20 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Kontroversi Insinerator

Kontroversi Insinerator

Tarik ulur antara Pemerintah Kota Bandung, akademisi, praktisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat, mengenai perlu atau tidaknya pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah (IPS) Gedebage, masih terjadi. Semenjak ide pembangunannya digulirkan setelah kasus longsor IPS Leuwigajah pada 1 Februari 2005, pro dan kontra terus menghiasi media massa lokal. Ketiadaan IPS untuk pengolahan sampah, memaksa Pemerintah Kota Bandung mengolah sampahnya di IPS "darurat dan sementara " Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat.
Apa yang sebenarnya mendasari Pemerintah Kota Bandung untuk mengambil langkah tegas dalam alih teknologi dari teknologi lahan urug saniter di IPS Leuwigajah dan IPS Sarimukti, menjadi teknologi insinerator dengan proses insinerasi atau pembakaran yang akan dibangun di IPS Gedebage? Namun mengapa pula masyarakat begitu menolak teknologi insinerator?
Pemilihan teknologi
Bandung, kota terpadat di Provinsi Jawa Barat, menghasilkan sampah sekitar 1.800 ton setiap harinya. Di Indonesia, teknologi yang diterapkan pada IPS umumnya menggunakan proses pengolahan secara biologis, seperti teknologi lahan urug saniter, pengomposan, dan gas bio. Untuk meningkatkan kinerja proses tersebut, dibutuhkan keandalan proses pemilahan sampah. Misalnya untuk lahan urug saniter, kekurangsempurnaan saluran ventilasi gas dan saluran penyalur air lindi (leacheate) akan berpeluang terjadi ledakan dari dalam timbunan sampah dan pencemaran air tanah. Hal itu tergambarkan dari fenomena longsornya IPS Leuwigajah pada 1 Februari 2005. Jika dilakukan pemilahan, dan hanya sampah anorganik yang masuk ke IPS, musibah itu tidak perlu terjadi.
Di sisi lain, sampah organik yang telah dipisah, dapat diolah menjadi kompos dan biogas. Namun fakta menunjukkan, masih tercampurnya sampah organik dan anorganik di Kota Bandung, yang selalu menjadi penyebab rendahnya kinerja proses pengolahan biologi.
Namun, ada kecenderungan masyarakat untuk menolak teknologi pengolahan sampah, apa pun teknologinya. Itu disebabkan sampah selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang bau dan menjijikkan. Dampak dari proses pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat mereduksi timbulan sampah tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, mungkin baru dapat dicapai dalam 10 tahun-15 tahun mendatang, apalagi dengan keberagaman masyarakat di Indonesia dengan segala tingkatan ekonomi dan pendidikannya.
Pengolahan sampah dengan proses insinerasi diharapkan mampu untuk menyelesaikan masalah luas area dan volume sampah yang besar. Proses biologi terkendala dengan waktu proses yang sangat lama dan hanya mampu menghasilkan sedikit reduksi massa. Sebagai perbandingan, teknologi pengomposan sampah yang merupakan aplikasi dari proses biologi, akan mereduksi massa sampah 50 persen dalam masa enam minggu, sementara teknologi insinerator sebagai aplikasi proses insinerasi akan mereduksi massa sampah 75 persen dalam 30 menit. Efisiensi yang tinggi ini, yang diharapkan sesuai dengan kondisi tata ruang Kota Bandung.
Keengganan masyarakat sekitar Gedebage untuk menolak kehadiran IPS di lingkungan mereka adalah bagian dari liku-liku penerapan IPS, yang hampir selalu terjadi di mana pun di Indonesia. Penolakan IPS Bantargebang, IPS Bojong, dan sebagainya, menjadi contoh umum resistensi masyarakat.
Marilah kita melihat secara objektif, sampah akan selalu dihasilkan dari setiap aktivitas manusia. Upaya untuk menekan laju timbulan sampah dengan pendidikan sejak dini adalah mutlak, yang hasilnya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, mungkin 10-20 tahun lagi. Untuk kondisi di Indonesia, dibutuhkan desentralisasi IPS, yaitu satu IPS kapasitas kecil dengan teknologi insinerator di tiap kecamatan. Penolakan masyarakat akan berkurang, karena setiap kecamatan wajib mengolah sampahnya masing-masing. Secara psikologis, penolakan warga di sekitar Gedebage karena harus menerima dampak sampah dari kawasan lain di Bandung yang diolah di tempat mereka. Jika sampah yang diolah di IPS Gedebage merupakan sampah masyarakat Gedebage, tentu penolakan masyarakat tidak akan sekuat ini. Sistem desentralisasi IPS ini tentunya lebih mahal, tetapi efektifitasnya tinggi dan lebih minim friksi sosial.
Namun, jika Pemerintah Kota Bandung masih bersikukuh mendirikan IPS Gedebage, harus dibuat komunikasi publik yang transparan dan profesional. Pemerintah Kota Bandung harus meyakinkan masyarakat bahwa emisi gas buang dari IPS akan di bawah ambang batas yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tentang baku mutu emisi insinerator. Pemerintah Kota Bandung dan kontraktor juga wajib membuat perjanjian yang mengikat secara legal, bila kinerja IPS tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam perjanjian kualitas emisi gas buang.
Jika kualitas emisi gas buang di atas kadar emisi yang diperbolehkan, kontrak akan dibatalkan berikut kompensasi finansial yang harus dibayarkan kontraktor kepada Pemkot Bandung. Kepada masyarakat yang terkena dampak dari rencana pembangunan IPS, cobalah untuk memberi kepercayaan pada Pemkot Bandung dalam menyelesaikan permasalahan sampah. Perjanjian yang mengikat secara legal antara Pemerintah Kota Bandung dan kontraktor, juga harus menyertakan masyarakat sebagai pihak yang terlibat, untuk dapat memberikan suara jika terjadi kegagalan dalam proses pengolahan di IPS. Kepada lembaga swadaya masyarakat, diharapkan memberikan solusi yang terbukti dapat diaplikasikan secara nyata.
Dengan duduknya semua pihak pada satu meja seperti ini, diharapkan permasalahan ini dapat diselesaikan secara transparan, profesional, dan efektif. Selain itu, penanganan sampah di Kota Bandung dapat segera tertangani dengan cepat, masyarakat tidak mengalami gangguan kesehatan, dan lingkungan yang tetap terjaga dengan baik.***
Penulis, kandidat Ph.D. bidang energi dan lingkungan di National University of Singapore, Singapura, anggota Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI).

Opini Pikiran Rakyat 21 Desember 2010