SUDAH menjadi pengetahuan umum bahwa Negeri Belanda adalah ahli di bidang pengendalian banjir. Permukaan sebagian besar wilayah daratan di negara itu memang lebih rendah dari permukaan air laut, namun jarang terdengar banjir atau luapan air laut melanda wilayahnya. Pada masa lalu keahlian Negeri Kincir Angin dalam menjinakkan air juga diterapkan pada daerah jajahannya, termasuk di Indonesia.
Hingga kini, jejak sejarah kanal pengendali banjir buatan Belanda masih bisa kita lihat. Misalnya, di Jakarta ada Banjirkanal Barat (1920) yang berfungsi agar aliran Sungai Ciliwung melintas di luar Jakarta, tidak di tengah kota. Di Sema-rang ada Banjirkanal Timur (1858) dan Banjir Kanalbarat (1901) yang berfungsi untuk mengalirkan luapan air dari Semarang bagian atas langsung menuju Laut Jawa.
Kota Magelang juga memiliki jejak sejarah yang hampir sama terkait dengan kanal peninggalan Belanda tersebut. Jika kanal di Jakarta dan Semarang lebih berfungsi untuk mengatasi banjir saat musim hujan, di kota Magelang bukan kanal melainkan kali, fungsinya sebagai saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian, yang lebih dikenal dengan Kali Progo-Manggis atau Kali Manggis.
Secara geografis kota Magelang berada di antara dua sungai besar, yakni Progo di sisi barat dan Elo di sisi timur. Karena daratan kota Magelang berada pada posisi lebih tinggi dari kedua sungai tersebut, maka tak ada satupun anak sungai yang mengalir melewatinya (kota Magelang). Menyadari akan hal itu, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa saat itu pada 6 Oktober 1911 merancang pembangunan Kali Manggis.
Karya Thomas Karsten (1884-1945) itu, berhulu di Bendung Badran Kabupaten Temanggung. Melalui bendungan ini sebagian air dari Sungai Progo dibelokkan ke timur kemudian menyusuri wilayah Payaman Kabupaten Magelang. Selanjutnya memasuki kota Magelang melalui Jambewangi, Kedungsari, sisi Pasar Kebonpolo, kantor Rindam IV, Kampung Samban, Pasar Tarumanegara, menyusur di belakang Pasar Rejowinangun.
Kemudian muncul di ujung Jalan Ikhlas, melewati sisi selatan Lembah Tidar, dan selanjutnya masuk ke Mertoyudan, wilayah Kabupaten Magelang. Sungai sepanjang 19,2 kilometer dan lebar sekitar 8 meter itu hampir separonya membelah kota Magelang.
Memperketat Perizinan
Fungsi Kali Manggis sebagai saluran irigasi lahan pertanian (di wilayah kota Magelang) masih bisa terlihat dengan banyaknya dam dan pintu air ukuran kecil, sedang, dan besar.
Namun seiring perkembangan daerah perkotaan, persawahan yang tadinya luas kini beralih fungsi menjadi permukiman, perkantoran, dan aktivitas perdagangan. Hingga akhirnya luas sawah di kota Magelang makin menyusut.
Tahun 2003 lahan pertanian masih sekitar 251 ha, dan 2004 menjadi 248,5 ha. Artinya dalam waktu setahun ada alihfungsi lahan pertanian seluas 2,5 ha. Hal itupun berlanjut mengikuti pertumbuhan penduduk di kota ini. Karena itu, pemanfaatan Kali Manggis sebagai irigasi pertanian lebih ditujukan ke wilayah Kabupaten Magelang, yakni Kecamatan Mertoyudan dan Mungkid mengingat di dua daerah tersebut masih ada sekitar 2.500 ha lahan pertanian.
Di kota Magelang selain hanya ada sebagian kecil warga yang memanfaatkan air Kali Manggis untuk mengairi persawahan, budidaya ikan air tawar, dan kolam pemancingan, air sungai itu lebih berfungsi sebagai penggelontor bagi selokan-selokan yang melintas di perkampungan ataupun perkantoran di timur kota.
Dampak lain dari bertambah padatnya permukiman penduduk di bantaran Kali Manggis adalah banyaknya jembatan yang melintas di atasnya, misalnya di wilayah Kedungsari dan Samban. Bahkan sebagian besar bangunan Pasar Tarumanegara berdiri di atas sunagi tersebut.
Seyogianya dinas yang terkait perlu memperketat pemberian izin pembuatan jembatan atau pembangunan tempat usaha di atas sungai tersebut. Belum lagi kebiasaan sebagian warga di titik tertentu yang kadang membuang sampah ke sungai tersebut. Menjadi tanggung jawab kita bersama agar keberadaan Kali Manggis sebagai bagian sejarah perjalanan kota Magelang tetap lestari, bersih, dan indah. (10)
— Nur Khafid, pendidik, tinggal di Magelang
Hingga kini, jejak sejarah kanal pengendali banjir buatan Belanda masih bisa kita lihat. Misalnya, di Jakarta ada Banjirkanal Barat (1920) yang berfungsi agar aliran Sungai Ciliwung melintas di luar Jakarta, tidak di tengah kota. Di Sema-rang ada Banjirkanal Timur (1858) dan Banjir Kanalbarat (1901) yang berfungsi untuk mengalirkan luapan air dari Semarang bagian atas langsung menuju Laut Jawa.
Kota Magelang juga memiliki jejak sejarah yang hampir sama terkait dengan kanal peninggalan Belanda tersebut. Jika kanal di Jakarta dan Semarang lebih berfungsi untuk mengatasi banjir saat musim hujan, di kota Magelang bukan kanal melainkan kali, fungsinya sebagai saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian, yang lebih dikenal dengan Kali Progo-Manggis atau Kali Manggis.
Secara geografis kota Magelang berada di antara dua sungai besar, yakni Progo di sisi barat dan Elo di sisi timur. Karena daratan kota Magelang berada pada posisi lebih tinggi dari kedua sungai tersebut, maka tak ada satupun anak sungai yang mengalir melewatinya (kota Magelang). Menyadari akan hal itu, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa saat itu pada 6 Oktober 1911 merancang pembangunan Kali Manggis.
Karya Thomas Karsten (1884-1945) itu, berhulu di Bendung Badran Kabupaten Temanggung. Melalui bendungan ini sebagian air dari Sungai Progo dibelokkan ke timur kemudian menyusuri wilayah Payaman Kabupaten Magelang. Selanjutnya memasuki kota Magelang melalui Jambewangi, Kedungsari, sisi Pasar Kebonpolo, kantor Rindam IV, Kampung Samban, Pasar Tarumanegara, menyusur di belakang Pasar Rejowinangun.
Kemudian muncul di ujung Jalan Ikhlas, melewati sisi selatan Lembah Tidar, dan selanjutnya masuk ke Mertoyudan, wilayah Kabupaten Magelang. Sungai sepanjang 19,2 kilometer dan lebar sekitar 8 meter itu hampir separonya membelah kota Magelang.
Memperketat Perizinan
Fungsi Kali Manggis sebagai saluran irigasi lahan pertanian (di wilayah kota Magelang) masih bisa terlihat dengan banyaknya dam dan pintu air ukuran kecil, sedang, dan besar.
Namun seiring perkembangan daerah perkotaan, persawahan yang tadinya luas kini beralih fungsi menjadi permukiman, perkantoran, dan aktivitas perdagangan. Hingga akhirnya luas sawah di kota Magelang makin menyusut.
Tahun 2003 lahan pertanian masih sekitar 251 ha, dan 2004 menjadi 248,5 ha. Artinya dalam waktu setahun ada alihfungsi lahan pertanian seluas 2,5 ha. Hal itupun berlanjut mengikuti pertumbuhan penduduk di kota ini. Karena itu, pemanfaatan Kali Manggis sebagai irigasi pertanian lebih ditujukan ke wilayah Kabupaten Magelang, yakni Kecamatan Mertoyudan dan Mungkid mengingat di dua daerah tersebut masih ada sekitar 2.500 ha lahan pertanian.
Di kota Magelang selain hanya ada sebagian kecil warga yang memanfaatkan air Kali Manggis untuk mengairi persawahan, budidaya ikan air tawar, dan kolam pemancingan, air sungai itu lebih berfungsi sebagai penggelontor bagi selokan-selokan yang melintas di perkampungan ataupun perkantoran di timur kota.
Dampak lain dari bertambah padatnya permukiman penduduk di bantaran Kali Manggis adalah banyaknya jembatan yang melintas di atasnya, misalnya di wilayah Kedungsari dan Samban. Bahkan sebagian besar bangunan Pasar Tarumanegara berdiri di atas sunagi tersebut.
Seyogianya dinas yang terkait perlu memperketat pemberian izin pembuatan jembatan atau pembangunan tempat usaha di atas sungai tersebut. Belum lagi kebiasaan sebagian warga di titik tertentu yang kadang membuang sampah ke sungai tersebut. Menjadi tanggung jawab kita bersama agar keberadaan Kali Manggis sebagai bagian sejarah perjalanan kota Magelang tetap lestari, bersih, dan indah. (10)
— Nur Khafid, pendidik, tinggal di Magelang
Wacana Suara Merdeka 13 Desember 2010