13 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Diskriminasi Pendidikan di Perkebunan

Diskriminasi Pendidikan di Perkebunan

Oleh : Amin Siahaan
Filsuf pendidikan terkemuka, Paolo Freire, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan sejatinya adalah membuat manusia mengerti makna hidup.
Bahwa hidup ini bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk umat manusia lainnya. Pendidikan harus bisa membuat kita untuk dapat mengerti keadaan sekitar dan memengaruhinya. Artinya, pendidikan mengamanatkan kepada peserta didiknya untuk melakukan perubahan demi kesejahteraan bersama.
Dalam konstitusi, juga amat jelas dikatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dan ini adalah tanggung jawab negara. Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran pemiskinan intelektualitas terhadap semua anak bangsa. Namun sayang, ini belum terjadi. Masih banyak anak yang tidak dapat mengenyam dunia pendidikan. Data Komisi Perlindungan Anak menunjukkan ada 11,7 juta anak yang putus sekolah di tahun 2007. Angka ini kemungkinan besar makin bertambah.
Pendidikan di Perkebunan
Perkebunan merupakan salah satu aset negara yang berkontribusi besar untuk meningkatkan pendapatan negara. Misalnya, perkebunan kelapa sawit. Di tahun 2009 saja, dari perdagangan crude palm oil atau CPO, Indonesia bisa menghasilkan 10 miliar dollar. Bersama Malaysia, Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan dunia akan CPO. Sayangnya, pundi-pundi dolar ini hanya dinikmati segelintir elite: pengusaha dan pemerintah.
Distribusi pendapatan belum adil. Buruh perkebunan, sebagai salah satu stakeholder, justru hidup dalam segala keterbatasan. Upah tiap bulan hanya cukup memenuhi keperluan minimal. Jika ada keperluan mendesak, mereka terpaksa mengutang, baik kepada koperasi, bahkan kepada rentenir. Rendahnya kesejahteraan buruh, membuat mereka tidak bisa merancang kehidupan masa depan yang lebih baik. Termasuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan tertinggi.
Banyak hal menjadi penyebab anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit teralienasi dari mimpi-mimpi indahnya. Pertama, elite dengan sengaja mendesain kemiskinan di lingkungan perkebunan. Buktinya adalah, kehadiran perkebunan sejak abad ke-19 belum kunjung memberikan kesejahteraan pada buruh perkebunan dan keluarganya. Dimulai sejak berlakunya kebijakan Tanam Paksa (1830-1870), Politik Pintu Terbuka (1870), bahkan sampai perkebunan dikuasai Republik. Kemiskinan struktural seakan inheren dengan munculnya perkebunan. Buruh sangat sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Kemiskinan ini sangat berdampak pada kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk biaya pendidikan (sekolah). Sialnya, kebanyakan keluarga buruh tidak mampu menutupi biaya pendidikan karena upah yang mereka terima tiap bulannya sudah tersedot untuk konsumsi sehari-hari dan membayar utang. Anak mereka pun terpaksa putus sekolah. Pada akhirnya, mereka harus ikut membantu orangtuanya bekerja di perkebunan untuk menambah penghasilan keluarga.
Kedua, masih soal kemiskinan. Ternyata kemiskinan struktural tidak hanya menjebak buruh pada persoalan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan primer dan sekunder, namun sudah sampai tahapan membentuk pola pikir mereka. Bagi buruh, umumnya, kemiskinan sudah dianggap sebagai takdir Yang Maha Kuasa. Buruh hanya bersikap menerima saja atas kondisinya. Pasrah. Tidak ada ruang untuk berpikir kritis, mengapa kemiskinan selalu menyertai mereka. Sikap menerima ini berdampak pada tujuan (visi) hidup yang dangkal. Tidak ada keyakinan pada diri mereka, bahwa di masa depan hidup mereka akan berubah. Justru mereka sudah dapat memastikan bahwa kehidupan yang akan datang tetap akan sama. Kalau pun ada perubahan hidup, itu tergantung Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, pranata pendidikan dianggap tidak terlalu berguna bagi buruh. Sekolah, biasanya hanya sampai tingkat SD saja, dilakoni sekedar untuk tahu membaca dan menulis. Tidak lebih dari itu.
Ketiga, minimnya sarana pendidikan. Bagi buruh yang mampu menyekolahkan anaknya, harus menghadapi fakta rendahnya pelayanan pendidikan di perkebunan. Tidak semua jenjang pendidikan ada di perkebunan. Kebanyakan hanya sampai tingkat sekolah dasar (SD). Dan jika ingin melanjutkan ke jenjang di atasnya, anak buruh biasanya sekolah di luar komplek perkebunan. Situasi ini menjadi masalah baru bagi anak-anak buruh, mengingat jarak tempuh yang jauh. Dukungan transportasi dari pihak perkebunan pun sangat minim. Sehingga keluarga buruh harus mengeluarkan cost tambahan untuk menutupi biaya transportasi. Selain transportasi, buruknya kualitas jalan di areal perkebunan juga menambah kompleksnya masalah pendidikan di perkebunan. Material jalan berupa tanah dan batu kerikil tentunya dapat menyulitkan transportasi, bahkan mempunyai potensi mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Terutama saat musim hujan.
Keempat, putusnya akses informasi publik. Buruh perkebunan umumnya hanya mengetahui keadaan di sekitarnya saja. Perkembangan dunia luar menjadi sangat awam. Informasi teknologi masih menjadi barang langka. Ini mengingat belum semua perkebunan yang mendapati aliran listrik. Kalaupun ada, itu dijatah. Dan kesempatan ini lebih digunakan oleh buruh untuk menonton tayangan atau hiburan yang tidak mendidik seperti sinetron utopia atau mistik. Begitu juga dengan akses bahan bacaan. Media cetak seperti koran hanya menyentuh kalangan menengah yang tinggal di perkotaan. Keterbatasan informasi berpengaruh pada pembentukan opini di tengah-tengah mereka. Buruh menjadi bersikap pragmatis saja. Seperti enggan berusaha untuk menyekolahkan anaknya. Anak perempuan biasanya diminta cepat untuk menikah. Demikian juga dengan anak laki-laki atau disuruh bekerja di perkebunan, untuk membantu dan kelak menggantikan profesi orangtuanya.
Penutup
Tahun 2009, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 111 dari 180 negara. Jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura di posisi 23, Malaysia (66), Thailand (87), bahkan masih kalah dari Filipina (105). Salah satu indikator IMP adalah standar pengetahuan (pendidikan). Di mana kemampuan baca-menulis dan tingkat partisipasi sekolah menjadi acuan utama. Buruknya IPM Indonesia linear dengan carut marutnya sistem pendidikan nasional kita. Salah satunya karena akses untuk sekolah (pendidikan) belum merata. Terdapat ketidakadilan. Biaya sekolah yang mahal menyebabkan banyak anak Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam dunia pendidikan. Dan sebagian besar anak-anak itu tinggal di areal perkebunan (sawit).
Terakhir, negara telah alpa dalam menyediakan pranata pendidikan yang dapat diakses oleh siapa pun, tanpa ada diskriminasi sosial. Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kaitannya dengan konstitusi, pemerintah telah melanggar Kovenan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi menjadi UU No 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Ekosob. Di mana negara dituntut aktif memberikan layanan pendidikan secara maksimal pada setiap warga negara. Pendidikan adalah investasi sosial jangka panjang yang bertujuan membentuk kualitas suatu negara. Jika pendidikan terus diabaikan, maka bisa dipastikan generasi berikutnya hanya menjadi budak di negerinya sendiri.***
Penulis aktif di NGO Lentera (Bergerak di Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian Buruh Perkebunan).

Opini Analisa Daily 13 Desember 2010