Robi Cahyadi Kurniawan
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Berita beberapa hari lalu cukup hangat diperbincangkan publik. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Lampung gerah atas polling Tim Advokasi Pengawasan (TAP) Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM Unila) yang menyimpulkan 86,5% peserta seleksi CPNSD meyakini adanya jual-beli kursi.
Salah satu pejabat BKD Lampung bahkan menyatakan menurunnya antusiasme pelamar CPNSD tahun ini tidak berkorelasi dengan praduga jual-beli kursi. Menurut dia, proses serta hasil polling tersebut masih bias dan tidak menggunakan variabel yang pasti.
Polemik seputar pelaksanaan tes CPNSD Lampung 2010 bergulir kembali dan semakin hangat ketika kekuasaaan khususnya di tingkat lokal merasa terusik akan eksistensi dan kinerja mereka sebagai sebuah instansi yang bertanggung jawab.
Pemantauan pihak luar sebagai salah satu fungsi kontrol publik terhadap kinerja aparat, khususnya panitia CPNSD 2010. Tidak hanya TAP BEM Unila, seluruh lembaga bahkan publik sendiri baik secara individu maupun secara kelompok dapat saja mengawasi dan mengevaluasi seluruh proses rekrutment CPNSD.
Wacana publik yang sudah terbentuk mengenai proses kecurangan tes CPNSD, diperkuat oleh beberapa indikasi. Indikasi kecurangan misalnya; lembar jawaban komputer (LJK) peserta tes calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) yang "menginap" di Gedung Pusiban, Pemprov Lampung, selama 15 jam, berpeluang disusupi LJK tambahan. LJK tambahan ini sering diisi peserta yang tidak ikut tes di dalam ruangan yang ditentukan panitia. Setelah tes resmi usai digelar, LJK tambahan yang sudah diisi oknum panitia kemudian disisipkan dalam bundel LJK peserta lainnya.
Beberapa aturan mengenai pengadaan CPNSD, sebenarnya sudah lengkap. Ada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian jo UU No. 43 Tahun 1999. Lalu, PP No. 98 tahun 2000 tentang PNS dan diubah menjadi PP No. 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Muara akhirnya ada pada Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan CPNS.
Di dalam peraturan perundang-undangan tentang PNS, dijelaskan, antara lain penerimaan PNS harus berdasarkan kebutuhan (Pasal 16 Ayat (1) UU No. 8/1974). Yang terjadi di lapangan, tidak adanya analisis jabatan dan analisis kebutuhan PNS, tiba-tiba muncul formasi.
Lalu disebutkan juga, pengadaan CPNS dilakukan secara objektif dan transparan. Selain tes kompetensi dasar (TKD), instansi pusat dan daerah dapat melakukan tes kompetensi bidang (TKB) sesuai dengan formasi jabatan yag dibutuhkan instansi masing-masing. Misalnya untuk spesialis, dokter, guru, bagian teknik, dan sebagainya. Tetapi, tes kompetensi bidang jarang digunakan.
Proses pengadaan CPNS meliputi proses dimulai dari perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, penetapan kelulusan, permintaan NIP sampai dengan pengangkatan menjadi CPNS. Ketujuh proses itu dimungkinkan kebocoran terjadi. Namun, sudah menjadi kewajiban publik untuk turut serta dalam mengawasinya.
Tim pemantau (internal) bertugas pengumuman penerimaan, penyerahan soal dan LJK, penyimpanan, penggandaan soal, distribusi soal ujian dan LJK, memantau pemusnahan sisa naskah soal ujian dan formulir LJK. Memantau pengolahan hasil ujian (pengumuman penetapan kelulusan dan peringkat nilai hasil pengolahan LJK) dan pengumuman hasil ujian.
Prinsip pengadaan CPNS, yaitu netral, objektif, akuntabel, bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan transparan.
Bahasa netral, objektif, akuntabel, bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan transparan sudah menjelaskan secara gamblang bahwa proses pengadaan dan penseleksian pegawai diperbolehkan untuk di evaluasi, diawasi dan di periksa tingkat kebenarannya oleh publik.
Sikap pemerintah, misalnya yang mencoba menghalangi atau menyembunyikan sesuatu berkaitan dengan proses rekrutmen CPNSD bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut. Statement Gubernur Lampung beberapa waktu lalu dan diamini oleh Kepala BKD, yang bersedia memberikan sanksi yang tegas bagi PNS yang terbukti melakukan praktek jual beli kursi CPNSD 2010 merupakan respons positif.
Saatnya sekarang adalah publik yang memberikan respons balik dari pernyataan Gubernur itu. Pengawasan yang objektif dan efektif adalah yang berasal dari informasi publik. Tentu saja publik juga perlu didukung semua stakeholder yang ada, baik pemerintah, dunia swasta, perguruan tinggi, dan juga tokoh-tokoh masyarakat.
Agar menciptakan efek jera, jika ada kasus jual beli suara. Hendaknya pemerintah juga membawa kasus ini keranah hukum pdana, tidak hanya dengan memberhentikan saja PNS (oknum) yang terlibat di dalamnya.
Opini Lampung Post 14 Desember 2010