Penangkapan tanpa perlawanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme, Mustofa alias Abu Tholut, Jumat (10/12) pagi di Kudus oleh aparat kepolisian harus mendapatkan apresiasi yang tinggi karena ia bukan target DPO, dengan jejak rekam yang biasa.
Di kalangan gerakan bawah tanah, ia dikenal sebagai sosok yang licin, tangguh, dan bermental tempur tinggi. Lelaki yang tidak banyak bicara dan bersorot mata tajam ini tercatat sebagai salah satu komandan dan pelatih militer (asykari) yang diakui di tingkat global, regional, maupun lokal.
Pada tahun 1980-an, bersama Osama bin Laden, ia memukul mundur tentara Rusia di Pegunungan Joji, Afganistan. Karena itulah, ia pun kemudian diminta almarhum Syekh Hasyim Salamat, pemimpin Front Pembebasan Islam Moro, untuk memberikan pelatihan kemiliteran kepada ratusan kader kelompok ini pada tahun 1990-an.
Sekembalinya ia ke Indonesia, dua wilayah konflik Poso dan Ambon—serta diduga kuat pelatihan militer di Aceh baru-baru ini—jadi bukti jejak rekam kemampuan militernya itu. Karena itu, bisa jadi aparat kepolisian yang bertugas head to head menangkap sosok ini bisa ciut nyali untuk menangkapnya hidup-hidup. Penangkapan tanpa tindakan represif dari pihak kepolisian ini juga menunjukkan terjadinya proses pembelajaran pada tubuh internal Polri.
Mereka akhirnya sadar, penangkapan para tersangka teroris yang cenderung berpola terrorizing terrorist (meneror teroris) adalah sebuah strategi yang kontraproduktif. Contohnya: penggerebekan 17 jam atas tersangka tindak pidana terorisme, Boim, bekas floris Hotel Ritz-Carlton, di Temanggung; penembakan Dulmatin di sebuah warnet di Pamulang; dan juga penembakan terhadap dua tersangka tindak pidana terorisme di Cawang.
Puncak gunung es
Bagi kalangan aktivis hak asasi manusia, tindakan-tindakan di atas jelas terindikasi adanya pelanggaran HAM yang justru menciptakan ruang bagi sebagian masyarakat untuk bersimpati kepada kelompok ini. Bagi mereka, kelompok ini dianggap tidak mendapatkan dua asas penting dalam penegakan hukum, yaitu praduga tak bersalah dan persidangan yang bersih bagi mereka. Tindakan represif aparat ini pun kemudian dijadikan amunisi propaganda yang mereka kemas secara canggih melalui media ceramah, tulisan di situs web, Facebook, Youtube, dan juga Twitter.
Oleh karena itu, tertangkapnya sosok kelas kakap seperti Abu Tholut ini bukanlah akhir dari penyelesaian terorisme di Indonesia. Ia hanya puncak dari sebuah gunung es, yang jika nakhoda negara ini tidak jeli, kapal berbangsa kita akan robek dan bahkan bisa tenggelam. Untuk mendapatkan gambaran seberapa besar gunung es itu, paling tidak ada tiga hal yang harus segera diselesaikan oleh negara.
Pertama, negara harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (transparent and accountable) dalam hal penanganan isu terorisme ini. Tanpa adanya dua unsur tersebut, kepercayaan masyarakat kepada negara akan tergerus. Hari ini indikasi ke arah itu sudah terbaca. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dengan tegas mengatakan, penanganan isu terorisme ini bukanlah sebagai upaya pengalihan isu.
Namun, tetap saja ada jurang yang sangat besar antara fakta lapangan (penangkapan teroris) dan opini yang berkembang di masyarakat. Bagi masyarakat, kemunculan isu terorisme itu tetap saja sebagai upaya pengalihan isu-isu besar yang sedang dihadapi negara. Misalnya, media massa saat ini banyak mengangkat masalah silang pendapat antara Presiden SBY dan Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengenai keistimewaan Yogyakarta, kasus Gayus, Centurygate, dan lain-lain.
Banyak masyarakat kita juga percaya bahwa sesungguhnya para pelaku itu sudah terdata dengan baik, terutama sosok seperti Abu Tholut yang jelas-jelas bukan pemain baru. Ibarat ikan, ia hanya sedang berenang di sebuah akuarium yang besar. Kalaupun ia bersembunyi, maka ia hanya bersembunyi di sebuah batu karang dalam akuarium itu. Maka, tidak mengherankan jika kemudian ia pun tertangkap di rumah istrinya di Kudus.
Kedua, negara harus segera mengalokasikan budget yang memang tercatat di Bappenas. Kalau perlu, negara pun dapat memobilisasi dana dari swasta melalui dana-dana tanggung jawab sosial perusahaan. Alokasi dana ini juga harus dipastikan tepat sasaran. Misalnya dengan mendorong lembaga-lembaga pendidikan (tidak hanya pesantren) untuk menghidupkan tradisi berpikir kritis, toleran, dan siap menerima berbedaan. Hanya mengharapkan pihak asing, terutama dana dari Amerika dan sekutunya, untuk penanganan isu terorisme bisa berbuntut panjang karena setiap bantuan dapat dibaca di kemudian hari sebagai bentuk intervensi asing atas kedaulatan kita.
Ketiga, negara harus membuat sistem peringatan dini terhadap daerah-daerah yang berpotensi terjadi konflik komunal, seperti di Ambon dan Poso. Konflik itu muncul tidak saja karena masalah agama, tetapi juga karena masalah sosial. Abu Tholut mewakili faksi dalam gerakan bawah tanah yang berprinsip pentingnya menggalang kekuatan militer, baik secara organisasi maupun kelompok, di wilayah-wilayah konflik ini. Karena itu, pekerjaan rumah negara masih panjang.
Misalnya, memahami dinamika individu-individu yang pernah terlibat dalam konflik itu (post conflict actors) menjadi kunci penting memprediksi pola gerak mereka. Hampir semua pelaku utama dalam tindak pidana terorisme di Indonesia adalah juga mantan pelaku di wilayah konflik. Mereka sesungguhnya adalah individu yang resah terhadap masalah sosial yang mereka hadapi dan tidak mampu menyelesaikannya secara rasional masalah-masalah tersebut.
Noor Huda Ismail Alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki; Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
Opini Kompas 13 Desember 2010