Hardi Hamzah
Staf Ahli Mahar Foundation
Dalam skema praksis politik SBY versus Sri Sultan, adalah diskursus hangat untuk membangun demokrasi. Itulah yang terbersit di benak saya ketika polemik itu terjadi.
Penulis asumsikan demikian, karena kesibukan mengurus rakyat dan bencana alam telah menyita SBY untuk berpikir terpencar. Ini merupakan gejala psikis normal dari rezim paranoid, mudah-mudahan istilah ini benar.
Tapi, okelah, setelah adanya keributan politik. Kenyataannya kesimpangsiuran rakyat semakin tidak terarah. Posko-posko referendum sebagai indikator kultur politik masyarakat Yogya, semestinya memberi pemahaman pada struktur kekuasaan (SBY dan perangkat kerjanya) untuk mereferensi ulang, bahwa sejarah yang berbicara 6 dasawarsa adalah sejarah kultur politik.
Di sini penulis ingin menjelaskan kontra produktifnya isu tersebut bila dikaitkan dengan partisipasi rakyat dalam kontek NKRI. Gonjang-ganjing yang dimainkan SBY melahirkan suatu pragmentasi baru dari ruang publik masyarakat Yogya yang notabene sedang terkena musibah.
Dalam proses itulah hipotesis yang bisa dibangun. Pertama hipotesis kuno "pengalihan pandangan bagi rezim SBY". Kedua, SBY dan aparatnya memang benar-benar ingin membangun demokrasi. Namun, celakanya, DIY "menjadi tumbal" ketika perhelatan itu akan dikembalikan kepada DPRD. Dalam siklus yang faktual, bahwa perubahan sosial di Yogyakarta akhir-akhir ini tidak sebanding dengan keinginan kita untuk menolong mereka yang sedang terkena musibah. Dengan kata lain, isu politik yang dibangun, lebih dalam kerangka aparat ansich, ketimbang prospek suatu demokrasi.
Kendati penulis memang tidak menutup mata, apabila kita bisa mereduksi, bahwa peran Sultan dan peran pilkada berada dalam mekanisme politik yang berbeda. Sejauh ini, Sri Sultan dapat dikatakan bahwa ruang publiknya lebih luas kalau beliau ingin bicara tentang demokrasi, ini bila kita percaya bahwa demokratisasi politik, antara lain adalah tatanan yang esthblished terhadap kekuatan kerajaan berdasarkan daulat rakyat. Dengan kata lain, Sri Sultan sesungguhnya telah menjalankan demokrasi itu lewat elemen-elemen yang ada di dalam Pemerintah Provinsi DIY.
Sebagaimana dipahami, rezim paranoid biasanya selalu mencari kekuatan di luar dirinya, dalam arti mengupayakan sebanyak-banyaknya instrumen yang mampu menggawangi rezim dimaksud, semisal, adanya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, KP4W, dan berbagai komisi atau institusi lainnya yang siap menjaga rezim paranoid untuk menduduki takhta kerajaannya. Atmosfir inilah melalui polesan politik pencitraan, rezim SBY memainkan kartu-kartu mati. Mengapa kartu mati? Sebab, demokrasi yang dibangun justru cenderung oligarki dan oligapoli ketimbang mendahulukan kebutuhan pokok rakyat. Rezim paranoid pun beraksi masuk ke wilayah-wilayah internal di bawah pengaruh pembantu- pembantunya yang secara "mencelakakan" dibantu oleh para pembantu yang kapabilitasnya sama-sama kita ragukan.
Kembali mengacu pada judul di atas, SBY vs Sri Sultan, sesungguhnya tidak mentransformasikan nilai nilai politik, baik dalam konteks pencitraan, terlebih lagi dalam konteks pemetaan mekanisme politik di masa depan. Ini kalau kita percaya, bahwa politik itu sesungguhnya miliknya rakyat. Namun, apabila anasir-anasir politik lebih didaulat elite politik dengan keberantakan internal melalui "rasa ketakutan yang berkelebihan" dari rezim SBY, maka hasilnya sudah dapat diduga, mekanisme politik kita tidak berinteraksi secara baik dan sistem komparador, oligarki, oligopoli yang bermuara pada politik kekeluargaan, menjadi pilihan yang terburuk bagi masyarakat kita di masa depan.
Kesimpulannya, bahwa demokratisasi yang akan dibangun SBY melalui rezim paranoidnya, ternyata justru menyempitkan nilai-nilai demokrasi rakyat. Rakyat yang kini sebanding dengan ideologi sembako, semestinya diantisipasi dengan pemakmuran rakyat secara sederhana, seperti mengefektifkan KUR, menurunkan harga sembako, dan lebih memperjelas arah masyarakat kita yang saat ini memang benar-benar telah gamang. Patut disadari, rakyat tidak tau tentang permainan politik kelas tinggi. Rakyat yang memegang kedaulatan itu sampai 12 tahun reformasi, hanya menuntut kemampuan anak bersekolah, sembako murah, dan berbagai riil lainnya, yang pada gilirannya akan menghidupkan interaksi sosial mereka.
Singkat kata, paling tidak terdapat lima unsur yang dapat kita petik dari "kecelakaan" yang dikembangkan oleh SBY dalam dimensi isu Sri Sultan. Pertama, ini adalah kerjaan sia-sia. Kedua, politik pencitraan terhapus oleh politik paranoid. Ketiga, kultur politik dalam perubahan di Yogyakarta telah tercabik. Polarisasi SBY vs Sri Sultan dapat saja merangsang untuk menarik pelatuk disintegrasi. Kelima, ruang publik kita, sesungguhnya tidak usah diberi pelajaran yang tidak relevan bagi kehidupan mereka yang telah sangat kesulitan dewasa ini.
Opini Lampung Post 14 Desember 2010