Salah satu ganjalan terbesar bagi pihak-pihak yang ingin kembali (set back) ke era sebelum terbentuknya konstitusi reformasi (baca UUD Negara RI 1945 pascaamandemen) adalah eksistensi Mahkamah Konstitusi RI.
UUD 1945 pascaamandemen menisbatkan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga tegaknya konstitusi (the guardian of the constitution). Dengan demikian, kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam bingkai UUD 1945 pascaamandemen merupakan salah satu lembaga utama yang menjadi ciri hakiki dari konstitusi reformasi dan membedakannya dari UUD 1945 praamandemen. Artinya, tanpa Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 pascaamandemen rentan terhadap distorsi implementasi maupun pergeseran politik ketatanegaraan yang dapat menghilangkan eksistensinya sebagai norma dasar (grundnorm) tertinggi dalam negara yang direformasi (reformed state), dengan maksud mengembalikan ke prareformasi.
Mahkamah Konstitusi
Periode awal Mahkamah Konstitusi ditandai dengan upaya membangun struktur kelembagaan untuk melaksanakan amanah UUD 1945 pascaamandemen sebagai pengawal konstitusi. Pada awal perjalanan, Mahkamah Konstitusi mampu mengawal konstitusi pascaamandemen sebagai suatu forma formarum, yaitu UUD 1945 pascaamandemen menjadi keseluruhan bangunan organisasi dan bangunan hukum negara yang direformasi.
Pada babak kedua perjalanan Mahkamah Konstitusi di bawah Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi berhasil menegaskan UUD 1945 pascaamandemen menjadi apa yang disebut Hermann Heller sebagai kesatuan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat (the living constitution) melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang merefleksikan keadilan sosial.
Lihatlah misalnya Putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009 dalam pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 yang telah menyetarakan hak konstitusional anggota DPD dalam pengisian pimpinan MPR, putusan MK yang membatalkan berlakunya UU BHP yang sarat komersialisasi pendidikan. Putusan MK Nomor 6/PUU-VIII/ 2010 yang mampu mengatasi secara bijak perselisihan mengenai legalitas masa jabatan Jaksa Agung RI, dan sederet putusan lain.
Pada umumnya publik menilai putusan-putusan MK mampu memadukan sisi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pada umumnya putusan-putusan MK mampu melampaui diskursus praktis perselisihan yang menyoal konstitusionalitas produk hukum undang-undang atau sengketa pilkada dan meletakkannya di atas nilai keadilan konstitusional, sambil meneguhkan UUD 1945 pascaamandemen sebagai suatu norma normarum atau norma hukum tertinggi yang harus dikawal MK.
Mahkamah Konstitusi juga pernah menjadi aktor penting dalam membongkar mafia hukum dengan memutar transkrip percakapan Anggodo dengan sejumlah petinggi di lingkungan penegak hukum.
Hadapi upaya distorsi
Upaya untuk mendistorsi kelanjutan reformasi senantiasa ditujukan kepada pilar-pilar penjaga konstitusi reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi RI, KPK RI, dan bahkan UUD 1945 pascaamandemen sendiri dengan ajakan untuk kembali (set back) ke era UUD praamandemen. Konstitusi dalam pandangan Ivo Duchacek mengidentifikasi sumber, tujuan penggunaan, dan pembatasan kekuasaan umum, maka UUD 1945 yang diwarnai oleh ruh checks and balances antarlembaga kekuasaan telah menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi agar pengawasan terhadap kekuasaan negara berjalan efektif.
Rakyat harus menjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi dan tidak terjebak serangan balik kontrareformasi yang berupaya mendistorsi dan mendelegitimasi Mahkamah Konstitusi. Apalagi negeri ini kian kehilangan figur panutan yang mampu menjadi teladan seperti para pendiri negeri ini yang asketik, empatik, sekaligus heroik.
MK harus tetap menjadi teladan bagi pilar kekuasaan yudikatif yang lain agar tidak mengalahkan pihak yang seharusnya menang ataupun memenangkan pihak yang seharusnya kalah.
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Opini Kompas 13 Desember 2010