13 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Membedah Kasus WikiLeaks

Membedah Kasus WikiLeaks

Terkuaknya ribuan dokumen rahasia negara-negara di dunia, terutama Amerika Serikat, oleh situs nirprofit independen WikiLeaks menimbulkan kontroversi luar biasa. Banyak pihak khawatir, kebocoran dan penyebaran kawat diplomatik yang memuat dokumen-dokumen sangat rahasia antarpejabat tingkat tinggi, termasuk para diplomat, kelak memicu kekacauan dan ”kesalahpahaman”, bahkan ketegangan politik, dalam interkoneksi diplomatik global.
Namun, perlu dipertanyakan, sungguhkah data atau dokumen yang diklaim ”sangat rahasia” itu memiliki otentisitas atau validitas? Ataukah, kasus WikiLeaks yang menyedot perhatian dunia hanyalah aksi kontroversial yang diembus oleh pihak atau negara tertentu untuk memainkan ”skenario tersembunyi”?
Sebaliknya, jika pelbagai materi kawat diplomatik yang dibocorkan itu valid, seberapa jauhkah ia berdampak serius bagi kepentingan nasional kita?
Senjata makan tuan
Diteropong dari sudut percaturan ideologi global, khususnya kiprah liberalisme yang diusung Amerika Serikat atau Barat dan kini bermetamorfosis menjadi neokolonialisme (istilah Bung Karno), tampaknya ideologi yang cukup lama menguasai dunia ini sedang mengalami deklinasi cukup tajam.
Kemerosotan tersebut justru diakibatkan kebebasan dan keterbukaan itu sendiri. Kasus WikiLeaks merupakan buah kebebasan dan keterbukaan di bidang informasi, sama halnya dengan kasus rontoknya perusahaan raksasa Amerika Serikat, Lehman Brothers, diakibatkan oleh mekanisme pasar bebas, kebebasan, dan keterbukaan di bidang ekonomi.
Dari perspektif ideologi, kasus WikiLeaks merupakan senjata makan tuan karena justru Amerika Serikat atau Baratlah yang mempromosikan liberalisme serta demokrasi.
Kekuatan di belakang WikiLeaks?
Ditilik dengan kacamata politik atau intelijen, siapa gerangan di belakang Julian Assange dengan WikiLeaks-nya? Pria kelahiran Townsville-Queensland, Australia, berusia 39 tahun itu pernah belajar fisika dan matematika di Universitas Melbourne. Dia ahli komputer yang menekuni masalah security network, khususnya menyangkut pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar seantero dunia.
Belakangan dia sangat rajin memberikan ”khotbah” tentang ”demokrasi radikal” di dunia maya. Assange pernah memublikasikan pembuangan limbah beracun di Afrika, pernah pula dianugerahi Amnesty International Media Award atas usahanya mengekspos pembunuhan ekstrayudisial di Kenya. Rangkaian data ini menunjukkan dia seorang fundamentalis-radikalis demokrasi, keadilan, dan lingkungan hidup.
Namun, Youtube dan CNN telah merilis gambar markas WikiLeaks yang berada dalam bungker di pegunungan dekat Stockholm, ibu kota Swedia. Terkesan bahwa markas baru tersebut dibangun dengan biaya yang sangat besar.
Hal ini mengindikasikan ada kekuatan finansial di belakang WikiLeaks sehingga kemungkinan besar kasus ini tidak semata-mata dilatari idealisme bahkan fundamentalisme demokrasi, tetapi bisa juga bermotif politik atau ekonomi.
Dikaitkan dengan kebijakan politik- ekonomi global Amerika, mungkin saja ada keterlibatan kelompok fundamentalis, atau negara dan kekuatan swasta tertentu. Walau terlalu dini disebut, Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) adalah adidaya baru yang tentu berkepentingan dengan maju-mundurnya Amerika Serikat.
Boleh jadi pula hanya berkait dengan masalah politik domestik Amerika Serikat yang bertujuan menjatuhkan Presiden Barack Obama. Perkiraan ini didukung oleh fakta penangkapan seorang tentara Amerika yang diduga memberikan dokumen rahasia tersebut kepada WikiLeaks.
Yang jelas, kasus ini merupakan ”perang informasi” yang kian merebak dan dimainkan dengan teknologi tinggi, kesan di permukaan terjadi antara kelompok fundamentalis demokrasi melawan neokolonialisme.
Assange membela diri dengan mengatakan bahwa tindakan membocorkan kawat diplomatik dengan level kerahasiaan sangat tinggi merupakan misi penting WikiLeaks untuk menghadirkan kejujuran dan transparansi global, serta menguatkan peran media sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat dunia.
Apa pun alasan Assange, karena substansi yang dibocorkan adalah hal-hal penting dan sangat rahasia, dampaknya bisa sangat negatif. Dokumen rahasia antara Amerika Serikat dan sebuah negara di Eropa Timur yang dipublikasikan dapat saja menyinggung kepentingan dan sensitivitas satu atau lebih negara lainnya di kawasan tersebut dan menyulut potensi konflik antarnegara.
Konteks Indonesia
Terkait dengan Indonesia, WikiLeaks menengarai telah mengantongi lebih dari 3.000 dokumen rahasia atau laporan diplomatik Amerika Serikat yang dikirim ke dan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan konsulat jenderal di Surabaya.
Tiga dokumen telah dirilis, antara lain mengungkapkan Program Pelatihan dan Pendidikan Militer Internasional bagi Indonesia pascatragedi Santa Cruz yang disebut-sebut melibatkan TNI/Kopassus, serta intervensi Amerika Serikat dalam proses referendum Timor Timur pada 1999 yang bermuara pada lepasnya wilayah itu dari Indonesia.
Memang secara substantif fundamental dan strategis tak ada implikasi serius atau konsekuensi destruktif terhadap keamanan nasional dan kepentingan nasional kita. Isu-isu nasional yang telah dan mungkin akan disingkapkan lagi sebenarnya bukan rahasia lagi alias sudah jadi ”rahasia umum”.
Tentang G30S 1965, misalnya, sudah banyak buku yang mengupas tuntas dari berbagai perspektif dan kepentingan. Atau, momentum kejatuhan Pak Harto dengan berbagai versi terkait dengan kerusuhan sosial seputar peristiwa tersebut juga telah dipublikasi dalam berbagai modus.
Hikmah penting dari kasus ini adalah perlunya meninjau dan merevisi serta memperketat sistem informasi intelijen, termasuk menata ulang dan meningkatkan standardisasi pengiriman, penyimpanan, dan dokumentasi data intelijen.
Kita tak mungkin membendung dahsyatnya dampak kemajuan teknologi komunikasi yang telah menghadirkan keefektifan, transparansi, dan aksesibilitas yang tinggi. Kita pun tak mungkin terbebas dari upaya intervensi, penetrasi, dan influensi kekuatan atau kepentingan asing.
Namun, setidaknya kita masih memiliki ”ruang dalam” yang aman terlindungi dari serbuan kepentingan asing, dengan mengetatkan sistem pengawasan dan perlindungan informasi tingkat tinggi. Dalam perspektif jangka panjang, diperlukan peningkatan kewaspadaan nasional, memperkuat kesadaran bela negara, dan menempa mentalitas kebangsaan yang menjadikan setiap anak bangsa sebagai ”agen republik” yang sejati.
KIKI SYAHNAKRI Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
Opini Kompas 14 Desember 2010