Nama Gayus Halomoan Tambunan akrab di telinga masyarakat Indonesia sejak delapan bulan lalu.
Saat itu, publik dikagetkan dengan rekening mencurigakan sebesar Rp 25 miliar. Dalam penyidikan dan persidangan terkuak ada kongkalikong, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, hingga putusan. Sejak saat itu, nama Gayus terus menjadi pembicaraan publik, apalagi satu demi satu bobroknya birokrasi perpajakan serta penanganan kasus hukumnya terungkap.
Sejak dijemput dari Singapura Gayus memang mengungkapkan beberapa perusahaan yang menyetor gepokan uang kepadanya untuk mengemplang pajak. Namun, publik hingga saat ini belum melihat titik terang apa pun dari kasus Gayus yang diyakini banyak melibatkan nama besar dan pengusaha besar.
Bahkan di internal Polri juga bisa dilihat belum ada kemajuan berarti dalam penyidikan karena sejauh ini baru menjerat anggotanya yang berpangkat kompol dan AKBP. Padahal, dalam persidangan terungkap keterlibatan beberapa jenderal.
Di tengah ketidakpercayaan publik atas penyelesaian kasus itu, tiba-tiba Gayus kembali memicu kekagetan dahsyat saat tertangkap kamera menyaksikan pertandingan tenis di Bali. ”Berkeliarannya” Gayus sampai ke Bali menimbulkan pertanyaan, kenapa orang yang berada dalam tahanan bisa keluar seenaknya. Bahkan berdasarkan penyelidikan Polri, Gayus terbukti pernah keluar tahanan 68 kali selama delapan bulan ditahan. Muncul pertanyaan, siapa di balik kemudahan Gayus mengakali para penegak hukum, khususnya penjaga Rutan Mako Brimob. Lantas, untuk kepentingan apa dan bertemu siapa Gayus ke Bali?
Pertanyaan-pertanyaan itu hingga saat ini belum terjawab, kecuali publik hanya menyaksikan sembilan polisi penjaga Rutan Mako Brimob menjadi tersangka dan diproses hukum. Namun, atas prakarsa siapa dan siapa di balik itu semua hingga kini masih menjadi pertanyaan besar. Bahkan akibat itu semua, sengaja atau tidak, telah melahirkan semacam sandera politik pihak tertentu yang selalu dihubungkan dengan Gayus.
Menagih komitmen Timur
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, di antaranya menjanjikan pembenahan internal lembaganya, merampungkan kasus rekening gendut yang diduga dimiliki beberapa perwira, serta menuntaskan kasus Gayus yang juga diduga melibatkan beberapa petinggi di Kepolisian. Semua janji itu harus terus ditagih agar kinerja Polri hari demi hari terus maju dan harapan kita untuk mempunyai Polri yang profesional menegakkan hukum bisa terwujud.
Mungkin publik akan sepakat jika menyebut kasus Gayus bagai gurita mafia yang mencengkeram bangsa ini. Betapa tidak, kasus ini bagai perselingkuhan mafia hukum (melibatkan jajaran advokat, penyidik, dan hakim) dengan mafia pajak (diduga melibatkan juga birokrat di Ditjen Pajak).
Untuk bisa meyakinkan publik bahwa kasus ini akan tuntas, Polri harus membuat target dan batas waktu kapan kasus tersebut bisa tuntas. Apalagi, dalam masalah ini sudah ada Perkap 12/2009 yang memberi waktu penyelesaian 120 hari dalam Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri.
Ketentuan internal Polri mengatur prosedur dan standar waktu dalam penanganan perkara pidana dengan tingkat kesulitan, yakni penyidikan mudah maksimal 30 hari, penyidikan sedang 60 hari, penyidikan sulit 90 hari, dan penyidikan sangat sulit maksimal 120 hari. Standar itu harus diterapkan agar kepercayaan publik dalam menangani kasus Gayus dalam penegakan hukum bisa dipulihkan.
Kapolri harus juga bisa menjamin kelanjutan proses terhadap penyidik yang telah menjadi tersangka termasuk menangani secara hukum bila sampai beberapa jenderal yang terlibat.
Lalu terhadap tersangka dari kalangan jaksa, Kapolri juga harus membuat kasus ini menjadi terang: apakah hanya sebatas jaksa-jaksa yang telah ditetapkan sebagai tersangka ataukah masih ada jaksa lain yang secara struktur lebih tinggi dan menentukan dalam mengambil kebijakan.
Kapolri juga harus menjamin kalangan advokat serta penghubung antara Gayus dan beberapa perusahaan dalam menjalankan transaksi dibongkar agar di satu sisi tidak selalu menyandera perusahaan dalam kasus hukum dan sisi lain juga memberikan kepastian hukum dalam berusaha.
Itu semua harus jelas agar beberapa perusahaan besar, seperti PT Exelcomindo, Bumi Resources, Dowell Anadrill Schlumberger, Indocement, dan beberapa perusahaan lain yang disebut-sebut punya kepastian hukum apakah terlibat atau tidak.
Sinergi penegak hukum
Jika Polri sudah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas, maka publik perlu memberikan dukungan dan terus mengawasi penegak hukum lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak boleh berpangku tangan. KPK bisa melakukan supervisi sebagaimana fungsi dibentuknya lembaga tersebut.
Publik tidak perlu memperdebatkan agar kasus tersebut ditangani atau diambil alih oleh KPK dan mengasumsikan bahwa Polri tidak akan mampu menyelesaikannya.
Sebagai negara hukum, kita semua harus melihat Polri sebagai lembaga permanen yang bisa menjadi penegak hukum profesional. Selalu meneriakkan agar kasus yang ditangani Polri diambil alih oleh KPK justru secara tidak langsung melemahkan Polri sebagai lembaga penegak hukum. Kapan Polri akan bekerja profesional jika dalam penanganan kasus besar selalu tidak dipercaya?
Karena itu, kita semua cukup mengawasi dan memberikan masukan agar kasus tersebut tuntas. KPK dan Kejaksaan, sebagai sesama lembaga penegak hukum, harus bersinergi dengan Polri. Harus diyakini jika KPK menyupervisi Polri dalam kasus Gayus, hasilnya juga akan lebih terang.
Dengan supervisi, bukan mengambil alih, KPK selaku sesama penegak hukum juga tetap menghargai proses di Polri. Dengan demikian, hal seperti itu tidak akan mengganggu psikologis Polri dan juga meminimalkan hubungan tidak sehat antarlembaga penegak hukum.
Jika semua lembaga hukum sudah bersinergi, political will dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi penentu terakhir apakah menghendaki kasus ini akan tuntas hingga akar-akarnya atau tidak. Sebab, meskipun secara sistem tidak ada campur tangan eksekutif terhadap yudikatif, dalam praktik ujung dari penyelesaian kasus besar selalu berada di kehendak Presiden.
Karena itu, Presiden harus mendorong agar proses ini bisa diselesaikan, termasuk jika memang ada petinggi-petinggi atau orang penting di negara ini. Sikap Presiden yang memercayakan kasus ini di kepolisian harus bisa direspons oleh Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo. Komitmennya dalam menangani kasus besar ini sangat ditunggu oleh publik.
Selamat bekerja Pak Timur, kita semua menunggu hasilnya!
Pramono Anung Wakil Ketua DPR, Politisi PDI Perjuangan
Opini Kompas 14 Desember 2010