13 Desember 2010

» Home » Media Indonesia » Opini » Pelajaran Empati Penjual Ondol-Ondol

Pelajaran Empati Penjual Ondol-Ondol

Erupsi Merapi meninggalkan berjuta cerita. Mbah Marijan telah tiada. Banyak kawasan porak-poranda. Awan panas menyapu kawasan yang sebelumnya indah, sejuk, dan subur kini menjadi hamparan batu, pasir, dan debu vulkanis yang memilukan. Guguran awan panas memang telah mereda, tapi banjir lahar dingin menjadi gantinya. Korban berjatuhan. Namun, ada satu yang tidak tergoyahkan, empati warga. Sedemikian banyak relawan dari berbagai kalangan, mempertaruhkan nyawa untuk membantu sesama, dengan cara mereka masing-masing. Semoga Tuhan memberkati mereka semua.
Sungguh-sungguh terjadi (Kedaulatan Rakyat, 14/11/2010), di tengah hiruk-pikuk pengungsi di SDN Janturan, Tirtoadi, Mlati, Sleman, DIY, suatu sore, saat hujan rintik-rintik bercampur abu, datanglah seorang penjual ondol-ondol (sejenis bakso tusuk), membawa sepeda onthel penuh dagangan. Banyak orang memandangnya dengan sedikit kesal, di tengah suasana pengungsian yang serbamemprihatinkan, malah datang penjual ondol-ondol, apalagi SD-nya sedang diliburkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Setelah sampai di barak pengungsian, ternyata ondol-ondol itu tidak dijual, tapi disumbangkan untuk pengungsi, semuanya!
Luar biasa, kata ini yang terucap dari mulut penulis ketika membaca peristiwa tersebut. Pertanyaannya kemudian, dari mana penjual ondol-ondol yang sederhana itu mendapatkan kepekaan sosial sedemikian memesona, di tengah suasana hedonistis yang mencekam? Patut diduga tidak dari sekolah, karena kalau dia mendapatkan pendidikan formal yang cukup, tentu tidak memilih menjadi penjual ondol-ondol yang penghasilnya tidak seberapa. Bisa jadi yang bersangkutan sudah menjadi pegawai suatu direktorat, yang dalam sepuluh tahun kariernya sudah dapat mengumpulkan pundi-pundi 104 miliar, dapat menyuap siapa saja, jalan-jalan ke Bali, meski sedang ditahan di suatu tempat yang sangat angker.

Perkembangan empati
Empati adalah sikap atau perilaku memahami sesuatu dari sudut pandang atau perasaan orang lain. Sikap-sikap sejenis tidak peduli, egois, cuek, hanya memikirkan diri sendiri merupakan cerminan rendahnya empati. Dalam banyak kasus, tipisnya empati ini dapat menjadi penyulut beragam konflik. Berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang, empati lebih merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang sedang dirasakannya. Empati, karenanya, lebih dari sekadar rasa kasihan. Di dalamnya terkandung maksud untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya.
Itulah sebabnya, bagi pendidik, perlu membangun empati anak sejak dini. Caranya tentu bisa beragam, dan akan lebih mengena bila si anak dapat mengalaminya secara langsung. Seperti syukuran kenaikan kelas bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako kepada para korban bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun belajar bersama anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Pengalaman langsung jauh lebih bermakna bagi anak, bila dibandingkan dengan pengajaran kognitif yang diberikan secara verbal.
Daniel Goleman (2006) memaparkan penelitian Marian Radke Yarrow dan Carolyn Zahn Waxler, anak-anak menjadi lebih empatis apabila kedisiplinan juga mencakup memberi perhatian dengan sungguh-sungguh atas kemalangan yang disebabkan oleh kenakalan mereka. "Lihat kamu membuatnya amat sedih" bukannya "Nakalnya kamu." Ungkapan terakhir dikenal dengan istilah negative labeling. Mereka juga menemukan bahwa empati anak dibentuk pula dengan meniru apa yang mereka lihat. Anak-anak mengembangkan repertoar respons empati, terutama untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan. Ini berarti keteladanan perilaku empatis dari orang tua, guru, dan tokoh idola menjadi sangat penting bagi perkembangan empati anak.
Pendidikan empati cara lama, dengan banyak ceramah dan hukuman, kini sudah mulai banyak ditinggalkan. Pendidikan karakter yang lebih terintegrasi menjadi penggantinya. Pengajaran ‘nilai-nilai’ yang dilakukan secara kognitif-verbal sangatlah tidak memadai. Aspek pembelajaran kognitif dari pendidikan empati hendaknya juga menekankan pada pengembangan kemampuan penalaran moral peserta didik. Seperti mengajari anak keterampilan untuk menyelesaikan problem soal dan moral. Belajar berpikir dan memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain, mengembangkan berbagai alternatif solusi, menimbang akibat pada diri dan orang lain, mempertimbangkan isu-isu keadilan, dan membuat keputusan yang tepat.
Selain aspek penalaran moral, pendidikan empati hendaknya juga menekankan pada pemberian pengalaman belajar yang bervariasi pada peserta didik agar secara aktif mereka dapat belajar dan mempraktikkan keterampilan hidup itu dalam kehidupan nyata. Mereka didorong untuk banyak terlibat dalam organisasi kesiswaan, kelompok-kelompok minat-bakat, dan berbagai kegiatan pelayanan sosial. Belakangan, apa yang dikenal dengan istilah social and emotional learning (SEL) atau collaborative for academic, social, and emotional learning (CASEL) menjadi semakin populer sebagai suatu program pengembangan kompetensi sosial dan emosional peserta didik.
SEL didefinisikan sebagai "the process of developing the ability to recognize and manage emotions, develop caring and concern for others, make responsible decisions, establish positive relationships, and handle challenging situations effectively" (CASEL, 2004). Program-program SEL berkaitan dengan upaya self-discipline yang terfokus pada pengembangan (Lee, 2005): (1) Keterampilan pemecahan masalah sosial dan moral (seperti perspective-taking, goal-setting, dan penalaran moral). (2) Emosi adaptif (seperti sikap dan nilai-nilai positif, empati, rasa bangga dan tanggung jawab, serta pengendalian amarah). (3) Perilaku (seperti perilaku prososial, pengendalian dorongan, resolusi konflik, resistensi sebaya, dan negosiasi).

Guru empatis
Jika sekolah ingin memiliki kontribusi yang lebih besar dalam pengembangan empati siswa, suasana di sekolah, terutama proses-proses pembelajaran yang terjadi di kelas hendaknya memfasilitasi berkembangnya kepekaan sosial. Guru sebagai ujung tombak dalam proses interaksi semestinya dapat menunjukkan kehangatan, rasa hormat, dan kepedulian terhadap semua siswa. Sebagai contoh, mereka perlu menunjukkan minat tulus yang terhadap kehidupan siswa; mendorong komunikasi terbuka dan saling menghormati, serta menampilkan hubungan interpersonal yang berkualitas seperti dengan canda, humor, kebaikan hati, kepercayaan diri, empati, pengertian, rasa hormat, kejujuran, dan kepercayaan.
Guru juga dituntut kemampuannya dalam mengembangkan keterampilan pemecahan masalah sosial dan moral di kalangan siswa. Guru mengajari siswa bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri. Dengan demikian, selama berlangsungnya proses pembelajaran, guru semestinya langsung dapat berperan sebagai model bagi siswa dalam mengatasi berbagai masalah sosial dan keterampilan pengambilan keputusan. Di samping itu, guru harus memahami dan responsif terhadap pentingnya hubungan dekat rumah-sekolah. Artinya, mereka mengakui bahwa motivasi, nilai, sikap, tujuan, dan perilaku semua siswa dipengaruhi pula oleh keluarga dan masyarakat tempat mereka tinggal.
Dalam praktiknya, guru hendaknya selalu memberikan pengajaran akademis dan kegiatan lainnya yang memotivasi belajar empati siswa. Misalnya, guru memastikan tingkat keberhasilan yang tinggi, terutama ketika mengajarkan konsep baru. Sering memberikan umpan balik yang positif terhadap berbagai upaya dan prestasi yang ditunjukkan siswa. Mendorong minat dan kegairahan siswa terhadap pembelajaran. Menetapkan harapan dan standar yang tinggi, wajar, dan jelas. Menggunakan variasi bahan pembelajaran yang baru dan menantang. Siswa diminta bertanggung jawab
terhadap perilaku akademik dan sosial mereka sendiri. Memfasilitasi pembelajaran kooperatif seluruh siswa, dan melibatkan mereka dalam berbagai pengambilan keputusan. Semoga tekanan ujian nasional tidak mengurangi upaya semua pihak untuk menjadi model empatis bagi peserta didik, sehingga perkembangan sikap-sikap empati dapat lebih banyak ditunjukkan oleh anak-anak bangsa. Alangkah indahnya kalau kita dapat menyaksikan siswa yang peduli dengan nasib saudaranya. Guru memahami kesulitan belajar murid-muridnya. Orang tua mengerti suasana kebatinan anak, dan pejabat negara yang tidak saja bicara peduli pada kesejahteraan rakyat tetapi juga mampu membuktikannya dalam tindakan. Kalau penjual ondol-ondol saja mampu, apa lagi pejabat negara.

Oleh Nilawati Isdwiantari, Kepala SMP Swasta di Yogyakarta
Opini Media Indonesia 13 Desember 2010