20 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Keistimewaan Daerah dalam UUD 45

Keistimewaan Daerah dalam UUD 45

Rumusan awal tentang keistimewaanAntusiasme Luar Biasa daerah bisa ditemukan pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Bunyinya: ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa.”
Terkait polemik saat ini, mungkin baik ditilik daerah-daerah yang manakah itu dan apa atau mana yang dimaksud istimewa? Adakah kedua hal itu menyangkut pengertian daerah- daerah seperti yang kini kita kenal dalam kosakata pemerintahan sekarang, berikut atribut atau predikat yang sering dilekatkan dengan alasan dan tujuan yang acap kali subyektif sifatnya?
Dalam penjelasan angka (Romawi) II pasal tersebut ditulis ”Dalam territoir Negara Indonesia terdapat +/- 250 zelfbesturende Landschappen dan volsgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak hak asal usul daerah tersebut”.
Tiga hal penting
Dalam hal ini ada tiga hal penting. Pertama, yang menjadi subyek sifat ”istimewa” adalah Desa, Negeri (Nagari), Dusun, Marga yang sedari mula memiliki susunan asli sebagai zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen.
Kedua, dalam kosakata semasa pembentukan UUD, ”daerah-daerah” menjadi kata ganti untuk mengacu subyek-subyek Desa, Negeri, Dusun, Marga.
Ketiga, kata-kata ”hak-hak asal usul” tidak ditulis dengan kata penghubung ”dan” (bukan: hak hak dan asal usul) sehingga tidak semestinya dipahami sebagai dua pengertian yang berdiri dengan makna sendiri-sendiri. Elemen ”asal usul”-lah yang utama.
Dalam konteks rumusan asli, hak-hak yang harus dihormati oleh negara berikut semua peraturannya adalah asal usul Desa, Negeri, Dusun dan Marga (yang disebut sebagai daerah) yang karena memiliki susunan asli tadi maka bersifat istimewa.
Dengan demikian, sifat ”istimewa” sesungguhnya memang tidak berkaitan dengan pemahaman dan penggunaan kata istimewa atau keistimewaan seperti yang sekarang banyak digunakan. Isu, istilah ataupun sifat istimewa, tidak didesain untuk dikaitkan dengan soal asal mula daerah kerajaan, ataupun daerah dengan ke-khas-an karena nuansa keagamaan ataupun karakteristik lain seperti ke-khas-an etnik, atau kondisi sosial politik, atau problematikanya.
Bilamana sekarang berkembang isu sekitar keistimewaan, adakah hal ini karena pergeseran dalam elaborasi ataukah memang karena konsepsi baru dalam sistem UUD dan kehidupan bernegara? Bagaimanakah isu tentang istimewa atau keistimewaan itu dirujuk dalam UUD setelah empat kali perubahan?
Perubahan kedua terhadap UUD menghasilkan penambahan Pasal 18B yang terdiri dari 2 ayat. Dalam kaitannya dengan isu istimewa, dalam Ayat (1), tertulis: ”(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Tanpa penjelasan
UUD setelah empat kali perubahan ataupun susunan dalam satu naskah tidak lagi memiliki penjelasan. Maka, Pasal 18B juga tidak ada penjelasannya.
Sulit dihindarkan pemahaman bahwa sifat istimewa dalam Pasal 18B memang dilekatkan pada subyek yang berbeda dari rumusan Pasal 18 sebelum perubahan! Rumusan baru mengacukan sifat istimewa pada ”susunan pemerintahan daerah”, yang bagaimanapun memang dapat berbeda makna atau pemahaman dari acuan dalam rumusan UUD sebelum diubah.
Sebagai upaya penulisan ulang, jelas bukan. Kalau dikatakan elaborasi lanjutan dari rumusan awal, tampaknya juga tidak tepat. Bilamana itu konsepsi baru, lain lagi masalahnya.
Hiruk-pikuk tentang keistimewaan memang tidak dapat diacu ke konsepsi keistimewaan dalam UUD sebelum perubahan, karena isu istimewa dalam UUD sebelum perubahan tidak berkaitan dengan asal usul ”satuan pemerintahan daerah”. Sebagai konsepsi baru, apalagi kalau mengandung sarwa makna, hal itu terbuka untuk diperdebatkan. Jika konsepsinya terbuka bagi perdebatan, apalagi elaborasinya.
Apakah keistimewaan atau kekhususan suatu satuan pemerintahan daerah akan dimaknai dari interpretasi peran dan kontribusinya dalam sejarah kenegaraan, peran dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, ataukah karakteristik dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi atau politik, berikut tolok ukur untuk menilai interpretasi tersebut, dapat saja diperdebatkan. Tentu saja, acuan dan batasan tidak boleh lepas dari cita membangun NKRI yang modern, demokratis, dan berkeadaban.
Bambang Kesowo Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL)

Opini Kompas 21 Desember 2010