum service delivery Pemda DKI yang baik bagi mereka, apakah nanti sebanding? Mengingat lokasi-lokasi warteg umumnya di daerah pelosok Jakarta yang rentan macet, banjir, listrik mati, penumpukan sampah, pendidikan yang kurang, dan fasilitas kesehatan yang buruk.
Kita juga harus tahu apakah Pemda DKI memiliki catatan yang faktual mengenai jumlah warteg yang ada di DKI. Bagaimana dasar pengenaan pajak restoran jika data mengenai pengusaha pajak tidak dimiliki? Dalam hal ini, perlu dikembangkan dahulu pengaturan perizinan pembukaan warteg yang mungkin akan menuai protes mengingat warteg sekali lagi adalah sektor informal yang menjadi sabuk pengaman sektor formal dalam berbagai aspek.
Jika pembukaan warteg di Jakarta dilalui dengan proses perizinan, sejumlah hal harus dibenahi terlebih dahulu oleh Pemda DKI Jakarta sebagai investasi jangka panjang. Mereka harus diperkuat kembali kapasitasmya, kemudian fasilitas pembukaan harus disiapkan menyangkut lokasi-lokasi mana saja yang akan diperuntukkan buat mereka.
Jika pun bekerja sama dengan swasta, perlu dorongan pemerintah terhadap swasta tersebut agar memperhatikan keberadaannya dengan insentif bagi mereka. Di berbagai mal, pasar, dan tempat-tempat strategis perlu disiapkan presentasi ruang untuk mereka terlebih dahulu. Baru Pemda DKI memiliki legitimasi untuk bisa mengatur perihal perizinan pembukaan warteg.
Selama ini, Pemda DKI berpangku tangan terhadap mereka, bahkan mereka nyaris dianaktirikan. Dari sisi ini, nilai keadilan pemajakan warteg dan perizinan warteg sangat lemah.
Kriteria pajak warteg
The four canons Adam Smith yang diadaptasi oleh Devas (1984) menjadi dasar penentuan kriteria apakah satu objek pajak layak dapat dikembangkan. Pertama, keadilan (equity). Kriteria ini lemah jika warteg sebagai sektor informal dipersandingkan dengan sektor-sektor lain, baik yang lebih besar maupun kecil. Mengapa hanya warteg yang dipajaki? Jika serius, bahkan Pemda DKI harus mendata sektor informal secara keseluruhan di Jakarta apa saja dan jumlahnya berapa. Semangatnya juga tentu didorong oleh pengaturan (regelend), bukan budgetair semata.
Kedua, menghasilkan (yield). Memang cukup elastis warteg terhadap jumlah penduduk dan PDRB. Dengan demikian, jika diterapkan, tentu menjadi sumber yang baik dengan catatan administrasi yang rapi. Ketiga, ketepatan sebagai objek pajak daerah. Dari sisi kejelasan objek sangat tinggi hanya karakter informalnya yang menjadi pertimbangan, seperti dijelaskan tadi yang menyentuh soal-soal keadilan.
Objek pajak yang tingkat legitimasinya tinggi adalah pajak untuk sektor formal karena diakui secara hukum dan diperlakukan dengan adil yang membawa kemudahan untuk memetakan pola hubungan antara wajib pajak dan negara. Sektor informal amatlah lemah sehingga ketidakadilan terganggu. Jika mereka menikmati keberkahan pembangunan sebetulnya secara makro, sektor ini turut menyelamatkan ekonomi yang masih rapuh juga. Jadi, sumbangannya jangan dilihat dari sisi kontribusi kepada negara berupa uang, tetapi maintenance soal sosial politik yang lebih luas.
Keempat, adalah penerimaan secara politik sebagai objek pajak. Masyarakat harus didengar aspirasinya jika warteg dipajaki, dan tentu wakil rakyat di DPRD DKI harus memiliki arah pemahaman yang jelas terhadap persoalan ini. Pemahaman mereka akan didasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan subjektifnya. Apa pun hasilnya, menjadi keputusan yang harus dijalankan oleh Pemda DKI Jakarta.
Biasanya faktor rasional yang mendorong mereka adalah kebutuhan peningkatan PAD bagi Pemda DKI Jakarta, sedangkan faktor subjektifnya adalah kepentingan mereka sendiri terhadap persoalan pemajakan warteg dalam konteks yang lebih sempit atau lebih luas. Faktor subjektif mereka juga bisa didasari nurani yang diyakini oleh mereka. Apakah mereka menganggap bersinggungan terhadap nilai keadilan atau tidak, menjadi pertimbangan utama.
Jika mereka lebih mendengarkan birokrasi Pemda DKI Jakarta mungkin hasilnya adalah dominasi pertimbangan rasional PAD bagi pemda. Namun, jika mereka lebih populis, masih terdapat banyak kemungkinan. Perlu didorong agar wakil rakyat lebih menggunakan nurani yang jernih di sini. Sebab, soal pajak adalah soal keadilan dalam hubungan antara warga dan negara (pemda).
Opini Republika 13 Desember 2010