13 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Islamofobia

Islamofobia

Okrisal Eka Putra, Lc, MA
Dosen UIN Yogyakarta

Ketika Presiden Iran Ahmadinejad berpidato di depan Majelis PBB yang mengkritik beberapa kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan menyinggung tentang keterlibatan AS pada tragedi WTC, Presiden Barrack Obama mengutuk pidato tersebut dan sebagian delegasi Barat walk out. Padahal, dalam catatan sejarah, pemimpin negara yang berpidato di tempat yang sama dan menghujat kebijakan Amerika bukan hanya dilakukan Presiden Iran Ahmadinejad, ini juga pernah dilakukan Presiden Hugo Chavez dan Videl Castro.

Bahkan, Hugo Chavez sampai mengatakan bahwa Presiden Goerge W Bush sebagai setan, tetapi mengapa Amerika diam saja dan delegasi Barat tidak walk out? Jawaban sementara karena Iran adalah negara Islam. Di Tanah Air, ketika berbicara tentang konsep kerukunan beragama, selalu corongnya mengarah kepada umat Islam, seolah-olah Islam dituduh agama yang tidak toleran, tidak mengajarkan kerukunan, dan lain lain.

Dalil yang sering diucapkan oleh kalangan non-Muslim adalah tidak maunya umat Islam berbagi dengan agama lain, seperti tidak mau makan kalau yang menyembelih binatangnya non-Muslim, tidak mau menikahkan putrinya dengan laki-laki dari agama lain, tidak mau mengucapkan selamat Natal atau hari raya agama lain, dan argumen-argumen lain.

Ini tentu saja sangat tidak tepat. Mereka kalangan non-Muslim tidak tahu bahwa semua yang mereka sebutkan sebagai argumen ketidaktoleranan salah sasaran. Karena dalam Islam, toleransi dan kerukunan hanya dalam masalah sosial, tidak dalam masalah akidah dan syariah. Di sinilah letak kekeliruannya konsep toleransi karena masalah penyembelihan dan pernikahan masuk dalam wilayah syariah. Dan, pengucapan selamat Natal masuk dalam wilayah akidah, dan memang aturannya begitu.

Ironisnya lagi, kalau memang umat Islam menjadi pihak yang selalu dituduh tidak mau menciptakan kerukunan dan tidak saling menghormati, mengapa data-data yang ada justru agama lainlah yang sering menghina dan merendahkan agama Islam, merekalah yang pernah melemparkan Alquran ke jalan raya, mereka yang pernah memasukkan Alquran ke dalam closed WC, mereka menghina Nabi Muhammad dengan berbagai karikatur penghinaan, bahkan mereka merencanakan 'Alquran Burning Days' di seluruh dunia. Pernahkah tercatat dalam sejarah selama ini ada umat Islam yang menginjak-injak kitab suci agama lain, pernahkah umat Islam membakar ramai-ramai kitab suci agama lain, menghina nabi-nabi agama lain. Di sinilah titik tolak kerancuan konsep toleransi.

Karena tidak menempatkan sesuatu pada posisi yang tepat, silakan baca sejarah. Ketika umat Islam mayoritas, nasib minoritas agama lain selalu dilindungi dan dihormati, tapi coba lihat ketika Islam yang minoritas, bermacam-macam perlakuan negatif menjadi pemandangan sehari-hari.

Islamofobia merupakan sikap kebencian terhadap agama Islam tanpa ada alasan dan dasar. Artinya, kebencian tanpa memiliki argumen yang jelas. Benci terhadap atribut-atribut keislaman, benci kalau agama Islam jaya dan gemilang. Dan, lebih ironisnya penyakit ini juga menjangkiti umat Islam. Mereka shalat dan puasa, bahkan haji berkali-kali, tapi penyakit Islamofobia tersebut tanpa disadari menjangkiti hati mereka. Mereka tidak senang kalau agama Islam ini gemilang, mereka tidak suka dengan kelompok- kelompok Islam yang berusaha menjalankan agama sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah.

Akan tetapi, walaupun Islamofobia ini tidak berdasar dan hanya membabi buta, sebenarnya bisa dilacak beberapa alasan yang dimiliki kelompok non-Muslim membenci agama Islam. Pertama, Barat sangat trauma dengan agama Islam karena pernah menjadi pemenang peradaban. Dalam persentuhan Islam dan Barat, sejarah mencatat Islam pernah mengalahkan Barat sebanyak 4 kali yang melahirkan trauma dalam peradaban Barat, yaitu: Islam pernah berkuasa di Spanyol lebih dari 800 tahun, penaklukan Kota Konstantinopel, pengepungan Kota Viena sebanyak dua kali, dan paling dramatis adalah Perang Salib yang berlangsung lebih dari 100 tahun.

Dan, mereka merasa tersaingi untuk menjadi adikuasa peradaban. Apalagi setelah Soviet hancur, Islam menjadi satu-satunya kekuatan pesaing yang perlu disingkirkan. Kedua, mereka melihat perkembangan kuantitas umat Islam sangat cepat, perpindahan pemeluk agama Kristen ke Islam lebih banyak jumlahnya daripada pindah ke agama lain. Bahkan, secara statistik jumlah umat Islam di negara-negara Barat menunjukkan peningkatan tiap tahun. Ketiga, penguasaan teknologi di beberapa negara Islam menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Keempat, semakin mereka memojokkan dan menjelek-jelekkan Islam di mata dunia, justru orang-orang Barat semakin penasaran dan ingin mempelajari agama Islam. Setelah peristiwa 11 September kelabu, justru semakin banyak orang-orang Barat mempelajari dan memeluk agama Islam.

Ini mungkin sejalan dengan yang pernah diriwayatkan Rasulullah: Pada akhir zaman nanti, Islam akan diperlakukan persis seperti Islam pertama kali datang. Ketika pertama kali Islam lahir, agama ini dianggap aneh, selaludicurigai, dituduh dengan macam-macam tuduhan, inilah yang kita saksikan sekarang, apa pun yang berbau "Islam" selalu dianggap aneh dan salah.

Kalau ada oknum pihak Muslim melukai pihak lain, seluruh negara ribut, tapi kalau umat Islam yang disakiti, dianggap persoalan biasa. Lebih parahnya lagi, umat Islam sendiri pun yang terjangkit penyakit Islamofobia ini ikut-ikutan merasa alergi dengan saudaranya yang Muslim, saudaranya yang konsisten memercayai agama Islam sebagai agama yang benar.

Mereka akan dianggap sebagai penganut agama yang eksklusif, lalu dinaikkan menjadi fanatik, dinaikkan lagi "maqam"-nya menjadi fundamentalis, dan ujungnya menjadi maqam tertinggi, yaitu radikal.

Di tingkat internasional pun tak kalah ironis. Kalau negara non-Muslim mengembangkan nuklir tidak dianggap sebuah kesalahan, tapi kalau negara Islam yang mengembangkan nuklir-walaupun untuk tujuan perdamaian-dilarang karena melanggar hak-hak internasional. Maka, tak jarang sebuah negara Islam ketika mulai membahayakan kepentingan Barat dan Yahudi, saat itulah label fundamentalis dan tuduhan lain selalu ditempelkan dengan tujuan negara tersebut dimusuhi dunia internasional.

Hal ini juga dialami oleh negara Islam yang menunjukkan sikap keras dan pendirian yang tegas. Itu semua harus dibayar mahal dengan disingkirkan dari pergaulan ekonomi dunia dan menuai resolusi embargo dari PBB yang memang sejak dulu menjadi stempel terhadap semua keinginan Barat. Mungkin, ini juga salah satu alasan mengapa jabatan sekjen PBB selalu diserahkan kepada negara-negara kecil.

Opini Republika 14 Desember 2010