Oleh Entang Sastraatmadja
Beras memang tidak pernah "beres". Paling tidak, ada dua berita menarik yang dalam menutup tahun 2010 ini menyeruak dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama, keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan di akhir 2010 ini kita akan menikmati "surplus beras" 5,6 juta ton. Kedua, keterangan pemerintah bahwa untuk menambah cadangan beras nasional, kita akan impor beras yang jumlahnya bertambah secara perlahan. Awalnya kita akan impor sekitar 600.000 ton, tetapi dalam perkembangan terakhir, jumlahnya ditambah 250 ribu ton sehingga impor beras menjadi 850.000 ton. Apakah angka ini akan digenapkan menjadi 1 juta ton beras, tentu hanya proses dan waktu saja yang akan menentukan.
Keputusan pemerintah untuk "mengimpor beras" meluluhkan kebanggaan bangsa kita atas prestasi swasembada. Rasa-rasanya tidak keliru bila banyak pihak mempertanyakan ada apa sebetulnya dalam dunia perberasan nasional? Mengapa harga beras di pasaran senantiasa bertengger jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sebagaimana diatur dalam Inpres Perberasan? Apakah karena "kekeliruan" kita dalam menetapkan HPP gabah dan beras setahun lalu, ataukah ada "sesuatu yang salah" dalam menerapkan instrumen kebijakan perberasan nasional?
Solusinya tentu bukan dengan mencari kambing hitam, tetapi yang lebih pas adalah sampai sejauh mana kita semua ikut bertanggung jawab dalam memberi jalan keluar terbaiknya. Perdebatan Menteri Pertanian dan Dirut Perum Bulog yang berkembang di media massa, mestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak mampu bersabar diri dan mawas diri. Kita tidak perlu "melecehkan" salah satu "lembaga pemerintah" yang seolah-olah kurang kreatif dalam melakukan pengadaan gabah/beras, misalnya. Kita juga tidak perlu mempertanyakan keabsahan database produksi beras. Yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar mereka yang merasa paling bertanggung jawab atas masalahnya, mampu menawarkan solusi dan menetapkan jalan keluarnya. Salah satu langkah nyatanya adalah dengan memantapkan "networking (jejaring) perberasan" yang selama ini terpantau belum bersinergi secara kualitatif.
Lebih dari sembilan puluh persen penduduk Indonesia sangat tergantung sekaligus menggantungkan nasib dan kehidupannya kepada beras. Itu sebabnya beras harus selalu tersedia, harganya terjangkau, terdistribusikan secara merata ke seluruh pelosok tanah air, dan pasti harus aman dikonsumsi (Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan).
Dalam pandangan yang lebih kritis, biar pun pemerintah habis-habiskan menyatakan kita "surplus" beras, tetapi dengan kebijakan impor beras 850.000 ton dari Vietnam dan Thailand, tentu akan banyak pihak yang menggugatnya. Padahal yang lebih logis dipahami, kalau kita menempuh kebijakan impor beras, berarti kita "kekurangan". Sebaliknya, bila kita surplus andai harga di pasar beras internasional menggiurkan, yang pantas kita lakukan adalah ekspor beras. Akal sehat akan terganggu jika kita surplus, yang dilakukan malah impor beras. Ada apa sebetulnya dengan kondisi perberasan di dalam negeri, sampai-sampai kita harus menempuh impor yang notabene dapat "merontokkan" proklamasi swasembada beras, sebagaimana dicanangkan 1984 dan 2008?
Ternyata "tempat kedudukan" beras selaku komoditas politis dan strategis, mestinya dapat kita simpan secara khusus dalam kerangka pikir pembangunan perberasan yang utuh, terstruktur, dan komprehensif. Di sini penting diejawantahkan, tentang betapa strategisnya bila kita mampu merajut beragam masalah yang dihadapi selama ini ke dalam suatu jejaring perberasan. Paling tidak, ada tiga jejaring yang secara bersama-sama dapat kita analisis lebih lanjut, yakni jejaring pikir, jejaring keuangan, dan jejaring kelembagaan.
Tiga jejaring tersebut sangat perlu dikemas dan dijadikan kebijakan utama dalam meramu berbagai subsistem yang menopang sistem perberasan kita. Sangat argumentatif jika pemerintah mampu melakukan revitalisasi terhadap pembangunan perberasan kita lebih progresif. Sisi produksi dan produktivitas, penting dipacu lebih keras. Sisi distribusi dan harga perlu dikaji ulang tentang penerapannya dalam konsep HPP. Apa tidak selayaknya kita pertimbangkan kembali pemberlakuan harga dasar (floor price) dan harga tertinggi (ceiling price).
Dari sisi konsumsi, kelihatannya sudah mendesak untuk ditempuh kebijakan diversifikasi pangan yang lebih jelas dan nyata (PP No. 22/2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Menu Makanan Berbasis Sumber Daya Lokal). Jangan dilupakan juga kesungguhan untuk melahirkan varietas-varietas unggul yang mampu memberi nilai tambah (ekonomi dan kemartabatan) bagi petani di lapangan. Di sini, peran kelembagaan yang berkualitas menjadi perlu, khususnya terkait dengan SDM dan pola kepemimpinan yang bakal menggerakkan roda kelembagaan perberasan ke arah yang diharapkan.
Catatan kritis
Suasana perberasan tentu harus menjadi pencermatan serius, khususnya bagi rakyat Jawa Barat yang hingga detik ini masih dikukuhkan sebagai provinsi yang mampu memberi kontribusi produksi beras terbesar ke tingkat nasional (sekitar 17 persen-18 persen). Apalagi beberapa hari lalu, kita mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena mampu meningkatkan produksi beras sebelas persen. Hanya, masalah beras, memang bukan hanya terkait dengan produksi, distribusi, atau konsumsi. Ada yang lebih penting, yakni bagaimana dengan "daya beli" masyarakat? Percuma beras tersedia dan melimpah ruah, jika masyarakat tak mampu membelinya. Betul ada raskin, tetapi jatah program itu sudah terukur. Mereka yang beberapa milimeter di atas "garis kemiskinan", jelas tidak akan menerimanya. Siapa tahu jumlah yang sedikit di atas garis kemiskinan pun, tidak kalah besarnya dibandingkan dengan mereka yang dikatakan miskin.
Mengingat benih-benih ke arah "semerawutnya" kondisi perberasan, mulai tampak di hadapan mata, seperti anomali iklim, gagal panen, harga beras relatif tinggi, dan daya beli masyarakat "belum beranjak" secara signifikan, tentu kita sepakat masalah perberasan harus ditangani secara serius dan sistemik. Kita jangan main-main dalam menentukan solusinya. Insya Allah kita akan mampu melaluinya dengan baik, selama kebijakan yang dilahirkan muncul dari orang-orang yang memiliki kebajikan.***
Penulis, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Beras memang tidak pernah "beres". Paling tidak, ada dua berita menarik yang dalam menutup tahun 2010 ini menyeruak dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama, keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan di akhir 2010 ini kita akan menikmati "surplus beras" 5,6 juta ton. Kedua, keterangan pemerintah bahwa untuk menambah cadangan beras nasional, kita akan impor beras yang jumlahnya bertambah secara perlahan. Awalnya kita akan impor sekitar 600.000 ton, tetapi dalam perkembangan terakhir, jumlahnya ditambah 250 ribu ton sehingga impor beras menjadi 850.000 ton. Apakah angka ini akan digenapkan menjadi 1 juta ton beras, tentu hanya proses dan waktu saja yang akan menentukan.
Keputusan pemerintah untuk "mengimpor beras" meluluhkan kebanggaan bangsa kita atas prestasi swasembada. Rasa-rasanya tidak keliru bila banyak pihak mempertanyakan ada apa sebetulnya dalam dunia perberasan nasional? Mengapa harga beras di pasaran senantiasa bertengger jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sebagaimana diatur dalam Inpres Perberasan? Apakah karena "kekeliruan" kita dalam menetapkan HPP gabah dan beras setahun lalu, ataukah ada "sesuatu yang salah" dalam menerapkan instrumen kebijakan perberasan nasional?
Solusinya tentu bukan dengan mencari kambing hitam, tetapi yang lebih pas adalah sampai sejauh mana kita semua ikut bertanggung jawab dalam memberi jalan keluar terbaiknya. Perdebatan Menteri Pertanian dan Dirut Perum Bulog yang berkembang di media massa, mestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak mampu bersabar diri dan mawas diri. Kita tidak perlu "melecehkan" salah satu "lembaga pemerintah" yang seolah-olah kurang kreatif dalam melakukan pengadaan gabah/beras, misalnya. Kita juga tidak perlu mempertanyakan keabsahan database produksi beras. Yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar mereka yang merasa paling bertanggung jawab atas masalahnya, mampu menawarkan solusi dan menetapkan jalan keluarnya. Salah satu langkah nyatanya adalah dengan memantapkan "networking (jejaring) perberasan" yang selama ini terpantau belum bersinergi secara kualitatif.
Lebih dari sembilan puluh persen penduduk Indonesia sangat tergantung sekaligus menggantungkan nasib dan kehidupannya kepada beras. Itu sebabnya beras harus selalu tersedia, harganya terjangkau, terdistribusikan secara merata ke seluruh pelosok tanah air, dan pasti harus aman dikonsumsi (Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan).
Dalam pandangan yang lebih kritis, biar pun pemerintah habis-habiskan menyatakan kita "surplus" beras, tetapi dengan kebijakan impor beras 850.000 ton dari Vietnam dan Thailand, tentu akan banyak pihak yang menggugatnya. Padahal yang lebih logis dipahami, kalau kita menempuh kebijakan impor beras, berarti kita "kekurangan". Sebaliknya, bila kita surplus andai harga di pasar beras internasional menggiurkan, yang pantas kita lakukan adalah ekspor beras. Akal sehat akan terganggu jika kita surplus, yang dilakukan malah impor beras. Ada apa sebetulnya dengan kondisi perberasan di dalam negeri, sampai-sampai kita harus menempuh impor yang notabene dapat "merontokkan" proklamasi swasembada beras, sebagaimana dicanangkan 1984 dan 2008?
Ternyata "tempat kedudukan" beras selaku komoditas politis dan strategis, mestinya dapat kita simpan secara khusus dalam kerangka pikir pembangunan perberasan yang utuh, terstruktur, dan komprehensif. Di sini penting diejawantahkan, tentang betapa strategisnya bila kita mampu merajut beragam masalah yang dihadapi selama ini ke dalam suatu jejaring perberasan. Paling tidak, ada tiga jejaring yang secara bersama-sama dapat kita analisis lebih lanjut, yakni jejaring pikir, jejaring keuangan, dan jejaring kelembagaan.
Tiga jejaring tersebut sangat perlu dikemas dan dijadikan kebijakan utama dalam meramu berbagai subsistem yang menopang sistem perberasan kita. Sangat argumentatif jika pemerintah mampu melakukan revitalisasi terhadap pembangunan perberasan kita lebih progresif. Sisi produksi dan produktivitas, penting dipacu lebih keras. Sisi distribusi dan harga perlu dikaji ulang tentang penerapannya dalam konsep HPP. Apa tidak selayaknya kita pertimbangkan kembali pemberlakuan harga dasar (floor price) dan harga tertinggi (ceiling price).
Dari sisi konsumsi, kelihatannya sudah mendesak untuk ditempuh kebijakan diversifikasi pangan yang lebih jelas dan nyata (PP No. 22/2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Menu Makanan Berbasis Sumber Daya Lokal). Jangan dilupakan juga kesungguhan untuk melahirkan varietas-varietas unggul yang mampu memberi nilai tambah (ekonomi dan kemartabatan) bagi petani di lapangan. Di sini, peran kelembagaan yang berkualitas menjadi perlu, khususnya terkait dengan SDM dan pola kepemimpinan yang bakal menggerakkan roda kelembagaan perberasan ke arah yang diharapkan.
Catatan kritis
Suasana perberasan tentu harus menjadi pencermatan serius, khususnya bagi rakyat Jawa Barat yang hingga detik ini masih dikukuhkan sebagai provinsi yang mampu memberi kontribusi produksi beras terbesar ke tingkat nasional (sekitar 17 persen-18 persen). Apalagi beberapa hari lalu, kita mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena mampu meningkatkan produksi beras sebelas persen. Hanya, masalah beras, memang bukan hanya terkait dengan produksi, distribusi, atau konsumsi. Ada yang lebih penting, yakni bagaimana dengan "daya beli" masyarakat? Percuma beras tersedia dan melimpah ruah, jika masyarakat tak mampu membelinya. Betul ada raskin, tetapi jatah program itu sudah terukur. Mereka yang beberapa milimeter di atas "garis kemiskinan", jelas tidak akan menerimanya. Siapa tahu jumlah yang sedikit di atas garis kemiskinan pun, tidak kalah besarnya dibandingkan dengan mereka yang dikatakan miskin.
Mengingat benih-benih ke arah "semerawutnya" kondisi perberasan, mulai tampak di hadapan mata, seperti anomali iklim, gagal panen, harga beras relatif tinggi, dan daya beli masyarakat "belum beranjak" secara signifikan, tentu kita sepakat masalah perberasan harus ditangani secara serius dan sistemik. Kita jangan main-main dalam menentukan solusinya. Insya Allah kita akan mampu melaluinya dengan baik, selama kebijakan yang dilahirkan muncul dari orang-orang yang memiliki kebajikan.***
Penulis, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Opin Pikiran Rakyat 13 Desember 2010