Oleh Engkus Kuswarno
Menakjubkan! Indonesia sejak 2008, melalui UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14 Tahun 2008, menempatkan diri sebagai negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip transparansi informasi. Saat itu, baru sembilan puluh negara di dunia yang memiliki UU Keterbukaan Informasi. Di Asia, yaitu India, Jepang, Nepal, Thailand, Indonesia, diikuti Bangladesh.
Komitmen Indonesia pada transparansi informasi ini dalam konteks ilmu komunikasi, agak unik. Mengingat, stereotipe Indonesia selama ini termasuk negara dalam budaya komunikasi konteks tinggi, dalam arti bahwa pemaknaan informasi antarmanusia bukan atas dasar keterbukaan, melainkan penuh dengan simbolisasi, nonverbal, dan abstrak.
Undang-Undang KIP mengatur kewajiban badan atau pejabat publik untuk memberikan akses informasi yang terbuka kepada publik (masyarakat). Kewajiban memberikan informasi, dokumen, dan data diintegrasikan sebagai bagian dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas untuk pelanggarannya.
Terdapat dua komponen penting dalam memaknai keterbukaan ini, yaitu pengguna informasi publik dan badan publik. Pengguna informasi publik memiliki right to know, sedangkan badan publik memiliki right to tell. Persoalan utama dari kedua komponen ini adalah saling memahami haknya masing-masing, yang karena berbagai kepentingan, hubungan keduanya menjadi rentan.
Idealnya manfaat keterbukaan informasi bagi badan publik antara lain menciptakan tata pemerintahan yang baik; meningkatkan fungsi, kualitas, dan kinerja badan publik; mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi. Sementara bagi pengguna informasi publik (masyarakat), di antaranya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
Perubahan paradigma
Akankah komunikasi konteks tinggi di Indonesia bergeser pada komunikasi konteks rendah, yang bersifat rinci, verbal, terbuka? Akankah budaya komunikasi terbuka di Indonesia mengadopsi keterbukaan di negeri lain yang terdahulu menerapkannya? Terutama yang menjadi acuannya adalah Amerika Serikat, seperti disinyalir Littlejohn (1996), pengembangan komunikasi di dunia cenderung berkiblat ke AS yang memiliki ciri utama pragmatisme.
Walaupun Indonesia mengacu kepada Freedom of Information Act (FOIA) yang bergaya Amerika, tetapi mungkin berharap Indonesia memiliki keterbukaan yang khas, berkultur demokrasi khas Indonesia. Walaupun secara definitif dan implementatif ini tidak mudah dikonstruksi. Merujuk pada pernyataan Lawrence Kincaid (1996) bahwa komunikasi di negara seperti Indonesia bersifat menyeluruh dan terpadu (wholeness and unity); lebih natural, emosional and spiritual; komunikasi lebih intuitif, sebagai konsekuensi dari suatu peristiwa yang alami; dan hubungan bersifat lebih rumit karena melibatkan posisi status, peranan, dan kekuatan sosial ketimbang hanya pada posisi dua atau lebih individu. Inti dari semua ciri tadi adalah adanya nilai-nilai di atas ritual atau simbol semata.
Realitasnya, perubahan paradigma ini menimbulkan kondisi paradoks ciri khas Indonesia. Ketika UU mengatur right to know publik bersanding dengan right to tell badan publik, kenyataannya banyak kondisi yang memaksa publik pada posisi right to tell, sedangkan badan publik berlindung pada "right to know" atas kondisi publik.
Sebagai contoh, paradoks dalam mempertahankan informasi privat tanggal lahir seseorang yang mendapat perlindungan UU untuk dirahasiakan, menjadi nomor induk pegawai yang mudah dikenali publik. Contoh paradoks lain adalah LSM bersikeras meminta informasi tentang pelaksanaan anggaran suatu institusi negara. Akan tetapi LSM yang merupakan badan publik tersebut enggan memublikasikan dari mana dan bagaimana pelaksanaan penggunaan anggarannya sendiri.
Apabila dibuat kategori, maka dalam implementasi transparansi informasi di Indonesia masih memiliki persoalan, selain masalah nilai tadi, yaitu informasi publik tidak tersedia, informasi publik terlambat diberikan, informasi publik diklaim rahasia secara sepihak, mekanisme palayanan informasi publik yang buruk, akses informasi publik yang asimetris.
Sebagai penutup, menarik mengikuti pendapat Sidney M. Jourard (1971) tentang transparent, yaitu tentang cerminan konsep diri yang positif. Jika seseorang (termasuk keberadaan pada kelompok, organisasi, dan negara) yang memiliki karakteristik transparent, dia cenderung akan mempersepsi (memaknai realitas) lebih cermat. Secara individual, dalam beberapa riset yang dikutipnya, bahwa orang yang transparent selain memiliki tingkat kecermatan yang tinggi, dia cenderung lebih mandiri dan memiliki daya tahan hidup lebih lama. Tentu saja berharap, jika pejabat publik di Indonesia dalam posisinya tersebut memiliki karakteristik transparent, mereka memiliki ketahanan hidup mandiri, lebih cermat melihat realitas (termasuk terhadap sense of crisis), dan tentu saja berpeluang lebih sehat serta memiliki harapan hidup yang lebih lama. Kondisi ini akan membawa implikasi positif bagi badan publik termasuk publik dan negaranya.***
Penulis, Guru Besar Komunikologi Unpad Bandung.
Menakjubkan! Indonesia sejak 2008, melalui UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14 Tahun 2008, menempatkan diri sebagai negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip transparansi informasi. Saat itu, baru sembilan puluh negara di dunia yang memiliki UU Keterbukaan Informasi. Di Asia, yaitu India, Jepang, Nepal, Thailand, Indonesia, diikuti Bangladesh.
Komitmen Indonesia pada transparansi informasi ini dalam konteks ilmu komunikasi, agak unik. Mengingat, stereotipe Indonesia selama ini termasuk negara dalam budaya komunikasi konteks tinggi, dalam arti bahwa pemaknaan informasi antarmanusia bukan atas dasar keterbukaan, melainkan penuh dengan simbolisasi, nonverbal, dan abstrak.
Undang-Undang KIP mengatur kewajiban badan atau pejabat publik untuk memberikan akses informasi yang terbuka kepada publik (masyarakat). Kewajiban memberikan informasi, dokumen, dan data diintegrasikan sebagai bagian dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas untuk pelanggarannya.
Terdapat dua komponen penting dalam memaknai keterbukaan ini, yaitu pengguna informasi publik dan badan publik. Pengguna informasi publik memiliki right to know, sedangkan badan publik memiliki right to tell. Persoalan utama dari kedua komponen ini adalah saling memahami haknya masing-masing, yang karena berbagai kepentingan, hubungan keduanya menjadi rentan.
Idealnya manfaat keterbukaan informasi bagi badan publik antara lain menciptakan tata pemerintahan yang baik; meningkatkan fungsi, kualitas, dan kinerja badan publik; mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi. Sementara bagi pengguna informasi publik (masyarakat), di antaranya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
Perubahan paradigma
Akankah komunikasi konteks tinggi di Indonesia bergeser pada komunikasi konteks rendah, yang bersifat rinci, verbal, terbuka? Akankah budaya komunikasi terbuka di Indonesia mengadopsi keterbukaan di negeri lain yang terdahulu menerapkannya? Terutama yang menjadi acuannya adalah Amerika Serikat, seperti disinyalir Littlejohn (1996), pengembangan komunikasi di dunia cenderung berkiblat ke AS yang memiliki ciri utama pragmatisme.
Walaupun Indonesia mengacu kepada Freedom of Information Act (FOIA) yang bergaya Amerika, tetapi mungkin berharap Indonesia memiliki keterbukaan yang khas, berkultur demokrasi khas Indonesia. Walaupun secara definitif dan implementatif ini tidak mudah dikonstruksi. Merujuk pada pernyataan Lawrence Kincaid (1996) bahwa komunikasi di negara seperti Indonesia bersifat menyeluruh dan terpadu (wholeness and unity); lebih natural, emosional and spiritual; komunikasi lebih intuitif, sebagai konsekuensi dari suatu peristiwa yang alami; dan hubungan bersifat lebih rumit karena melibatkan posisi status, peranan, dan kekuatan sosial ketimbang hanya pada posisi dua atau lebih individu. Inti dari semua ciri tadi adalah adanya nilai-nilai di atas ritual atau simbol semata.
Realitasnya, perubahan paradigma ini menimbulkan kondisi paradoks ciri khas Indonesia. Ketika UU mengatur right to know publik bersanding dengan right to tell badan publik, kenyataannya banyak kondisi yang memaksa publik pada posisi right to tell, sedangkan badan publik berlindung pada "right to know" atas kondisi publik.
Sebagai contoh, paradoks dalam mempertahankan informasi privat tanggal lahir seseorang yang mendapat perlindungan UU untuk dirahasiakan, menjadi nomor induk pegawai yang mudah dikenali publik. Contoh paradoks lain adalah LSM bersikeras meminta informasi tentang pelaksanaan anggaran suatu institusi negara. Akan tetapi LSM yang merupakan badan publik tersebut enggan memublikasikan dari mana dan bagaimana pelaksanaan penggunaan anggarannya sendiri.
Apabila dibuat kategori, maka dalam implementasi transparansi informasi di Indonesia masih memiliki persoalan, selain masalah nilai tadi, yaitu informasi publik tidak tersedia, informasi publik terlambat diberikan, informasi publik diklaim rahasia secara sepihak, mekanisme palayanan informasi publik yang buruk, akses informasi publik yang asimetris.
Sebagai penutup, menarik mengikuti pendapat Sidney M. Jourard (1971) tentang transparent, yaitu tentang cerminan konsep diri yang positif. Jika seseorang (termasuk keberadaan pada kelompok, organisasi, dan negara) yang memiliki karakteristik transparent, dia cenderung akan mempersepsi (memaknai realitas) lebih cermat. Secara individual, dalam beberapa riset yang dikutipnya, bahwa orang yang transparent selain memiliki tingkat kecermatan yang tinggi, dia cenderung lebih mandiri dan memiliki daya tahan hidup lebih lama. Tentu saja berharap, jika pejabat publik di Indonesia dalam posisinya tersebut memiliki karakteristik transparent, mereka memiliki ketahanan hidup mandiri, lebih cermat melihat realitas (termasuk terhadap sense of crisis), dan tentu saja berpeluang lebih sehat serta memiliki harapan hidup yang lebih lama. Kondisi ini akan membawa implikasi positif bagi badan publik termasuk publik dan negaranya.***
Penulis, Guru Besar Komunikologi Unpad Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 14 Desember 2010