Mohammad Takdir Ilahi
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta,
Momen Hari Bakti Transmigrasi ke-60 yang jatuh pada 12 Desember 2010 patut dijadikan refleksi kritis bagi segenap elemen bangsa untuk mencermati kinerja Menakertrans dalam meningkatkan program prioritas yang dijalankan dalam satu tahun kinerja. Sejak diangkat pertama kali pada 21 Oktober 2009, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, dituntut untuk melanjutkan program tenaga kerja dan transmigrasi dari menteri sebelumnya.
Di antara program prioritas Menakertrans adalah menekankan pelayanan dan peningkatan kualitas perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya di luar negeri. Sementara itu, dalam bidang transmigrasi, Menakertrans mengutamakan kampanye pada masyarakat dengan menekankan kewirausahaan (entrepreneurship) di bidang pertanian. (Kompas, [7-12-2009]).
Momentum Hari Transmigrasi ini diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat demi mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.
Sebagai informasi, menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia hingga Agustus 2009 tercatat 8,96 juta orang atau 7,87%. Angka itu menurun dibanding Februari 2009 sebanyak 9,26 juta orang (8,14%), maupun dibandingkan Agustus 2008 sebanyak 9,39 juta orang (8,39%).
Sementara itu, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 113,83 juta orang, bertambah 90 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,74 juta orang atau bertambah 1,88 juta orang dibanding Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang.
Program transmigrasi di sektor pertanian memiliki potensi ekonomi sangat luar biasa, seperti pengembangan industri bioteknologi, agrobisnis, agroindustri, industri pertanian dan kedaulatan pangan. Bila benar-benar dimanfaatkan dan didayagunakan secara optimal, akan dapat menunjang pembangunan ekonomi nasional secara signifikan. Ekonomi pertanian yang banyak bertumpu pada sektor riil juga akan dapat memperkokoh perekonomian nasional.
Rokhim Dahuri pernah mengatakan masa depan industri pertanian kita mulai terancam. Padahal, kita tahu sumber daya pertanian atau pangan sebagai salah satu potensi unggulan dalam konteks pembangunan ekonomi. Sebab itu, ia memandang perlu adanya visi dan misi, serta strategi pembangunan pertanian yang inovatif.
Lalu, apa yang menjadi faktor utama penyebab terancamnya masa depan industri pertanian kita? Betapa tidak, minat ilmu pertanian di perguruan tinggi sudah semakin menurun, bahkan dari tahun ke tahun, calon mahasiswa yang mendaftar di Fakultas Pertanian cenderung turun drastis. Padahal, bidang pertanian merupakan disiplin ilmu yang berperan penting dalam mencetak praktisi pertanian yang andal, profesional, kompeten, dan prestatif dalam mengembangan inovasi industri pertanian secara totalitas.
Ada banyak alasan dan pertimbangan dari masyarakat, sehingga kurang berminat memasukkan anak mereka ke Fakultas Pertanian. Salah satunya adalah asumsi yang mengatakan Fakultas Pertanian hanya cenderung mencetak manusia pekerja. Pada titik inilah, lulusan Fakultas Pertanian nantinya diharapkan menjadi spesialis dalam mencari kerja.
Di samping itu, ilmu pertanian diasumsikan sebagai disiplin keilmuan yang bisa dipelajari di luar kampus, tanpa harus kuliah di Fakultas Pertanian. Cukup banyak para petani yang sukses tanpa harus kuliah di Fakultas Pertanian, bahkan sebagian dari mereka memiliki kapasitas dalam mengembangkan produktivitas pertanian, menciptakan penemuan baru, dan menawarkan konsep-konsep pertanian yang berkualitas dan unggul.
Menghadapi persoalan tersebut, beberapa Fakultas Pertanian mulai melakukan perbaikan dan pembenahan untuk meningkatkan minat calon mahasiswa. Semisal, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengubah filosofi target sasaran keilmuannya mulai 2008. Lulusan pertanian tidak lagi menjadi ahli dalam mencari kerja, tetapi diarahkan pengembangan entrepreneurship yang mandiri. Sebab itu, penjurusannya pun disimplifikasikan atau dibuat generalis menjadi Jurusan Agroteknologi dan agrobisnis.
Begitu pula dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang mulai mengarahkan para mahasiswa untuk menjadi entrepreneurship di bidang pertanian, sehingga lulusan yang dihasilkan bisa membangun usaha sendiri dan hidup dalam kemandirian. Menurut Tarsito (2005), budaya entrepreneurship (wirausahawan) dapat berimplikasi pada kemampuan menciptakan lapangan kerja baru yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka pengangguran serta membentuk masyarakat baru yang berbasis pengetahuan (knowledge).
Opini Lampung Post 13 Desember 2010