20 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Hukum, Politik Oligarki, dan Kekuasaan yang Lemah

Hukum, Politik Oligarki, dan Kekuasaan yang Lemah

Kasus korupsi pajak yang dilakukan Gayus Tambunan tampak begitu gegap gempita dalam sorotan media, dan menjadi pusat perhatian publik.
Dari proses penang­kapan dan penjeblosannya ke rumah tahanan, hingga berkeluyurannya ia untuk menonton tenis di Bali dengan lebih dulu menyogok para petugas rutan, selalu tidak lepas dari sorotan kamera. Ini sungguh bagaikan pentasan kisah permainan hukum bak di “panggung teater” yang mencengangkan.
Celakanya, episode kasus hukum yang dinarasikan lewat aneka citra media tersebut, bukannya membuat publik senang, lantaran dengan keterbukaan informasi dalam kasus itu, melainkan sangat menggelisahkan publik. Ini karena publik takut kasus itu akan sama nasibnya dengan penyelesaian kasus-kasus korupsi besar seperti Bank Century atau kasus korupsi lainnya, yang jika melibatkan orang-orang kuat, selalu berakhir sia-sia.
Semua kasus hukum yang selalu berujung pada kekecewaan publik selama ini memang terus memperjelas klaim penguasa dan para penegak hukum bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechsstaat), bukan negara kekuasaan (machsstaat). Oleh karena itu, semua kasus hukum harus yang diselesaikan secara hukum, hanyalah retorika kosong dengan legitimasi yang berhenti pada adagium “sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” yang bersifat sangat normatif. Akibatnya, korupsi sebagai bentuk penegasian hukum, tetap ibarat virus ganas yang terus  mewabah.

Terperangkap Politik Oligarki
Bebasnya Gayus keluar-masuk rutan, mengonfirmasi betapa hukum bisa dibeli de­ngan uang.  Tak heran jika publik secara serta-merta menilai kasus Gayus hanyalah memperpanjang deretan litani hukum penuh ironis kasus yang gagal memahatkan ke­adilan di ranah publik. Keputusan soal keadilan dalam kasus Gayus, seperti halnya kasus-kasus lainnya, penyelesaiannya hanya akan terjadi di tataran penguasa dan elite negeri serta para penegak hukum dengan ujung kisah yang tidak diketahui publik. Kekuatan  publik dan hukum seperti sulit menembus benteng-benteng kepentingan politik yang memiliki kuasa lebih besar daripada kebenaran dan penegakan keadilan.
Itulah yang disebut hukum benar-benar telah terperangkap dalam politik oligarki. Politik oligarki adalah sistem politik di mana berbagai keputusan, termasuk keputusan hukum hasil perselingkuhan, dibuat hanya oleh elite dengan mengabaikan kehendak publik. Untuk itu, yang terjadi adalah politik hukum transaksional. Lalu  oligarki itu sendiri adalah kekuasaan di tangan segelintir orang. Kasus-kasus hukum besar hanya dijadikan sebagai alat kompromi dan tawar-menawar politik yang berakhir di bawah kolong meja.
Oleh karena itu, hukum yang terperangkap politik oligarki hanya “dikuasai” dan menjadi “milik” segelintir orang yang punya kekuatan dan kekuasaan, seperti para penguasa, kaum elite, dan kong­lomerat hitam. Apalagi secara kasat mata, Indonesia menganut sistem politik oligarki. Dalam arti, produk hukum sangat dipengaruhi sistem politik, apakah demokratis atau tidak. Inilah yang membuat penegakan hukum tidak akan pernah berjalan dengan baik di negeri ini. Penguasa, para penegak hukum, dan para konglomerat hitam terus hidup dalam keenakan hukum yang dikamuflase, dan rakyat tetap terpenjara dalam ketidak­adilan yang memiriskan hati.
Selanjutnya, jika tindakan praksis dan retorika bahasa yang digunakan dalam wacana hukum bukan untuk me­ngatakan kebenaran hukum sesuai realitasnya, namun hanya sebagai cara legitimasi “kebenaran dan keadilan bagi diri sendiri”, terciptalah fakta hukum seperti dikatakan George Bataille dalam Visions of Excess (1989) sebagai “ironi yang memarodi diri sendiri”. Sebuah tindakan dan bahasa retoris yang sebenarnya mengejek dan merendahkan diri sendiri. Untuk itu, hukum pun semakin tidak berfungsi sebagai wahana untuk memproduksi kebenaran dan ke­adilan, tetapi hanya berkutat pada empirisme-kulit ari kebenaran dan keadilan palsu.
Oleh karena itu, tidak heran negeri ini sudah menjelma menjadi negara kleptokrasi, yang dalam praktik pemerin­tahannya diwarnai aneka praktik korupsi atau yang ditandai keserakahan dan ketamakan (a government characterized by rampant greed and corruption). Sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para kleptomaniac, pengidap penyakit kleptomania.
Dalam psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan haknya dan dilakukan berulang-ulang, meskipun sebenarnya ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya. Para konglomerat hitam pengemplang pajak, masuk dalam kelompok ini. Sungguh mengerikan jika ekonomi dan hukum di negeri ini dikendalikan konglomerat hitam yang mengidap penyakit kleptomania dan diselingkuhi oleh penguasa, politikus, dan para penegak hukum dalam sistem politik berbau oligarki.

Kekuasaan yang lemah
Meskipun sangat sulit menembus benteng-benteng kepentingan politik di balik kasus Gayus dan kasus-kasus korupsi lainnya yang melibatkan orang-orang kuat, publik dengan sokongan media, tidak boleh lengah dalam mengontrol jalannya penegakan hukum. Apalagi ini terjadi di tengah defisit integritas yang amat mengerikan di tubuh Kejaksaan Agung dan kepolisian serta semua institusi lain yang terjerat kasus korupsi. Kelengahan  dalam melakukan kontrol akan menjadi kesempatan emas bagi penguasa, para penegak hukum dan para koruptor kakap untuk mempermainkan hukum. Lalu dengan giatnya kontrol publik dan media, diyakini cepat atau lambat bendera supremasi hukum  dapat ditegakkan.
Lebih dari itu, sangat diharapkan sikap tegas Presiden Yudhoyono dalam menangani kasus pemberantasan korupsi ini. Seperti diutarakan Presiden ketika berkampanye mencalonkan diri menjadi presiden, me­nyatakan ia hendak memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Untuk itu, kini ketika wajah penegak hukum di kepolisian dan kejaksaan sudah rusak parah, Presiden harus memimpinnya sendiri, tentu dengan tanpa intervensi.
Jika tidak, Presiden hanya akan mempertontonkan diri sebagai seorang penguasa yang lemah, yang tidak sanggup memimpin negara dalam kesulit­an. Ini memperburuk citra Presiden yang selama ini dinilai peragu dan gemar tebar pesona.
Presiden harus memahami bahwa rakyat sekarang sangat mengharapkan perannya yang lebih dalam hal pemberantasan korupsi. Ini juga untuk menghindari kecurigaan tentang dirinya sebagai bagian dari sistem oligarki yang memerangkap hukum.

Opini Sinar Harapan 21 Desember 2010