20 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Mengukur Efektivitas Pembatasan BBM

Mengukur Efektivitas Pembatasan BBM

Rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dalam waktu dekat akan direlisasikan.
Bersadarkan rencana yang ditargetkan pemerintah, maka terhitung sejak 1 Januari 2011 pemerintah melaksanakan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah memandang penyaluran BBM bersubsidi harus tepat sasaran dan berdaya guna. Melalui kebijakan ini, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM sekitar Rp 10,6 triliun. Memang hingga saat ini belum diputuskan secara final, pihak mana saja yang akan terkena kebijakan tersebut. Namun pemerintah terus menyiapkan sejumlah opsi, seraya menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tanggal 1 Januari 2011 hampir pasti menjadi jadwal awal dimulainya kebijakan tersebut. Alasannya, sudah beberapa kali rencana itu tertunda dengan alasan ketidaksiapan masyarakat. Kini, waktu pelaksanaan sudah semakin dekat. Jika ditunda-tunda lagi, beban anggaran semakin berat karena subsidi terus membengkak. Mau tidak mau kita harus melakukan antisipasi agar jika kebijakan tersebut sudah berlaku, dampaknya tidak terlalu berat.
Sedikitnya, antisipasi itu menyangkut harga pada kebutuhan pokok dan pembebanan pada lalu lintas. Dampak pada harga, kebijakan itu diprediksi akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok, pada kisaran 7 persen-15 persen. Bahkan, harga produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa naik hingga 20 persen-30 persen. Barang hasil industri pun kenaikan harganya diprediksi berada pada kisaran 7 persen-10 persen. S
ementara untuk kebutuhan pokok, kenaikan harga di pasaran bisa mencapai 10 persen-15 persen. Pemerintah tentu tidak ingin situasi menjadi buruk akibat harga-harga tak terkendali. Dalam hal ini disarankan agar pemerintah segera mengatur atau menekan pergerakan harga yang kiranya menimbulkan keguncangan di masyarakat. Bagaimanapun kenaikan harga yang tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan masyarakat akan menjadi beban baru.
Padahal, masyarakat belum bisa melepaskan diri dari merosotnya daya beli akibat inflasi. Di bidang lalu lintas, rencana pemerintah melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi semua kendaraan bermotor roda empat dikhawatirkan akan melambungkan jumlah sepeda motor di seluruh Indonesia yang sudah mencapai 59,4 juta unit (data per Juli 2009). Lonjakan jumlah sepeda motor tentu dapat memperparah kondisi lalu lintas, terutama di perkotaan. Apalagi perilaku pengendara sepeda motor sulit ditertibkan dan hampir 70 persen kecelakaan di jalan raya terkait sepeda motor.
Tragisnya, kebanyakan korban meninggal dunia adalah penduduk yang masuk dalam kategori usia produktif dan juga kepala keluarga. Selama periode waktu yang tersisa menjelang pemberlakuan kebijakan ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan segera membahasnya secara mendalam agar apa pun yang disepakati tidak menimbulkan resistansi. Tidak memberlakukan kebijakan pembatasan BBM ini adalah sulit, tetapi sesungguhnya masih ada jalan agar masyarakat tidak putus asa.
Kebijakan Parsial
Pembatasan premium untuk kendaraan pribadi mestinya menjadi bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM), upaya menyediakan energi ramah lingkungan bagi transportasi, pembangkit listrik, rumah tangga, dan industri, serta upaya mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta dan di berbagai kota besar di Indonesia. Tapi, yang terjadi, para penyelenggara negara masih juga mengambil kebijakan parsial. Kebijakan yang diambil sekadar untuk mengurangi  beban subsidi.   
Mulai Januari 2011, kendaraan pribadi tidak boleh menggunakan premium, salah satu jenis BBM yang masih disubsidi pemerintah. Pada tahun-tahun  berikut, penarikan subsidi premium untuk kendaraan  pribadi akan diberlakukan juga di wilayah lain secara bertahap. Para pemilik kendaraan pribadi harus beralih ke pertamax, jenis BBM yang tidak disubsidi. Akan jauh lebih stategis  bagi masa depan bangsa jika para penyelanggara negara mengambil kebijakan lebih komprehensif.  Kebijakan energi  tidak saja untuk mengurangi
subsidi premium, tapi sekaligus memanfaatkan sumber energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan. Indonesia memiliki energi  batubara, tenaga air, gas, dan bahan bakar nabati (BBN) atau energi terbarukan.
Tiga jenis energi yang terakhir adalah energi ramah lingkungan.   Cadangan gas  Indonesia terbukti  saat ini  sebesar 112,4 TSCF, sedangkan minyak bumi tinggal 3,7 miliar barel. Selama ini, gas lebih banyak diekspor daripada untuk konsumsi dalam negeri. Singapura berkelimpahan energi listrik dengan gas asal Indonesia. Negeri itu mampu mendorong industrinya dan menciptakan lingkungan bersih. Saatnya gas dimanfaatkan lebih besar untuk kepentingan dalam negeri. Tidak masalah jika  harga jual sama dengan ekspor karena harga bahan bakar gas (BBG) akan tetap lebih murah dari harga BBM. Dari berbagai perhitungan, harga gas masih lebih murah dibanding BBM. Dengan menggeser konsumsi BBM ke BBG, dana yang dihemat lebih besar. Seluruh kebutuhan energi dalam negeri  bisa dipenuhi oleh BBG. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 457 juta barel, Indonesia mengimpor 93 juta minyak mentah dan 153 juta barel BBM.
Semakin besar konsumsi BBM, semakin besar impor yang artinya semakin tinggi pula harga BBM. Jika subsidi BBM tahun 2010 yang mencapai Rp 74,7 triliun dialihkan BBG, pemerintah bisa menghemat sekitar Rp 37 triliun. Dana yang dihemat dapat digunakan untuk membangun jalan raya, subway, rel kereta api, pelabuhan, membeli bus umum, dan mendorong industri otomotif dalam negeri untuk  memproduksi kendaraan umum. Pemakian BBG akan membuat lingkungan lebih bersih. Program "langit biru" tidak sekadar slogan kosong, tapi benar-benar diimplementasi. 
Dengan visi yang jauh ke depan, kita berharap, pemerintah tidak menunda pengembangan BBN. Program BBN jangan hanya digaungkan hanya saat harga minyak mentah melambung di atas US$ 100 per barel. Pada tahun 2005, ketika harga BBM harus dua kali dinaikkan akibat lonjakan harga minyak mentah, program BBN riuh rendah dikumandangkan. Namun,  dua tahun tahun kemudian, program BBM tidak lagi kedengaran. Dampak positif akan sangat besar bila program penghematan subsidi BBM langsung dikaitkan dengan program penggunaan BBG dan pengembangan BBN.
Saat ini, harga jual BBN masih belum mampu menyaingi harga BBM apalagi harga BBG. Namun, untuk energi masa depan, karena sifatnya yang bisa diperbarukan, pengembangan BBN harus dimulai saat ini.  Pohon umur panjang untuk bahan baku BBN harus mulai ditanam saat ini. Program penghijauan perlu dipadukan dengan program penanaman pohon yang menjadi bahan baku BBN. Selain kelapa sawit, bahan baku BBN yang paling produktif dan bisa ditanam di berbagai wilayah Indonesia adalah  aren.
Jika pemerintah serius mendorong penggunaan BBN, sedikitnya 6 juta hektare  lahan bisa dugunakan untuk menanam aren. Alangkah ironisnya, negeri yang berlimpah sumber daya alam seperti Indonesia didera krisis energi, terpaksa mengonsumsi energi yang mahal dan tidak ramah lingkungan. Bila dikelola dengan benar lewat program energi yang  komprehensif, industri nasional akan menikmati energi murah untuk menghasilkan produk kompetitif.
Bila ada kebijakan energi yang komprehensif, Indonesia akan memiliki angkutan umum yang nyaman dan  ramah  lingkungan. Kemacetan lalu lintas dapat teratasi. Oleh karenanya, maka langkah pembatasan subsidi BBM kiranya perlu dikaji kembali dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat dan dapat mengatasi persoalan yang saat ini sedang menghadang bangsa Indonesia.

Opini Analisa Daily 21 Desember 2010