SELAMA tiga bulan terakhir ini kasus pungutan liar (pungli) merebak di Kabupaten Banyumas. Akhir September 2010, puluhan pengusaha kayu menggeruduk Kantor Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) Pemasaran Kayu I Purwokerto.
Mereka menuduh di kantor itu ada praktik pungli Rp 10 ribu-Rp 50 ribu untuk tiap meter kubik kayu yang dibeli dari Perhutani. Para pengusaha menuntut Asisten Manager KBM mengundurkan diri.
Minggu pertama Oktober 2010, Kejari Banyumas menahan dua staf kepegawaian Dinas Kesehatan Banyumas. Keduanya ditahan karena diduga memungli 65 bidan PTT dengan janji diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Jaksa menjerat dengan Pasal 11 dan 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 55 KUHP.
Kasus terbaru, Bupati Banyumas Mardjoko memanggil lima kepala dinas berkaitan keluhan pungli di dinas-dinas tersebut. Mereka adalah Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan; Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral; Kepala Dinas Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang; Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta Kepala Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata.
Bupati mengancam menindak pejabat yang terbukti nakal dalam proses perizinan. Sanksi yang diberikan bisa berupa penurunan jabatan, pencopotan, atau penggeseran. Tindakan tersebut sebagai bentuk komitmennya terhadap program clean goverment dan proinvestasi yang dikampanyekan di kabupaten tersebut. (SM, 25/11/10).
Bupati tidak menyerahkan dugaan pungli tersebut kepada polisi agar pelakunya diberi sanksi pidana. Dalam hukum pidana istilah pungli memang tidak dikenal. Sejauh ini kita belum pernah mendengar tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita paksakan menggunakan istilah pungli maka secara hukum, pelakunya tidak dapat dihukum.
Karena itu, Kejari menjerat tersangka pungli bidan PTT dengan Pasal 11 dan 12 UU Pemberantasan Tipikor. Isi Pasal 11 adalah ’’Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan Pasal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun atau denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 250 juta’’.
Sedangkan Pasal 418 KUHP menyebutkan ’’Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ada dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya’’. Namun ada yang berpendapat, perbuatan pungli bisa dirumuskan sebagai tindak pidana pemerasan, yang dituangkan dalam Pasal 368 KUHP.
Meskipun pungli ada sejak masa penjajahan, istilah tersebut mencuat dan jadi isu nasional ketika Laksamana Soedomo selaku Kepala Operasi Tertib (Opstib) bersama Menpan melakukan operasi dengan sasaran utamanya pungli, mulai September 1977. Operasi yang beralangsung sampai Oktober 1982 ini, sasarannya adalah petugas jalan raya, Bea dan Cukai, Imigrasi sampai bupati.
Tidak Bertemu
Dalam buku Pungli, Analisa Hukum dan Kriminologi (Soedjono D: 1983, SIB Bandung), Prof Poernadi Poerbatjaraka menyebut pungli merupakan interaksi antara dua orang (pihak). Dalam hal ini biasanya pejabat dan masyarakat, yang maksudnya memberikan fasilitas, jasa atau lainnya yang dilakukan oleh oknum pejabat. Dengan segala fasilitas yang diberikan itu, anggota masyarakat itu memberikan imbalan.
Orang memberi imbalan atas fasilitas yang diberikan pejabat karena fasilitas atau kemudahan itu bisa memberikan keuntungan. Ini sesuai dengan arti dalam kamus bahasa China, yaitu pung (diucapkan dengan u panjang-Red) berarti mempersembahkan, dan li artinya keuntungan.
Untuk memberantas pungli, interaksi tersebut harus diputus. Karena perangkat peraturan dan perundang-undangan sebagai upaya preventif dan represif kurang efektif maka layanan elektronik atau e-service bisa menjadi salah satu cara untuk menghilangkan pungli yang selama ini terjadi di berbagai instansi penyedia jasa di jajaran Pemkab Banyumas.
Layanan e-service bisa menghilangkan pungli karena antara user (pengguna layanan) dan provider (penyedia layanan) tidak bertatap muka. Ini mencegah adanya saling tawar-menawar biaya tambahan.
Website Pemkab Banyumas jangan hanya dijadikan tempat pemasangan foto pejabat tetapi dioptimalkan sebagai media pengurusan berbagai hal, misalnya perizinan, KTP, kartu keluarga, dan lainnya. Jika situs itu dioptimalkan maka akan menghemat biaya dan waktu. Peluang praktik pungli pun bisa dipersempit. (10)
— Didi Wahyu, alumnus Magister Hukum Unsoed, konsentrasi Hukum Kenegaraan
Mereka menuduh di kantor itu ada praktik pungli Rp 10 ribu-Rp 50 ribu untuk tiap meter kubik kayu yang dibeli dari Perhutani. Para pengusaha menuntut Asisten Manager KBM mengundurkan diri.
Minggu pertama Oktober 2010, Kejari Banyumas menahan dua staf kepegawaian Dinas Kesehatan Banyumas. Keduanya ditahan karena diduga memungli 65 bidan PTT dengan janji diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Jaksa menjerat dengan Pasal 11 dan 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 55 KUHP.
Kasus terbaru, Bupati Banyumas Mardjoko memanggil lima kepala dinas berkaitan keluhan pungli di dinas-dinas tersebut. Mereka adalah Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan; Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral; Kepala Dinas Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang; Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta Kepala Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata.
Bupati mengancam menindak pejabat yang terbukti nakal dalam proses perizinan. Sanksi yang diberikan bisa berupa penurunan jabatan, pencopotan, atau penggeseran. Tindakan tersebut sebagai bentuk komitmennya terhadap program clean goverment dan proinvestasi yang dikampanyekan di kabupaten tersebut. (SM, 25/11/10).
Bupati tidak menyerahkan dugaan pungli tersebut kepada polisi agar pelakunya diberi sanksi pidana. Dalam hukum pidana istilah pungli memang tidak dikenal. Sejauh ini kita belum pernah mendengar tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita paksakan menggunakan istilah pungli maka secara hukum, pelakunya tidak dapat dihukum.
Karena itu, Kejari menjerat tersangka pungli bidan PTT dengan Pasal 11 dan 12 UU Pemberantasan Tipikor. Isi Pasal 11 adalah ’’Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan Pasal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun atau denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 250 juta’’.
Sedangkan Pasal 418 KUHP menyebutkan ’’Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ada dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya’’. Namun ada yang berpendapat, perbuatan pungli bisa dirumuskan sebagai tindak pidana pemerasan, yang dituangkan dalam Pasal 368 KUHP.
Meskipun pungli ada sejak masa penjajahan, istilah tersebut mencuat dan jadi isu nasional ketika Laksamana Soedomo selaku Kepala Operasi Tertib (Opstib) bersama Menpan melakukan operasi dengan sasaran utamanya pungli, mulai September 1977. Operasi yang beralangsung sampai Oktober 1982 ini, sasarannya adalah petugas jalan raya, Bea dan Cukai, Imigrasi sampai bupati.
Tidak Bertemu
Dalam buku Pungli, Analisa Hukum dan Kriminologi (Soedjono D: 1983, SIB Bandung), Prof Poernadi Poerbatjaraka menyebut pungli merupakan interaksi antara dua orang (pihak). Dalam hal ini biasanya pejabat dan masyarakat, yang maksudnya memberikan fasilitas, jasa atau lainnya yang dilakukan oleh oknum pejabat. Dengan segala fasilitas yang diberikan itu, anggota masyarakat itu memberikan imbalan.
Orang memberi imbalan atas fasilitas yang diberikan pejabat karena fasilitas atau kemudahan itu bisa memberikan keuntungan. Ini sesuai dengan arti dalam kamus bahasa China, yaitu pung (diucapkan dengan u panjang-Red) berarti mempersembahkan, dan li artinya keuntungan.
Untuk memberantas pungli, interaksi tersebut harus diputus. Karena perangkat peraturan dan perundang-undangan sebagai upaya preventif dan represif kurang efektif maka layanan elektronik atau e-service bisa menjadi salah satu cara untuk menghilangkan pungli yang selama ini terjadi di berbagai instansi penyedia jasa di jajaran Pemkab Banyumas.
Layanan e-service bisa menghilangkan pungli karena antara user (pengguna layanan) dan provider (penyedia layanan) tidak bertatap muka. Ini mencegah adanya saling tawar-menawar biaya tambahan.
Website Pemkab Banyumas jangan hanya dijadikan tempat pemasangan foto pejabat tetapi dioptimalkan sebagai media pengurusan berbagai hal, misalnya perizinan, KTP, kartu keluarga, dan lainnya. Jika situs itu dioptimalkan maka akan menghemat biaya dan waktu. Peluang praktik pungli pun bisa dipersempit. (10)
— Didi Wahyu, alumnus Magister Hukum Unsoed, konsentrasi Hukum Kenegaraan
Wacana Suara Merdeka 13 Desember 2010