20 Desember 2010

» Home » Okezone » Opini » Wajah Ganda Pembocoran Rahasia

Wajah Ganda Pembocoran Rahasia

Julian Assange, sang pendiri situs WikiLeaks, mampu  menghirup udara bebas. Hal  ini dapat terjadi karena pengacaranya  memberikan uang jaminan  sebesar 240.000 poundsterling  (Rp3,3 miliar) kepada otoritas hukum di Inggris. Namun, kebebasan Assange bersifat sementara dan  semu belaka.

Assange harus memakai gelang monitor elektrik dan dikenai jam malam. Artinya ialah  Assange tetap dalam pengawasan  yang sangat ketat. Ke mana pun  Assange pergi pasti gampang dideteksi. Bahkan, muncul rumor  bahwa Amerika Serikat (AS) menyiapkan  dakwaan mata-mata kepada  dirinya. Pihak yang paling dirugikan oleh aktivitas pembocoran rahasia  yang dilakukan Assange tentu saja  adalah AS. Perang di Irak dan  Afghanistan serta korupsi korporasi  yang melibatkan pejabat  dan pengusaha dari negara adidaya  itu berhasil dibongkar Assange. Semua itu menjadikan para elite  politik AS marah. Tapi, Assange  berdalih bahwa masyarakat demokratis  memerlukan media yang  kuat. Media membantu dalam  menjaga pemerintah untuk berperilaku jujur. WikiLeaks, tegas  Assange, adalah bagian dari media  itu.

Argumentasi Assange benar meskipun harus dilihat secara lebih kritis. Mengapa? Apa yang dibocorkan  Assange adalah informasi.  Makna informasi bukan sekadar  fakta atau data. Informasi, sebagaimana  diuraikan oleh M Burgin (The  Essence of Information: Paradoxes,  Contradictions, and Solutions, 2005), pada abad ke-15 memiliki  makna etimologis informare (bahasa  Latin) yang berarti “memberikan  bentuk”, “membentuk”, dan  “memformulasikan”. Selama zaman  Renaissance, kata “menginformasikan”  memiliki padanan dengan  pengertian “menginstruksikan”. Dari pemahaman ini, informasi  dapat dimaknai sebagai pengetahuan  karena yang dibentuk  dalam proses itu adalah apa yang  diketahui untuk kemudian dijadikan  instruksi. Secara sosiologis, terdapat jalinan  yang sangat erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah pengetahuan.

Siapa yang mengetahui akan bisa  menguasai. Sebaliknya, siapa yang tidak bisa mengetahui secara otomatis  akan dikuasai. Dalam peperangan, misalnya, pihak yang mengetahui  mempunyai kemungkinan  besar untuk memenangkan pertarungan. Sedangkan dalam dunia bisnis, pihak yang mengetahui memiliki peluang luas untuk mengontrol pasar dan mengeksploitasi sumber daya (manusia maupun  alam). Pada titik inilah Assange berada dalam konflik keras antara  mengungkap dan menyembunyikan pengetahuan.

Ambivalensi

Dalam situasi tegangan antara menutup dan membuka informasi itulah, sosok Assange dan proyek  WikiLeaks-nya memiliki ambivalensi. Kebaikan dan keburukan muncul sekaligus dalam aksinya  membocorkan ribuan rahasia. Bagi para pendukung dan pemuja Assange, pembocoran rahasia merupakan  tindakan penuh kepahlawanan.  Assange dihadiahi berbagai  sanjungan. Assange dianggap  sebagai figur yang berani menelanjangi  berbagai manipulasi  yang dijalankan pihak yang berkuasa.

Peperangan dan perdagangan yang selalu dipropagandakan untuk kebaikan umat manusia tidak  lebih adalah aksi destruktif  yang justru merontokkan kemanusiaan itu sendiri. Tidak demikian halnya dengan pihak yang menentang Assange. Warga negara Australia ini dipandang sebagai figur yang menebarkan kerugian dan kehancuran saja. Sebabnya adalah—meminjam  konsep dari Erving Goffman (1922-1982)—masyarakat rahasia yang sejauh ini bisa tampil sempurna  dan amat meyakinkan dalam memainkan  drama peperangan dan  bisnis di hadapan massa tidak lebih  adalah para pemain yang menciptakan  konspirasi tingkat tinggi.

Sebagai  sebuah contoh, negara-negara  Arab yang selama ini digambarkan bertikai dengan Israel (Yahudi)  ternyata bersatu padu mendukung  AS dalam menekan Iran.  Semua persekongkolan itulah yang  dibongkar Assange. “Masyarakat rahasia” yang melibatkan berbagai elite negara itu pun dibuat  kelabakan oleh Assange. Tidak  heran jika Assange selalu diintai  dan akan dibunuh.  Jadi, apakah yang ijalankan  Assange dan proyek pembocoran  rahasia itu baik atau buruk? Tentu  saja, tergantung siapa yang mendapatkan  keuntungan dari aksiaksi  pembocoran rahasia itu. Baik  dan buruk dalam pembongkaran  informasi ini seringkali tidak lagi  memperhatikan moralitas. Dianggap  baik jika bisa memberikan kekuatan  dan kekuasaan yang lebih  besar.

Dinilai buruk jika justru merontokkan  kekuatan dan kekuasaan  yang berada dalam genggaman.  Bagi rezim berkuasa,seperti pemerintah  dan berbagai korporasi AS,  apa yang dilakukan Assange sangatlah  buruk dan biadab.Sebaliknya,  bagi pihak yang selama ini dibohongi  dan dicekoki manipulasi, perbuatan Assange terpuji dan  beradab. Tapi, bagaimana jika informasi rahasia itu dimanfaatkan  para teroris? Tidakkah juga berbahaya? Itulah wajah ganda dari pembocoran rahasia. Dengan begitu, tepat apa yang  dikemukakan Mario Vargas Llosa, sang pemenang Hadiah Nobel di bidang kesusastraan tahun 2010.

Sastrawan dari Peru itu menyatakan, pembocoran rahasia yang dilakukan WikiLeaks memang mendorong keterbukaan, tapi jika transparansi itu berlebihan juga membahayakan. “Opini saya tentang  WikiLeaks kontradiktoris,”  kata Llosa. Pada satu sisi, transparansi itu sangat luar biasa karena semuanya dibawa ke dalam terang cahaya. Hal inilah yang melindungi kita dari intrik, penipuan, dan kebohongan. Pada sisi lainnya, jika semuanya dibawa ke dalam terang  cahaya, seluruh kerahasiaan dan  privasi menghilang. Negara tidak  berfungsi lagi karena negara dalam  posisi yang rentan. Esensi demokrasi berada dalam bahaya  (“WikiLeaks ‘Dangerous’ and ‘Wonderful’,  The Swedish Wire, 6 Desember  2010).

Sosok Janus

Hal yang bisa ditegaskan dalam problem pembocoran rahasia tersebut adalah Assange (dan Wiki Leaks) serupa dengan sosok Janus. Dalam mitologi Roma, seperti diuraikan situs Wikipedia, Janus merupakan  Dewa Gerbang, pintu,  jalan menuju pintu, awal, akhir, dan waktu. Nama Janus dikaitkan  dengan bulan Januari, yang mengawali tahun baru. Janus seringkali digambarkan mempunyai dua kepala, menghadap dalam arah yang berlawanan. Kepalanya yang menghadap ke belakang menatap tahun yang lama. Kepalanya yang menghadap ke depan menatap tahun yang baru. Janus adalah dewa  yang menyimbolkan keberadaan masa lalu dan masa depan dalam keserentakan.  Sebagai sosok Janus, Assange (dan WikiLeaks) memiliki dua jenis kepala yang saling bertentangan.

Kepala yang satu menghadap ke belakang hendak menyatakan bahwa negara tidak boleh sewenang-  wenang dalam menerapkan rezim kerahasiaan. Masa silam  yang penuh kebohongan dan manipulasi  itu hendaknya ditinggalkan oleh birokrasi negara maupun  korporasi swasta. Memang benar bahwa negara mempunyai otoritas untuk menerapkan kerahasiaan. Tapi, kewenangan itu hendaknya  digunakan sebaik mungkin dan bukan untuk menghadirkan persekongkolan kejahatan. Kepala yang satu lagi menghadap ke depan yang secara antusias menyatakan bahwa bukan hanya negara dan  korporasi yang bisa mengawasi  warga. Pihak warga pun memiliki kemampuan untuk mengawasi  setiap penipuan serta konspirasi negara dan korporasi.

Max Weber (1864-1920) pernah menyatakan negara adalah kekuasaan yang memiliki otoritas memonopoli kekerasan terhadap warganya dalam wilayah tertentu. Jika dikaitkan dengan informasi, perspektif Weberian itu merujuk pada pernyataan bahwa negara adalah lembaga yang boleh memonopoli kebenaran informasi dalam cakupan geografis tertentu. Tapi, pada  era informasi yang semakin terbuka, monopoli kebenaran itu tidak mungkin bisa digenggam lagi.  Internet mampu menjangkau dan mengatasi batas-batas negara. Kehadiran  Assange (dan WikiLeaks)  adalah perlawanan terhadap keangkuhan  negara dan korporasi  yang secara kontinu mengelabui  warga dengan teknik-teknik manipulasi  dan penyesatan informasi.

Informasi,sebagaimana diuraikan  Zoubin Ghahramani (Information  Theory, Encyclopedia of Cognitive  Science, 2000), adalah pengurangan  ketidakpastian. Pada  teori informasi dikemukakan bahwa  kuantitas paling fundamental  dalam lingkup ini adalah entropy  (tingkat ketidakberaturan dalam  sebuah sistem).Informasi berfungsi  sebagai reduksi terhadap entropy  itu. Jika penjelasan ini dikaitkan  dengan Assange (dan WikiLeaks),  terlihat bahwa mayoritas warga  selama ini disuguhi aneka entropy  yang justru diciptakan negara dan  korporasi. Entropy itu hadir sebagai  tatanan mapan yang secara  ironis penuh tipuan.

Wajah ganda  dari penyingkapan suatu tipuan  adalah merugikan si penipu dan  menguntungkan si tertipu.Ketika  tipuan berhasil dibongkar, haruskah  para penipu marah? Jadi, jangan  memain-mainkan kerahasiaan.  Suatu ketika pasti bocor juga  kebusukannya.(*)

Opini Okezone 21 Desember 2010