20 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Aburizal Bakrie dan Kontestasi Menuju 2014

Aburizal Bakrie dan Kontestasi Menuju 2014

PEMILIHAN umum (pemilu) 2014 memang masih sekitar empat tahun lagi.
Tetapi, sejumlah tokoh sudah mulai aktif tampil di muka publik menggalang dukungan untuk maju sebagai calon presiden (capres). Salah satu tokoh yang kini mulai aktif melakukan safari politik dan menggalang dukungan adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Meskipun Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar beberapa waktu lalu tidak secara resmi mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai capres, tetapi hampir mustahil bagi kita untuk mengatakan bahwa Ical – sapaan akrab Aburizal Bakrie – tidak akan turut ambil bagian dalam perebutan kursi RI-1 pada pilpres 2014. Ini meng­ingat status dia sebagai ketua umum salah satu partai besar di Indonesia. Dalam kaitan itu menarik untuk mengkaji lebih jauh peluang Ical dalam kontestasi pilpres 2014.

Popularitas
Dengan segala kontroversi yang melekat pada diri Ical, popularitas pemilik  kelompok usaha Bakrie ini memang terasa cukup sulit untuk dikerek de­ngan cepat dalam jangka waktu kurang dari empat tahun. Ical memang memiliki modal politik yang sangat mumpuni berupa kendaraan politik sekelas Partai Golkar.
Namun, patut diingat bahwa di era pemilihan presiden secara langsung seperti saat  ini modal dukungan partai politik saja tidaklah cukup. Dewasa ini tingkat  popularitas seorang kandidat memainkan peran penting dalam menentukan hasil  akhir dari sebuah kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Jika seorang  kandidat memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata publik, maka hampir  dapat dipastikan bahwa ia memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi pula. Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi bukti konkret dari hal itu.
Pada pemilu 2004, Partai Demokrat selaku pendukung utama SBY hanya memperoleh suara sebesar 8.455.225 (7,45 persen) sehingga secara  matematis peluang SBY untuk menduduki kursi kepresidenan pun kecil. Namun,  realitas politik berbicara lain pada pilpres putaran kedua SBY berhasil meraup  suara sebesar 69.266.350 (60,62 persen). Sebelumnya, pada pilpres putaran  pertama SBY juga unggul dengan perolehan suara sebesar 36.070.622 (33,58 persen). Hal serupa kembali terjadi pada pemilu 2009, SBY berhasil tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pilpres hanya dalam satu putaran de­ngan perolehan suara sebesar 73.874.562 (60,80 persen) jauh melampaui perolehan suara Partai  Demokrat sebesar 21.703.137 (20,85 persen).
 Lalu bagaimana dengan tingkat popularitas Ical saat ini? Merujuk pada hasil  survei Indo Barometer bulan Agustus 2010, tingkat popularitas Ketua Umum Partai Golkar ini terbilang masih sangat rendah jika dibandingkan tokoh-tokoh lain. SBY masih berada di posisi teratas dengan tingkat popularitas sebesar 35,1 persen. Disusul secara berturut-turut oleh Megawati Soekarnoputri (13,6 persen), Prabowo Subianto (4,5 persen), dan Aburizal Bakrie (2,7 persen).
Selain soal popularitas, seorang calon presiden mutlak juga harus disukai oleh  para calon pemilih. Mungkin saja sebagian besar masyarakat mengenal nama  Aburizal Bakrie, tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah  pe­ngenalan publik terhadap Ical berada dalam konteks citra positif atau citra  negatif?
Di tingkat ini Ical akan kembali menemukan hambatan serius. Nama Ical sering kali dikaitkan dengan sejumlah kasus besar, seperti kasus Lumpur Lapindo yang tidak  kunjung usai dan skandal tunggakan pajak kelompok usaha Bakrie (PT Kaltim Prima  Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin) sebagaimana terung­kap dalam proses persidangan Gayus Tambunan. Gayus Tambunan mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie merupakan penyumbang besar rekening dirinya senilai Rp 100 miliar.
Selain soal kontroversi pri­badi, publik tentu juga akan menilai track record  Ical tatkala ia menjabat sebagai menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)  jilid I. Reposisi yang dialami Ical ketika itu dari pos menteri koordinator  perekonomian ke pos menteri koordinator kesejahteraan rak­yat tentu akan menjadi catatan tersendiri bagi publik.
Bukan tidak mungkin publik akan melihat hal itu sebagai sebuah kegagalan Ical  dalam menjalankan fungsi koordinasi di bidang perekonomian. Boleh jadi kemudian publik lantas melakukan perbandingan ki­nerja antara Ical selaku  menko perekonomian saat itu dengan kinerja menko perekonomian saat ini Hatta  Rajasa. Dalam masa satu tahun sebagai menko perekonomian pada KIB jilid I Ical belum mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan strategis. Sementara itu, dalam masa satu tahun menjabat sebagai menko perekonomian di jajaran KIB jilid II Hatta Rajasa telah menelurkan sejumlah kebijakan strategis, seperti peng­operasian national single window sebagai bagian dari upaya percepatan program (quick wins).
 
Elektabilitas
Satu pelajaran penting yang patut menjadi catatan bagi para tokoh yang ingin ambil bagian dalam kontestasi pilpres 2014 adalah pentingnya memperhatikan penilaian publik ­terhadap diri mereka. Tingkat popularitas dan ketersukaan ­inilah yang kelak akan mempengaruhi tingkat elektabilitas ­seorang kandidat.
Logikanya, jika seorang ­kandidat pada tingkat popula­ritasnya saja sudah anjlok, tentu sangat sulit pula untuk ­mendongkrak tingkat elektabi­litasnya.
Dukungan politik yang mumpuni dari partai politik tidak lagi menjadi faktor penentu bagi kemenangan seorang kandidat dalam era pemi­lihan secara langsung seperti saat ini.
 Saudagar dan Politik
Berdasarkan hasil rilis data terbaru majalah Forbes, Ical masuk ke dalam 10 besar jajaran orang terkaya di Indonesia pada tahun 2010 de­ngan jumlah total kekayaan sebesar US$ 2,1 miliar. Status sebagai pengusaha sukses itu sesungguhnya dapat dijadi­kan pintu masuk strategis untuk menumbuhkan optimisme dan menggalang dukungan masyarakat di tingkat grass root.
Bentuk nyata dari hal itu, antara lain, dapat diwujudkan dengan memberi berbagai pelatihan kewirausahaan saat melakukan kunjungan politik. Dewasa ini salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tingkat ­pengangguran.
Mengingat kian terbatasnya daya serap tenaga kerja yang dapat ditampung instansi pemerintah, banyak pihak meyakini cara terbaik untuk menurunkan tingkat ­pengangguran adalah dengan menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan.
Untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan diperlukan peran nyata para pengusaha untuk ”menularkan” jiwa wirausaha yang ia miliki kepada masyarakat luas. Karena itu, selaku ketua umum sebuah partai politik besar dan pengu­saha papan atas idealnya Ical dapat memaksimalkan jiwa kewirausahaan yang ia miliki.
Sayangnya, hal itu belum terlihat jelas di mata publik dalam kurun waktu masa satu tahun kepemimpinan Ical di Partai Golkar. Sejatinya, kegagahan status sebagai seorang pengusaha tidak boleh berhenti setelah ia berhasil merebut sebuah jabatan politik, tetapi justru harus fungsional selama masa kepemimpinannya.

Opini Sinar Harapan 21 Desember 2010