Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Korea Lee Myung-bak, disaksikan oleh Sultan Hassanal Bolkiah, Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmau dan Menteri Luar Negeri RI, Marty M Natalegawa, telah membuka Forum Demokrasi Bali (BDF) ke-3, yang bertema "Demokrasi dan Upaya Mendorong Perdamaian dan
Stabilitas", 9-10 Desember 2010 di Nusa Dua-Bali. "Tidak ada istilah demokrasi telah selesai, karena demokrasi harus menghasilkan "democratic dividend" yang dirasakan utamanya oleh masyarakat dan berimbas ke berbagai kawasan lainnya. Melihat realitas di kawasan, pada kenyataanya, terdapat keperluan mendesak untuk mengatasi "political development gap" yang belum banyak disentuh. Jika tidak diantisipasi, kesenjangan pembangunan politik itu, dapat berujung pada gangguan pembangunan, instabilitas politik dan ancaman keamanan di
kawasanâ€, demikian sepotong pidato menarik, Presiden RI Susilo Bambang Yudhono dalam pembukaan Bali Democracy Forum (BDF), 9 Desember 2010. Kembali melalui forum ini, Indonesia tidak hanya mengulirkan gagasan namun juga turut memetakan arah arsitektur demokrasi di Asia-Pasifik. Sebuah komitmen kebangsaan yang patut dibanggakan.
Mantra peradaban baru
Demokrasi seharusnya bukan lagi wacana. Pada saat ini, hanya ada satu pilihan bagi makna kemajuan. Ke dalam maupun ke luar, sistem yang demokratis adalah satu-satunya jalan dan tuntutan absolut untuk meraih kemajuan maupun merebut peluang kerja sama antar negara. Demokrasi bukan lagi mimpi, tapi sebuah produk realitas kehidupan.
Pergulatan peradaban masa kini, tuntutan di dalam negeri maupun dalam rangka kerjasama dan pergaulan antar bangsa, demokrasi adalah elemen utama. Mantra peradaban baru, dalam tata pergaulan dunia yang bermartabat. "Hanya dengan menerapkan sistem yang demokratis...asas yang berkeadilan, persamaan dan transparasi, perdamaian dan stabilitas kawasan maupun global, dapat kita wujudkan dan perihara bersama," demikian imbuh Presiden SBY menegaskan mantra cita-cita peradaban dalam pergaulan internasional masa kini dan masa mendatang.
Pernyataan itu, sekaligus menyiratkan sebuah kontras keadaan yang amat memprihatinkan. Dunia maju yang masih jauh dari cita-cita, realitas dunia yang sama sekali belum demokratis, dan mampu memberi ruang peningkatan kesejahteraan serta perdamaian yang berkelanjutan di banyak belahan dunia. Di tengah realitas dunia yang sama sekali jauh dari ideal, produk peradaban yang penuh gejolak dan instabilitas. Kemiskinan, disparitas kekayaan, lapangan kerja yang minim dan tingkat pengangguran yang tinggi, bencana alam hingga pratik korupsi adalah tantangan utama bagi peradaban demokratis. Sistem demokratis masih dan terus dibenturkan realitas yang berseberangan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik (better life) serta hidup yang bermartabat.
Fakta baru Asia
Di tengah pesimisme dalam realitas dunia yang tidak ideal ini, perkembangan keadaan di Asia memberi gambaran unik. Keamanan dan stabilitas di kawasan, berikut pembangunan ekonomi yang relatif maju, telah memberi "democratic dividen", fondasi munculnya proses demokratisasi yang lebih luas. Bangkitnya kelas menengah di Asia adalah harapan baru, bagi berlangsungnya perubahan demokratis di kawasan.
Coba kita amati. Di tengah 1,5 miliar warga Asia yang masih miskin, dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika Serikat (AS) per hari terdapat 1,9 miliar (56%) penduduk Asia pada tahun 2008, pantas disebut sebagai kelas menengah baru dengan penghasilan hingga 20 dolar AS per harinya. Jumlah orang miskin berkurang, orang kaya baru justru bertambah tiga kali lipat, dari 565 juta (21 persen) tahun 1990, menjadi 1,9 miliar penduduk (56 persen) pada tahun 2008. Peningkatan penghasilan di kawasan, empat kali lipat dari total 721 miliar dolar AS (1990)
menjadi 3,3 triliun dolar AS (2008). Mengutip studi Ravallion (2009) disebutkan kelas menengah baru di India mencapai angka 806 juta orang dan di Tiongkok (China) mencapai 264 juta, atau total sekitar 62 persen kelas menengah baru di Asia. Demikian studi Asia Development Bank 2010. Bahkan, saat resesi ekonomi yang terjadi di AS dan Eropa 2008-2009 lalu, kelas menengah Asia itu mampu membelanjakan lebih dari 4,3 triliun dolar AS sepanjang tahun 2008, sekitar sepertiga dari total konsumsi privat di negara-negara OECD. Pada akhir tahun 2030 diprediksi belanja konsumsinya mencapai angka 32 triliun dolar atau hampir dari setengah (43 persen) konsumsi dunia.
Demokrasi untuk hidup bermartabat
Pemangku kepentingan, dari kelas menengah baru ini, menuntut perubahan di banyak hal. Modernitas bercorak mega kosmopolit dengan urban life baru tersebut, telah menciptakan tren baru makna kebebasan (freedom), meningkatnya kesadaran akan hak (citizen rights), transparansi berikut akuntabilitas yang lebih atas pelayanan publik. Kemandirian penghasilan, di tengah kekuatan pasar ini, memberi jarak ketergantungan kepada pemerintah sekaligus tuntutan baru terhadap tata kelola pemerintahan. Good governance, pemerintah yang bersih dan pro-rakyat serta memerangi korupsi adalah pendulum bagi dukungan publik maupun perubahan yang diinginkan. Demokratisasi bergulir seiring dengan dinamika kehidupan yang terjadi pada kelompok ini. Generasi kelas menengah baru, yang hidup dalam liberalisme-kapitalisme global bahkan dalam gelimang konsumerisme sekalipun menghendaki tata kelola
pemerintah yang baik, apapun sistem yang dianut. Tidak terlalu hipotetikal jika mengatakan bahwa sepanjang pembangunan ekonomi terbagi secara merata mencukupi taraf hidup bermartabat – pertikaian politik dalam alam demokrasi maju apapun namanya bentuk pemerintahan, monarki, republik atau federasi tidak akan menghentikan aktivitas ekonomi sehari-hari.
Jika perbedaan mampu dikelola, tidak berubah menjadi kekerasan dan anarki serta mengakibatkan orang kehilangan penghasilan atau sumber ekonomi, maka stabilitas politik relatif terjaga dan peluang kerjasama dengan dunia luar tetap terbuka luas. Monarki, republik, federasi atau apa pun pilihannya sepanjang bisa menerima tuntutan perubahan zaman dan perut rakyat benar tercukupi demokrasi tidak akan menjadi idiom yang akan membelah dan membenturkan pemerintah dengan rakyat.
“Demokrasi di Belgia†menjadi contoh nyata di abad ke-21 ini. Ketika partai pemenang pemilu, tidak mampu melaksanakan mandat kepercayaan rakyat membentuk pemerintahan (koalisi) baru, kevakuman pemerintahan itu, tidak menimbulkan kerusuhan yang menghentikan kegiatan ekonomi rakyat.
Ketika kemelut politik di tingkat elite berlangsung, denyut kehidupan ekonomi berlangsung normal, mayoritas rakyat tidak perduli, sepanjang penghasilan mereka tidak berkurang, rakyat tidak kehilangan pekerjaan, hidup pun tenang tanpa ada
kerusuhan politik di akar rumput. Gejolak politik, di tingkat elite dalam sistem demokrasi liberal yang mapan, tidak menghancurkan aktivitas keseharian. Bercermin dari itu, demokrasi yang sesungguhnya bukan bentuk yang dicari, tapi isinya. Apa yang bisa diperoleh dari bentuk itu. Democratic dividend, berupa kemakmuran ekonomi yang merata adalah penjaga stabilitas yang paling ampuh. Kemakmuran mendorong masyarakat hidup damai membangun kerjasama baru untuk bisa hidup lebih bermartabat.
Oleh PLE Priatna, Alumnus FISIP UI dan Universitas Monash, Australia; staf Ditjen Kerjasama ASEAN-Kementerian Luar Negeri)
Stabilitas", 9-10 Desember 2010 di Nusa Dua-Bali. "Tidak ada istilah demokrasi telah selesai, karena demokrasi harus menghasilkan "democratic dividend" yang dirasakan utamanya oleh masyarakat dan berimbas ke berbagai kawasan lainnya. Melihat realitas di kawasan, pada kenyataanya, terdapat keperluan mendesak untuk mengatasi "political development gap" yang belum banyak disentuh. Jika tidak diantisipasi, kesenjangan pembangunan politik itu, dapat berujung pada gangguan pembangunan, instabilitas politik dan ancaman keamanan di
kawasanâ€, demikian sepotong pidato menarik, Presiden RI Susilo Bambang Yudhono dalam pembukaan Bali Democracy Forum (BDF), 9 Desember 2010. Kembali melalui forum ini, Indonesia tidak hanya mengulirkan gagasan namun juga turut memetakan arah arsitektur demokrasi di Asia-Pasifik. Sebuah komitmen kebangsaan yang patut dibanggakan.
Mantra peradaban baru
Demokrasi seharusnya bukan lagi wacana. Pada saat ini, hanya ada satu pilihan bagi makna kemajuan. Ke dalam maupun ke luar, sistem yang demokratis adalah satu-satunya jalan dan tuntutan absolut untuk meraih kemajuan maupun merebut peluang kerja sama antar negara. Demokrasi bukan lagi mimpi, tapi sebuah produk realitas kehidupan.
Pergulatan peradaban masa kini, tuntutan di dalam negeri maupun dalam rangka kerjasama dan pergaulan antar bangsa, demokrasi adalah elemen utama. Mantra peradaban baru, dalam tata pergaulan dunia yang bermartabat. "Hanya dengan menerapkan sistem yang demokratis...asas yang berkeadilan, persamaan dan transparasi, perdamaian dan stabilitas kawasan maupun global, dapat kita wujudkan dan perihara bersama," demikian imbuh Presiden SBY menegaskan mantra cita-cita peradaban dalam pergaulan internasional masa kini dan masa mendatang.
Pernyataan itu, sekaligus menyiratkan sebuah kontras keadaan yang amat memprihatinkan. Dunia maju yang masih jauh dari cita-cita, realitas dunia yang sama sekali belum demokratis, dan mampu memberi ruang peningkatan kesejahteraan serta perdamaian yang berkelanjutan di banyak belahan dunia. Di tengah realitas dunia yang sama sekali jauh dari ideal, produk peradaban yang penuh gejolak dan instabilitas. Kemiskinan, disparitas kekayaan, lapangan kerja yang minim dan tingkat pengangguran yang tinggi, bencana alam hingga pratik korupsi adalah tantangan utama bagi peradaban demokratis. Sistem demokratis masih dan terus dibenturkan realitas yang berseberangan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik (better life) serta hidup yang bermartabat.
Fakta baru Asia
Di tengah pesimisme dalam realitas dunia yang tidak ideal ini, perkembangan keadaan di Asia memberi gambaran unik. Keamanan dan stabilitas di kawasan, berikut pembangunan ekonomi yang relatif maju, telah memberi "democratic dividen", fondasi munculnya proses demokratisasi yang lebih luas. Bangkitnya kelas menengah di Asia adalah harapan baru, bagi berlangsungnya perubahan demokratis di kawasan.
Coba kita amati. Di tengah 1,5 miliar warga Asia yang masih miskin, dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika Serikat (AS) per hari terdapat 1,9 miliar (56%) penduduk Asia pada tahun 2008, pantas disebut sebagai kelas menengah baru dengan penghasilan hingga 20 dolar AS per harinya. Jumlah orang miskin berkurang, orang kaya baru justru bertambah tiga kali lipat, dari 565 juta (21 persen) tahun 1990, menjadi 1,9 miliar penduduk (56 persen) pada tahun 2008. Peningkatan penghasilan di kawasan, empat kali lipat dari total 721 miliar dolar AS (1990)
menjadi 3,3 triliun dolar AS (2008). Mengutip studi Ravallion (2009) disebutkan kelas menengah baru di India mencapai angka 806 juta orang dan di Tiongkok (China) mencapai 264 juta, atau total sekitar 62 persen kelas menengah baru di Asia. Demikian studi Asia Development Bank 2010. Bahkan, saat resesi ekonomi yang terjadi di AS dan Eropa 2008-2009 lalu, kelas menengah Asia itu mampu membelanjakan lebih dari 4,3 triliun dolar AS sepanjang tahun 2008, sekitar sepertiga dari total konsumsi privat di negara-negara OECD. Pada akhir tahun 2030 diprediksi belanja konsumsinya mencapai angka 32 triliun dolar atau hampir dari setengah (43 persen) konsumsi dunia.
Demokrasi untuk hidup bermartabat
Pemangku kepentingan, dari kelas menengah baru ini, menuntut perubahan di banyak hal. Modernitas bercorak mega kosmopolit dengan urban life baru tersebut, telah menciptakan tren baru makna kebebasan (freedom), meningkatnya kesadaran akan hak (citizen rights), transparansi berikut akuntabilitas yang lebih atas pelayanan publik. Kemandirian penghasilan, di tengah kekuatan pasar ini, memberi jarak ketergantungan kepada pemerintah sekaligus tuntutan baru terhadap tata kelola pemerintahan. Good governance, pemerintah yang bersih dan pro-rakyat serta memerangi korupsi adalah pendulum bagi dukungan publik maupun perubahan yang diinginkan. Demokratisasi bergulir seiring dengan dinamika kehidupan yang terjadi pada kelompok ini. Generasi kelas menengah baru, yang hidup dalam liberalisme-kapitalisme global bahkan dalam gelimang konsumerisme sekalipun menghendaki tata kelola
pemerintah yang baik, apapun sistem yang dianut. Tidak terlalu hipotetikal jika mengatakan bahwa sepanjang pembangunan ekonomi terbagi secara merata mencukupi taraf hidup bermartabat – pertikaian politik dalam alam demokrasi maju apapun namanya bentuk pemerintahan, monarki, republik atau federasi tidak akan menghentikan aktivitas ekonomi sehari-hari.
Jika perbedaan mampu dikelola, tidak berubah menjadi kekerasan dan anarki serta mengakibatkan orang kehilangan penghasilan atau sumber ekonomi, maka stabilitas politik relatif terjaga dan peluang kerjasama dengan dunia luar tetap terbuka luas. Monarki, republik, federasi atau apa pun pilihannya sepanjang bisa menerima tuntutan perubahan zaman dan perut rakyat benar tercukupi demokrasi tidak akan menjadi idiom yang akan membelah dan membenturkan pemerintah dengan rakyat.
“Demokrasi di Belgia†menjadi contoh nyata di abad ke-21 ini. Ketika partai pemenang pemilu, tidak mampu melaksanakan mandat kepercayaan rakyat membentuk pemerintahan (koalisi) baru, kevakuman pemerintahan itu, tidak menimbulkan kerusuhan yang menghentikan kegiatan ekonomi rakyat.
Ketika kemelut politik di tingkat elite berlangsung, denyut kehidupan ekonomi berlangsung normal, mayoritas rakyat tidak perduli, sepanjang penghasilan mereka tidak berkurang, rakyat tidak kehilangan pekerjaan, hidup pun tenang tanpa ada
kerusuhan politik di akar rumput. Gejolak politik, di tingkat elite dalam sistem demokrasi liberal yang mapan, tidak menghancurkan aktivitas keseharian. Bercermin dari itu, demokrasi yang sesungguhnya bukan bentuk yang dicari, tapi isinya. Apa yang bisa diperoleh dari bentuk itu. Democratic dividend, berupa kemakmuran ekonomi yang merata adalah penjaga stabilitas yang paling ampuh. Kemakmuran mendorong masyarakat hidup damai membangun kerjasama baru untuk bisa hidup lebih bermartabat.
Oleh PLE Priatna, Alumnus FISIP UI dan Universitas Monash, Australia; staf Ditjen Kerjasama ASEAN-Kementerian Luar Negeri)
Opini Media Indonesia 14 Desember 2010