13 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Menimbang Masa Depan Demokrasi Lokal DIY

Menimbang Masa Depan Demokrasi Lokal DIY

Arvie Dwi Purnomo
(Peneliti di Mahkamah Konstitusi)


A nation may establish a free government but, without municipal institutions, it can not have the spirit of liberty (Alexis de Tocqueville, 1990: 61).


Pendapat de Tocqueville menguatkan pentingnya peran pemerintah lokal yang akan membangun negara demokratis yang dijalankan pemerintah pusat. Sejatinya, gambaran harmonis pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam membangun demokrasi yang digambarkannya pantas kita jadikan rujukan untuk mengatasi perdebatan negara versus pemerintah lokal baru-baru ini.

Demokrasi vs Monarki

Perdebatan negara demokrasi versus negara monarki menyeruak ke publik usai   pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) pada rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11). Presiden menyatakan bahwa Indonesia pada hakikatnya adalah negara hukum dan demokrasi di mana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Menarik pernyataan Presiden berkaitan dengan RUUK  DIY ini, pertama, menyiratkan keinginan pemerintah untuk menyelesaikan RUUK yang  selama ini berlarut-larut. Kedua, "teguran" Presiden kepada Kepala Pemerintah Provinsi DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, membuka celah demokrasi konstitusional yang kontekstual yang dinginkan publik dewasa ini.

Meminjam istilah sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, Pemerintah DIY mengalami "kekagokan" dalam menjalankan demokrasi . Di satu sisi, DIY merupakan daerah istimewa yang menempatkan keistimewaannya pada Keraton Yogyakarta Hadiningrat, di mana raja sebagai kepala kerajaan sebagaimana kekuasaan monarki. Di sisi lain, DIY sebagai wilayah administratif yang dipimpin oleh gubernur. "Kekagokan" muncul ketika raja sebagai pemimpin tradisional  kerajaan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono  X, sekaligus menjabat sebagai gubernur.

Kewenangan yang sedemikian besarnya ini dikhawatirkan akan memunculkan sebuah kekuasaan yang  absolut. Namun, jabatan Gubernur DIY selama ini ditetapkan oleh  DPRD selama lima tahun. Pantas saja Sultan pernah menyangkal bahwa DIY  tidak menganut sistem monarki absolut demikian juga monarki konstitusional karena ada celah demokrasi, yaitu dengan kehadiran DPRD dalam penetapan jabatan gubernur. Namun, kesan yang tertangkap di mata publik selama ini adalah tidak adanya ruang demokrasi dalam penentuan gubernur dan sebagian masyarakat ingin melihat suksesi kepemimpinan yang demokratis seperti lazimnya pemilihan gubernur di negeri ini dengan tetap menghormati keberadaan keraton dengan raja sebagai pemangku tradisional atas rakyat Yogyakarta.

Di sisi lain, tidak sedikit pula masyarakat Yogyakarta yang menginginkan penetapan Sultan sebagai  gubernur sebagai bentuk keistimewaan Yogyakarta itu sendiri. Lalu, di manakah demokrasi itu sebenarnya? Mengutip ungkapan Collin (2004) yang menggambarkan demokrasi bak parabola di mana akan menghadirkan euforia dengan partisipasi yang tinggi ketika masyarakat diberikan peran yang tinggi dalam ruang demokrasi. Namun demikian, lambat laun muncul degradasi partisipasi ketika publik melihat elite dengan kekuasaannya menebarkan kesewenangan dan kemewahan pribadi. Ketika demokrasi lokal di negeri ini menggeliat, tren tersebut menggambarkan bahwa masyarakat telah pandai untuk menentukan pilihan-pilihan demokrasi. Akan tetapi, ketika pilihan mereka disalahgunakan yang kemudian timbul adalah ketidakpercayaan (distrust). Keruntuhan demokrasi adalah ketika publik tidak lagi percaya kepada lembaga-lembaga perwakilan dan pemerintahan yang diadakan untuk  menyuarakan dan menjawab harapan-harapan publik. Jangan sampai pula demokrasi yang telah menelan biaya tinggi melalui pemilihan umum kepala daerah hanya menjadi tradisi lima tahunan yang menjadi ranah elite berebut kekuasaan.

Tak ada yang salah dengan pemerintahan yang menganut monarki konstitusional sebagaimana Inggris, Jepang, maupun Malaysia bila perdebatan ada monarki dalam demokrasi. Persoalannya adalah bagaimana sistem tersebut dijalankan bersama dengan pintu kekuasaan lain melalui perdana menteri dan parlemen-yang telah memilah kekuasaan pada aspek pemerintahan-secara adil dan efisien. Dalam konstitusi kita pada Pasal 18B UUD 1945 Amandemen IV Ayat (1) disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Sehingga sudah selayaknya pemerintah mengejawantahkan konstitusi kita sebagai legitimasi keberadaan daerah istimewa sebagaimana halnya dengan  DIY. Melihat sejarah budaya dan perjuangan DIY, predikat sebagai daerah istimewa pantas diberikan kepada daerah ini, di mana di daerah ini  berlaku pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh raja. Lebih lanjut, setelah dikeluarkannya maklumat 5 September 1945, barulah Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat tergabung dalam NKRI, tetapi tetap dengan keistimewaannya. Pemerintah lokal yang mengakui keberadaan pemerintah pusat dan menjadi sebuah kesatuan dalam NKRI.

Kesepakatan yang dituangkan dalam maklumat tersebut menjadi sebuah titik terang bahwa keistimewaan Yogyakarta diletakkan dalam bingkai negara Indonesia dengan tetap mengakomodasi aspirasi dan menghormati nilai-nilai budaya yang telah mengakar bersama berdirinya Keraton Yogyakarta. Sri Sultan  Hamengku Buwono IX yang saat itu menjadi saksi penyatuan DIY bersama Presiden Sukarno pada dasarnya telah menghimpun kebinekaan dalam sebuah kesatuan tanpa menghilangkan kebinekaan dan kekhasan budaya tradisional yang melekat dalam Keraton Yogyakarta. RUUK DIY yang akan segera dibahas di DPR nantinya merupakan upaya strategis untuk menentukan landasan konstitusional atas pelaksanaan pemerintahan lokal dan masa depannya ke depan dengan ciri keistemewaannya yang tidak ditemui di tempat lain sebagaimana DIY dan beberapa wilayah di Indonesia.

Sehingga diharapkan tidak akan muncul lagi "kekagokan" maupun  kevakuman landasan hukum tentang keistimewaan Yogyakarta, termasuk aspek  pemerintahan di dalamnya. Namun demikian, pilihan terbaik dari berbagai alternatif solusi yang mengemuka adalah tidak mencampuradukkan antara wilayah sosial budaya dan wilayah politik/pemerintahan dan ekonomi dalam kepemimpinan lokal di Yogyakarta. Sehingga kearifan lokal tetap dipertahankan tanpa harus menanggalkan demokrasi. Ketika wilayah sosial  budaya dan ekonomi politik dipisahkan dalam artian raja adalah pemegang kekuasaan tradisional kerajaan yang di dalamnya terdapat aspek sosial budaya, sedangkan gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif pemerintah  lokal dapat dihindarkan percampuran kepentingan sebagaimana terjadi saat ini.

Naif  rasanya bila para pembuat kebijakan publik di tataran elite terlalu lama membiarkan publik dibingungkan dengan perdebatan persoalan monarki versus demokrasi di DIY. Kita tentu berharap DPR yang terhormat bersama Presiden dapat segera membahasnya dan mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan rakyat Yogyakarta. Masih banyak persoalan di tataran lokal yang mengemuka, seperti pelayanan publik, kesehatan, hingga pendidikan yang harus perlu dibenahi di tingkat lokal Yogyakarta. Sehingga semakin cepat permasalahan tersebut diatasi, pemerintah lokal akan dapat memfokuskan diri pada persoalan-persoalan yang menuntut respons cepat dan cerdas. Semoga masa depan demokrasi lokal DIY menjadi jelas adanya.

Opini Republika 14 Desember 2010