20 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Kemunduran Demokrasi

Kemunduran Demokrasi

Pemilihan gubernur jangan kembali ke belakang. Penolakan terhadap usul pemerintah agar pemilihan gubernur dikembalikan ke DPRD kian terdengar di DPR (Kompas, 13/12).

Setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Kebangkitan Bangsa juga turut menolak usul pemerintah yang ingin mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD. Namun, di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat ini, ada ide untuk mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD.
Hal ini tentunya mengundang protes berbagai kalangan. Niat mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD menandakan inkonsistensi yang tidak teguh pada prinsip dan sistem yang telah ditetapkan. Jika sikap ini dilanjutkan, tidak baik bagi perkembangan demokrasi dan sistem politik kita ke depan. Disadari atau tidak, dikembalikannya pemilihan gubernur kepada DPRD—yang didukung Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD—merupakan bentuk kemunduran dari demokrasi di negeri ini. Saat ini Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India. Apabila kedaulatan rakyat daerah melalui pemilihan gubernur secara langsung dikembalikan kepada DPRD, maka ada satu poin demokrasi yang terkurangi.
Argumen pihak yang pro terhadap pengembalian pemilihan gubernur kepada DPRD, pemilihan langsung mengakibatkan pemborosan biaya politik, timbulnya konflik horizontal di masyarakat, terciptanya peluang bagi pihak-pihak yang tidak kapabel untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, dikembalikannya pemilihan gubernur kepada DPRD tidak akan menyelesaikan masalah, justru nilai demokrasi di daerah menjadi mundur dan luntur.
Pertama, apabila mahalnya biaya pemilu dan timbulnya motif untuk melakukan korupsi menjadi argumen dasar, apakah dengan dipilihnya gubernur oleh DPRD mampu menghemat biaya pemilu? Penulis berpikir sebaliknya, dengan pemilihan gubernur diserahkan kepada DPRD, peluang permainan politik uang dan transaksi politik tetap terbuka lebar. Hal ini dibuktikan ketika rezim Orde Baru berkuasa, politik uang berlangsung di tataran DPRD.
Untuk menghemat biaya politik pemilihan langsung dapat dilakukan melalui pemilihan secara serentak, baik pemilihan presiden maupun gubernur, wali kota, dan bupati. Selain itu, dengan memangkas jumlah kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dari tujuh menjadi lima orang, menghapus panitia pemungutan suara (PPS), menghapus honor kelompok kerja dan belanja administrasi, pengoptimalan pemilih per tempat pemungutan suara.
Kedua, konflik horizontal di masyarakat saat pertama kali pemilihan kepala daerah dilangsungkan memang terjadi. Namun, kini skala maupun kualitas konflik tersebut kian menurun. Masyarakat kian sadar dan memahami keuntungan maupun kerugian dari berkonflik pasca-pilkada. Secara tak langsung ini menandakan kesadaran politik masyarakat mulai timbul.
Saat ini permasalahan pemilihan kepala daerah secara langsung perlahan mulai terpetakan dan jelas. Demokrasi dan kemapanan politik membutuhkan proses dan tidak bisa instan. AS sebagai negara demokrasi terbesar di dunia saja telah membangun sistem demokrasinya selama 300 tahun. Indonesia sejak reformasi 1998 baru melaksanakan demokrasi selama 12 tahun dan pemilihan kepala daerah baru berlangsung lima tahun.
Komplikasi sistem politik
Ketika pemilihan gubernur dikembalikan lagi kepada DPRD, akan timbul komplikasi sistem politik. Pertama, hilangnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan gubernur. Kedua, kekhawatiran akan berkurangnya perhatian elite daerah terhadap aspirasi masyarakatnya. Ketiga, timbulnya peluang politik dagang sapi, maupun bentuk-bentuk transaksi politik lainnya. Keempat, dikhawatirkan gubernur tak lagi merasa bertanggung jawab penuh kepada rakyatnya karena keterikatan dengan partai-partai di DPRD jauh lebih kuat sehingga semakin enggan untuk turun ke akar rumput untuk melihat rakyatnya. Keenam, dikhawatirkan gubernur hanya akan berasal dari partai pemenang pemilu.
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pilihan rasional yang dijamin pula oleh konstitusi. Kalau ada wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD maka hal itu adalah inkonstitusional dan bakal memasung hak-hak demokrasi rakyat.
Sekali lagi jangan coba-coba pemerintah tiba-tiba mengambil langsung kedaulatan rakyat yang sudah dimiliki rakyat selama ini. Lakukan dengan cara-cara yang telah diatur oleh undang-undang, paling tidak melalui referendum. Artinya, ditanyakan kembali kepada rakyat, setuju atau tidak setuju, kalau rakyat setuju gubernur dipilih oleh DPRD, berarti itulah legitimasi rakyat yang harus dilindungi. Semoga bangsa kita tidak lupa lagi.
Pangi Syarwi Mahasiswa Master Political Science UI dan Peneliti Indonesian Progressive Institute


Opini Kompas 21 Desember 2010