SIKAP Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang tetap menghendaki gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditentukan melalui pilkada, mendapat tentangan dari internal Partai Demokrat. Kenyataan itu bisa disimak ketika Ketua Partai Demokrat DIY GBPH Prabukusumo, menyatakan mundur dari jabatannya dan sekaligus keluar dari partai itu. Langkah itu juga dilakukan dua kader lainnya yang mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) ke sekretariat partai. (SM, 10/12/10).
SBY pernah menegaskan bahwa garis politik yang diambil pemerintah pusat itu juga diikuti Partai Demokrat. Sebagai ketua dewan pembina tidak sulit bagi dia mendorong partai itu menjalankan kehendaknya. Sebab, pada AD/ ART partai ini dinyatakan bahwa ketua dewan pembina otomatis menjadi ketua majelis tinggi. Lembaga ini memiliki otoritas tertinggi pada urusan internal dan pengambil keputusan partai. Karena posisi tertinggi itu maka majelis memiliki kewenangan sepenuhnya menjalankan veto terhadap hasil rapat pleno dewan pimpinan pusat.
Selain itu, majelis tinggi mempunyai beberapa kewenangan lain, seperti menentukan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung partai, menentukan calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta calon anggota legislatif. Jika Prabukusumo masih dalam struktur Partai Demokrat sulit bagi dia untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat DIY yang menginginkan gubernur dan wakil gubernur dijalankan melalui cara penetapan. Terlebih lagi, Prabukusumo masih termasuk dalam kerabat inti Keraton Yogyakarta. Keluar dari partai merupakan langkah politik yang sangat rasional.
Struktur organisasi bukan sekadar persoalan skematis yang memberikan suatu kemungkinan seseorang menduduki jabatan tertentu. Struktur mengandaikan adanya kewenangan yang dapat dilakukan dan tidak boleh dijalankan. Struktur yang longgar menciptakan peluang bagi seorang fungsionaris partai untuk bergerak secara leluasa. Sebaliknya, struktur yang ketat menjadikan seorang fungsionaris tidak bebas bekerja dan mengalami ketercekatan.
Memang benar dalam struktur masih terbuka dinamika yang mendorong setiap fungsionaris melakukan negosiasi. Itulah yang disebut dengan strukturasi ketika seorang fungsionaris partai sebagai manusia pelaku (human agency) mampu menyiasati kepengapan struktur yang sedemikian kuat.
Tapi, kalau dalam puncak struktur organisasi itu terdapat sebuah dewan atau majelis yang memiliki hak veto, masih mungkinkah strukturasi itu digulirkan? Veto adalah kekuatan politis untuk menutup dan bahkan membungkam keputusan berdasarkan otoritas yang terberikan. Veto bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Mustahil Ditolak Keberadaan majelis tinggi, dewan pembina, atau institusi apapun namanya dalam organisasi sebenarnya merupakan realisasi dari semangat paternalisme. Secara filosofis, paternalisme bukan sebatas kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh seorang Bapak. Memang, tujuan yang terdapat dalam organisasi politik yang melandaskan diri pada paternalisme adalah kebaikan. Tapi, ironisnya, untuk meraih kebaikan tersebut dioperasikan melalui mekanisme yang berkarakter koersif (memaksa).
Para paternalis menyatakan bahwa mereka mampu membuat tindakan yang lebih bijaksana untuk pihak lain daripada orang lain yang mereka maksudkan. Dalam paternalisme juga diandaikan bahwa kalangan pelakunya merasakan ada orang tua yang dianggap memiliki kebijaksanaan sendiri dan ada anggapan pula bahwa kebodohan orang lain yang menjadikan para orang tua itu bertindak menurut kemauannya.
Dengan mengatakan atas nama Bapak (in the name of the father), semua soal yang pelik dapat diatasi secara baik. Sebab, Bapak adalah sosok yang begitu bijaksana dan kebijaksanaannya itu sangat mustahil ditolak. Bapak menjadi titik sentral dari semua hal, dari penetapan strategi partai untuk meraih kemenangan sampai memilih figur-figur yang dianggap mampu menjalankannya secara operasional.
Dalam situasi organisasional semacam itu yang berlaku hanyalah hukum sang Bapak. Bapak menitahkan, anak harus patuh. Struktur organisasi yang dikontrol total sang Bapak menjadikan pihak lain wajib tunduk secara telak. Langkah politik yang diambil Prabukusumo menunjukkan bahwa dia tidak ingin menjadi boneka bagi sang Bapak. (10)
— Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
SBY pernah menegaskan bahwa garis politik yang diambil pemerintah pusat itu juga diikuti Partai Demokrat. Sebagai ketua dewan pembina tidak sulit bagi dia mendorong partai itu menjalankan kehendaknya. Sebab, pada AD/ ART partai ini dinyatakan bahwa ketua dewan pembina otomatis menjadi ketua majelis tinggi. Lembaga ini memiliki otoritas tertinggi pada urusan internal dan pengambil keputusan partai. Karena posisi tertinggi itu maka majelis memiliki kewenangan sepenuhnya menjalankan veto terhadap hasil rapat pleno dewan pimpinan pusat.
Selain itu, majelis tinggi mempunyai beberapa kewenangan lain, seperti menentukan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung partai, menentukan calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta calon anggota legislatif. Jika Prabukusumo masih dalam struktur Partai Demokrat sulit bagi dia untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat DIY yang menginginkan gubernur dan wakil gubernur dijalankan melalui cara penetapan. Terlebih lagi, Prabukusumo masih termasuk dalam kerabat inti Keraton Yogyakarta. Keluar dari partai merupakan langkah politik yang sangat rasional.
Struktur organisasi bukan sekadar persoalan skematis yang memberikan suatu kemungkinan seseorang menduduki jabatan tertentu. Struktur mengandaikan adanya kewenangan yang dapat dilakukan dan tidak boleh dijalankan. Struktur yang longgar menciptakan peluang bagi seorang fungsionaris partai untuk bergerak secara leluasa. Sebaliknya, struktur yang ketat menjadikan seorang fungsionaris tidak bebas bekerja dan mengalami ketercekatan.
Memang benar dalam struktur masih terbuka dinamika yang mendorong setiap fungsionaris melakukan negosiasi. Itulah yang disebut dengan strukturasi ketika seorang fungsionaris partai sebagai manusia pelaku (human agency) mampu menyiasati kepengapan struktur yang sedemikian kuat.
Tapi, kalau dalam puncak struktur organisasi itu terdapat sebuah dewan atau majelis yang memiliki hak veto, masih mungkinkah strukturasi itu digulirkan? Veto adalah kekuatan politis untuk menutup dan bahkan membungkam keputusan berdasarkan otoritas yang terberikan. Veto bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Mustahil Ditolak Keberadaan majelis tinggi, dewan pembina, atau institusi apapun namanya dalam organisasi sebenarnya merupakan realisasi dari semangat paternalisme. Secara filosofis, paternalisme bukan sebatas kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh seorang Bapak. Memang, tujuan yang terdapat dalam organisasi politik yang melandaskan diri pada paternalisme adalah kebaikan. Tapi, ironisnya, untuk meraih kebaikan tersebut dioperasikan melalui mekanisme yang berkarakter koersif (memaksa).
Para paternalis menyatakan bahwa mereka mampu membuat tindakan yang lebih bijaksana untuk pihak lain daripada orang lain yang mereka maksudkan. Dalam paternalisme juga diandaikan bahwa kalangan pelakunya merasakan ada orang tua yang dianggap memiliki kebijaksanaan sendiri dan ada anggapan pula bahwa kebodohan orang lain yang menjadikan para orang tua itu bertindak menurut kemauannya.
Dengan mengatakan atas nama Bapak (in the name of the father), semua soal yang pelik dapat diatasi secara baik. Sebab, Bapak adalah sosok yang begitu bijaksana dan kebijaksanaannya itu sangat mustahil ditolak. Bapak menjadi titik sentral dari semua hal, dari penetapan strategi partai untuk meraih kemenangan sampai memilih figur-figur yang dianggap mampu menjalankannya secara operasional.
Dalam situasi organisasional semacam itu yang berlaku hanyalah hukum sang Bapak. Bapak menitahkan, anak harus patuh. Struktur organisasi yang dikontrol total sang Bapak menjadikan pihak lain wajib tunduk secara telak. Langkah politik yang diambil Prabukusumo menunjukkan bahwa dia tidak ingin menjadi boneka bagi sang Bapak. (10)
— Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Opini Suara Merdeka 14 Desember 2010