13 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Menyoal Kemiskinan

Menyoal Kemiskinan

Oleh Asep Sumaryana

Jika Bank Dunia memperkirakan penduduk miskin bertambah 12, 4 juta jiwa pada 2010 ("PR", 13/12), maka keseluruhan kelompok penduduk tersebut akan menjadi 43,4 juta jiwa dari 234 juta penduduk Indonesia. Pertambahan penduduk miskin tersebut didasarkan kepada standar penghasilan di bawah Rp 6.000 per hari. Dengan standar ini, penduduk tersebut hanya berpenghasilan Rp 180.000 per bulan atau sekitar seperlima dari upah minimum regional (UMR) pekerja pabrik di wilayah kota Bandung.
Membiarkan penduduk miskin seperti itu akan mempercepat lahirnya loss generation karena dipastikan kelompok tersebut hanya mampu membeli satu kilogram beras standar tanpa lauk pauk. Jika yang bersangkutan memiliki dua anak, kekurangan gizi sangat mungkin dialami mereka. Gambaran itu sepatutnya memacu banyak pihak terkait untuk berupaya mempercepat kesejahteraan rakyat tanpa harus menurunkan standar miskinnya agar kelihatan sukses memimpin.

Kesempatan kerja

Kesempatan kerja tidak harus diwujudkan dengan penyediaan lapangan kerja. Karena kondisi demikian hanya berarti kewajiban pemerintah untuk senantiasa menyediakan sejumlah lapangan kerja bagi penduduk produktifnya. Dengan cara ini, investasi bisa dibuka seluas mungkin tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang bagi penduduk itu sendiri serta lingkungan yang ada. Akibatnya, kerusakan lingkungan bisa semakin meluas dan sampai kepada sumber-sumber pendapatan penduduk lainnya.

Pertanian yang berdekatan dengan pabrik sering terancam gagal panen karena sumber pengairannya disedot pabrik untuk kemudian dimuntahkan kembali dalam bentuk limbah yang mengaliri sungai. Dampaknya, pertanian menjadi tidak populer dan lebih memilih alih fungsi pekerjaan seperti ojeg atau menjadi buruh pabrik. Lahan pertanian yang tidak mendapat perlindungan dari pemerintah senantiasa beralih fungsi menjadi areal perluasan pabrik atau bangunan sehingga penduduk lokal yang kehilangan kesempatan kerja jauh lebih banyak ketimbang yang bekerja.

Kesempatan kerja tidak harus identik dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Bisa jadi PAD tidak berkembang sementara penduduknya mampu menciptakan pekerjaannya sendiri. Pertanian yang dipercaya digeluti oleh lebih lima puluh persen penduduk Indonesia sepatutnya mendapat proteksi agar tidak dilepaskan pelakunya. Benar jika dari sektor ini, pemerintah tidak mendapatkan pemasukan dana, tetapi sehatnya kehidupan pertanian bisa meringankan pemerintah untuk tidak membuka lapangan kerja dengan dampak buruk di kemudian hari.

Keberpihakan pemerintah perlu dibangun untuk kelompok mayoritas. Penduduk yang masih berupaya mengais rejeki dari bertani, pedagang kaki lima (PKL), nelayan, atau berdagang di pasar, sepantasnya perlu mendapat perhatian. Pertanian berkembang jika kebutuhan seperti pupuk, benih, dan akses pasar dibuka dengan baiknya infrastruktur yang diperlukan. Demikian halnya ketika PKL menjamur dan diobrak-abrik Satpol PP, bisa jadi solusi kemiskinan dikalahkan oleh keindahan dan ketertiban kota.

Nelayan tradisional juga sering kalah oleh pengusaha nelayan dengan pukat harimaunya. Dampaknya nelayan tradisional tinggal gigit jari dan menjadi bosan melaut jika hasilnya hanya kerugian. Demikian halnya dengan pasar tradisional yang terus terseret pasar modern tanpa regulasi yang jelas dan menjamin pasar tradisional tetap eksis (Sumaryana, "PR", 4/8). Dengan kondisi ini, penduduk akan bergeser menjadi penonton dan konsumen.

Gambaran ringkas itu, bukan saja memperluas pengangguran, tetapi sekaligus menurunkan kualitas hidup penduduk akibat ketidaksanggupan memenuhi kebutuhan dasarnya. Kehadiran kementerian atau instansi terkait sangat diperlukan agar kelompok pekerjaan tadi mau terus mempertahankan pekerjaannya dengan jaminan kesejahteraan jika menekuni pekerjaan tersebut. Menelantarkan kelompok seperti itu, selain menanamkan kecemburuan sosial, bisa juga melahirkan beragam tindakan kriminal atau memperbanyak kelompok pengemis yang bisa berpenghasilan jauh di atas Rp 6.000 per hari.

Pejabat peduli

Kehadiran pejabat peduli menjadi penting dalam memberangus kemiskinan. Pejabat seperti ini datang untuk melayani publik. Praktik ini dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan keuntungan bagi dirinya yang perlu dikembalikan menebus biaya kampanye sebelumnya. Bila hal demikian yang terjadi, pelayanan publik pun akan tebang pilih juga. Yang tidak memberikan keuntungan akan ditebang karena merugikan.

Pejabat peduli akan membangun infrastruktur jalan, juga irigasi agar kebutuhan pengairan bagi petani terpenuhi. Ancaman hukuman bagi perusak irigasi atau pencemar air terus ditegakkan sehingga pertanian mendapat prioritas dikembangkan. Dengan prioritas ini, berarti pekerja di sektor ini akan mendapat perlindungan dari gangguan polusi pabrik sekaligus mengerem keinginannya untuk berpindah ke sektor lain. Perlindungan dari gangguan tengkulak pun terus dilakukan dengan upaya mempertemukan petani dengan konsumennya.

Dengan terbukanya kesempatan kerja, kesejahteraan rakyat dapat terus ditingkatkan sehingga kemiskinan terus berkurang dengan sendirinya tanpa harus diturunkan standar miskinnya. Berbeda jika orientasinya bukan itu, kemiskinan bisa terus berkembang sejalan dengan ketergantungan penduduk pada kehadiran pihak lain tanpa mampu membuka dan mengembangkan potensi untuk hidup lebih mandiri terbebas dari kemiskinan.***

Penulis, Kepala LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 14 Desember 2010