Agak ekstrem, memang, membayangkan sekolah dan kampus tak memberi arti banyak bagi pertumbuhan mental individual dan sosial anak-anak kita. Secara individual mereka digiring untuk berpikir konvergen dan sangat jarang dituntun untuk berpikir secara divergen. Akibatnya pendidikan sangat minim dengan praktik mengapresiasi kondisi sosial karena di sekolah dan kampus anak-anak kita secara sengaja dan menyengaja diasingkan dengan persoalan keseharian yang ada di sekitar mereka. Akibatnya, muncul perlawanan diam-diam dalam bentuk yang asosial; kerumunan, tawuran, demonstrasi anarkistis, dan bentuk-bentuk kekerasan sejenis yang tak mereka dapati dan pelajari di sekolah dan kampus.
Jelas pendidikan kita memerlukan tatanan baru yang proses belajarnya lebih memanusiakan manusia. Bukan lagi membuat sebanyak mungkin klasifikasi subjek-objek, bodoh-pintar, cerdas-idiot, dan beragam label lainnya sehingga lagi-lagi para siswa dan mahasiswa banyak yang teralienasi dan mengambil sendiri inisiatif tambahan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk radikalisme lainnya. Apabila proses belajar-mengajar hanya berorientasi kognitif, tidaklah mengherankan jika para siswa kurang memiliki kemampuan untuk menyerap sikap-sikap yang lebih toleran, antikekerasan, antinarkoba, dan antipornografi. Akhirnya yang muncul malah semakin banyak kasus-kasus negatif yang melibatkan anak didik, yang pada akhirnya membuat masyarakat berkesimpulan bahwa sekolah dan kampus telah gagal dalam mengambil peran sosial mereka.
Kita harus terus menguji, seberapa besar, misalnya, pemahaman para siswa terhadap wawasan inklusivistis dan tujuan universal pembelajaran agar anak didik memiliki karakter dan emosi yang stabil dalam menghadapi rumit dan besarnya tantangan kehidupan global ini. Sangat penting membekali para guru dan siswa sekaligus dengan wawasan inklusivistis untuk mendukung pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya penyebaran narkoba, kejahatan seksual, dan kekerasan di sekolah. Dengan paradigma yang benar tentang wawasan inklusivistis itu, para siswa dan guru diharapkan dapat dengan mudah mendesain pembelajaran secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. Wawasan inklusivistis juga diharapkan akan membawa makna baru tentang pendidikan kita yang telah direduksi dan didistorsi menjadi hanya semata-mata 'pengajaran' yang memiliki keterbatasan dimensi sehingga menghambat tumbuhnya kesadaran pluralisme di ruang-ruang belajar sekolah kita, terutama ketika para anak didik sedang mempelajari makna besar realitas kehidupan yang sebenarnya.
Pendek kata, gagasan tentang sekolah dan kampus yang membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial mereka harus terus dikumandangkan. Jika belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianyalah pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan birokrasi, guru dan pendidik yang selalu mencoba membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya dan terbenam ke dalam 'kebudayaan bisu' (submerged in the culture of silence). Proses pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga mereka mampu mengasah daya jelajah imajinasi mereka sesuai dengan lingkungan tempat mereka menetap. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.
Dalam bahasa yang gamblang bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa), dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia adalah objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya adalah apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika itu? Kita berani mengatakan tidak. Hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi pengulangan sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.
Kritik Fraire jelas sekali dalam hal ini, yaitu bahwa sistem pendidikan yang mapan di mana pun itu selalu menggunakan banking concept of education, yang titik egonya adalah siswa/mahasiswa diberikan ilmu pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Siswa/mahasiswa adalah objek investasi dan sumber deposito potensial para guru dan birokrat yang harus terus-menerus dieksploitasi laksana komoditas ekonomi. Dengan pendekatan itulah sekolah dan kampus dibangun sehingga daftar antagonisme pendidikan gaya bank ini terus berkembang dan berlanjut, seperti guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apaĆ¢€“apa, dan guru mengatur-murid diatur.
Dalam konteks itu, meskipun telah banyak diperkenalkan wacana dan paradigma tentang gaya belajar-mengajar yang harus berpusat kepada kebutuhan siswa (student center), pada praktiknya tetap saja gaya bank yang lebih banyak berlaku. Karena itu, tak mengherankan jika banyak siswa/mahasiswa menjadi sesak napas dan terbiasa mengambil jalan pintas ketika tak memiliki kemampuan dalam menghadang realitas dunia yang semakin konsumtif dan hedonis. Padahal pendidikan seharusnya menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication).
Ahmad Baedowi
Jelas pendidikan kita memerlukan tatanan baru yang proses belajarnya lebih memanusiakan manusia. Bukan lagi membuat sebanyak mungkin klasifikasi subjek-objek, bodoh-pintar, cerdas-idiot, dan beragam label lainnya sehingga lagi-lagi para siswa dan mahasiswa banyak yang teralienasi dan mengambil sendiri inisiatif tambahan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk radikalisme lainnya. Apabila proses belajar-mengajar hanya berorientasi kognitif, tidaklah mengherankan jika para siswa kurang memiliki kemampuan untuk menyerap sikap-sikap yang lebih toleran, antikekerasan, antinarkoba, dan antipornografi. Akhirnya yang muncul malah semakin banyak kasus-kasus negatif yang melibatkan anak didik, yang pada akhirnya membuat masyarakat berkesimpulan bahwa sekolah dan kampus telah gagal dalam mengambil peran sosial mereka.
Kita harus terus menguji, seberapa besar, misalnya, pemahaman para siswa terhadap wawasan inklusivistis dan tujuan universal pembelajaran agar anak didik memiliki karakter dan emosi yang stabil dalam menghadapi rumit dan besarnya tantangan kehidupan global ini. Sangat penting membekali para guru dan siswa sekaligus dengan wawasan inklusivistis untuk mendukung pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya penyebaran narkoba, kejahatan seksual, dan kekerasan di sekolah. Dengan paradigma yang benar tentang wawasan inklusivistis itu, para siswa dan guru diharapkan dapat dengan mudah mendesain pembelajaran secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. Wawasan inklusivistis juga diharapkan akan membawa makna baru tentang pendidikan kita yang telah direduksi dan didistorsi menjadi hanya semata-mata 'pengajaran' yang memiliki keterbatasan dimensi sehingga menghambat tumbuhnya kesadaran pluralisme di ruang-ruang belajar sekolah kita, terutama ketika para anak didik sedang mempelajari makna besar realitas kehidupan yang sebenarnya.
Pendek kata, gagasan tentang sekolah dan kampus yang membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial mereka harus terus dikumandangkan. Jika belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianyalah pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan birokrasi, guru dan pendidik yang selalu mencoba membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya dan terbenam ke dalam 'kebudayaan bisu' (submerged in the culture of silence). Proses pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga mereka mampu mengasah daya jelajah imajinasi mereka sesuai dengan lingkungan tempat mereka menetap. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.
Dalam bahasa yang gamblang bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa), dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia adalah objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya adalah apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika itu? Kita berani mengatakan tidak. Hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi pengulangan sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.
Kritik Fraire jelas sekali dalam hal ini, yaitu bahwa sistem pendidikan yang mapan di mana pun itu selalu menggunakan banking concept of education, yang titik egonya adalah siswa/mahasiswa diberikan ilmu pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Siswa/mahasiswa adalah objek investasi dan sumber deposito potensial para guru dan birokrat yang harus terus-menerus dieksploitasi laksana komoditas ekonomi. Dengan pendekatan itulah sekolah dan kampus dibangun sehingga daftar antagonisme pendidikan gaya bank ini terus berkembang dan berlanjut, seperti guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apaĆ¢€“apa, dan guru mengatur-murid diatur.
Dalam konteks itu, meskipun telah banyak diperkenalkan wacana dan paradigma tentang gaya belajar-mengajar yang harus berpusat kepada kebutuhan siswa (student center), pada praktiknya tetap saja gaya bank yang lebih banyak berlaku. Karena itu, tak mengherankan jika banyak siswa/mahasiswa menjadi sesak napas dan terbiasa mengambil jalan pintas ketika tak memiliki kemampuan dalam menghadang realitas dunia yang semakin konsumtif dan hedonis. Padahal pendidikan seharusnya menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication).
Ahmad Baedowi
Opini Media Indonesia 13 Desember 2010