20 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Akankah Menggemukkan Birokrasi Lagi?

Akankah Menggemukkan Birokrasi Lagi?

Setelah melalui polemik panjang dan menguras energi yang katanya sebagai akibat kesalahpahaman menafsirkan perkataan presiden, akhirnya maksud presiden tentang sistem pemerintahan dan keistimewaan DIY mengerucut pada persoalan gubernur dan wagub dipilih langsung oleh rakyat Yogyakarta sesuai konstitusi.
Inilah yang menjadi poin penting dalam draft RUU tentang Keistimewaan DIY yang diajukan pemerintah kepada DPR.
Kalau maksud pemerintah adalah kepala daerah Yogyakarta harus dipilih seperti daerah lainnya sesuai konstitusi, tampaknya itu pulalah yang diartikan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta ketika Presiden SBY berbicara tentang monarki di Yogyakarta. Artinya, masyarakat Yogyakarta dan para pemerhati lainnya tidak salah dalam menfasirkan perkataan presiden. Kalau begitu, yang sebenarnya terjadi bukan kesalahpahaman, tetapi ketidaksetujuan masyarakat Yogyakarta atas sistem rekruitmen kepala daerah mereka, dari "ditetapkan" sebagai bagian dari keistimewaan seperti selama ini menjadi "dipilih" untuk memenuhi demokrasi prosedural seperti yang diharapkan pemerintah pusat.
Berkaitan dengan RUU yang akan diajukan pemerintah tersebut, dalam wawancara dengan sebuah TV swasta, Mendagri menyatakan bahwa dalam draft RUU tersebut diatur bahwa posisi Sultan dan Paku Alam akan berada di atas gubernur/wagub. Selain itu, juga dijelaskan beberapa hal yang menjadi kewenangan Sultan nantinya, seperti pelantikan bupati, pemimpin upacara peringatan kemerdekaan, seni dan budaya, dan sederet kewenangan lainnya. Juga, jika Sultan nantinya mau, ia bisa mencalonkan diri sebagai gubernur juga. Pendek kata, kewenangan, posisi, hak berpolitik, dan kekuasaan Sultan masih sangat besar dan menentukan lebih dari gubernur.
Berkaitan dengan posisi, kesempatan jabatan gubernur, dan kewenangan Sultan yang diatur dalam draft itu, akan muncul beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan manfaat dari sistem pemilihan langsung yang sekarang begitu keras diupayakan pemerintah. Pertama, kalau kewenangan Sultan akan sedemikian besar, maka apa yang akan dikerjakan gubernur nantinya ? Kedua, kecintaan rakyat Yogyakarta pada sultannya tampak masih sangat kuat. Kalau nantinya sultan mencalonkan diri sebagai gubernur dan disambut hangat oleh rakyatnya, bukankah keadaannya menjadi sama saja dengan yang ada sekarang? Ketiga, apakah pemerintah tidak melihat potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan antara sultan dengan gubernur jika mereka adalah orang yang berbeda, yang berarti struktur pemerintahan akan semakin kompleks dan gemuk saja?
Berdasarkan pada penilaian sebagian kalangan tentang Presiden SBY yang gemar menambah jabatan-jabatan baru dalam pemerintahan, maka pertanyaan ketiga inilah yang perlu untuk dibahas dalam kaitannya dengan manfaat jabatan-jabatan baru tersebut. Bagaimana tidak ? Contoh, meskipun pemberantasan korupsi itu prioritas utama, tetapi akan menjadi kontroversi kalau ada staf khusus bidang bencana yang mengurusi persoalan dugaan korupsi. Atau, pemisahan antara bidang perindustrian dengan perdagangan menjadi dua kementerian. Bukannya sibuk menunjukkan peningkatan kinerja karena kuatnya desakan untuk diadakan reshuffle, sejumlah menteri yang dapat nilai jelek dalam pandangan masyarakat malah sibuk beriklan di televisi. Demokrasi
Meskipun demokrasi prosedural itu merupakan wujud dari kepatuhan kita pada konstitusi, tetapi demokrasi substansial adalah lebih penting lagi untuk diwujudkan. Inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menegakkan demokrasi di Yogyakarta. Dari situasi sosial dan demokrasi yang berkembang di Yogyakarta sekarang ini, terlihat warga Yogyakarta nyaman dengan praktik demokrasi substansial dimana Sultan ditetapkan sekaligus sebagai gubernur mereka. Selama ini juga, Sri Sultan terlihat menunjukkan dirinya sebagai gubernur dibanding sebagai seorang raja atau monarki.
Ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran dalam hal sultan dan gubernur jika mereka orang yang sama atau berbeda. Pertama, kalau ternyata nantinya gubernur dan sultan adalah orang yang sama, bukankah publik akan melihat pemerintah pusat melakukan pekerjaan sia-sia di tengah begitu banyaknya prioritas yang harus dikerjakan? Lalu, kalau mereka adalah orang yang berbeda, maka struktur pemerintahan semakin gemuk dengan risiko terjadi tumpang tindih wewenang semakin besar. Selain itu lagi, pergantian periode akan menimbulkan kebingungan kalau ternyata masyarakat Yogyakarta tidak konsisten menjatuhkan pilihan mereka setiap periode, bahwa sultan dengan gubernur selalu orang yang sama atau selalu orang yang berbeda pada setiap pemilihan. Konsistenitas pilihan inilah yang harus menjadi pembahasan penting dalam pengajuan RUU Keistimewaan DIY.
Maka, sebaiknyalah berhenti berusaha untuk menambah jabatan-jabatan baru, setidaknya khusus untuk Yogyakarta. Sebab, memasukkan dua unit baru (gubernur dan wagub) yang cukup tinggi dalam struktur pemerintahan yang sudah mapan, nyaman, dan demokratis selama ini terlalu berisiko bagi mereka sendiri. Ingatkah kita bahwa demokrasi bukanlah tujuan, hanya cara untuk mencapai tujuan menjadi sebuah masyarakat madani. Situasi sosial masyarakat Yogyakarta yang adem ayem adalah indikasi bahwa mereka telah hidup sebagai masyarakat madani, yang tentunya itu sebagai hasil dari demokrasi mereka. Akan jadi sangat aneh kalau posisinya, sengaja atau tidak, dibalik dimana demokrasi menjadi tujuan dengan menjadikan kemadanian kehidupan masyarakat sebagai cara atau malah taruhannya. Bahasa gamblangnya, masak iya cara dijadikan tujuan ? Jabatan di Bawahnya
Yang kita perdebatkan selama ini tentang sistem pemerintahan Yogyakarta hanya sampai level jabatan gubernur/wagub Yogyakarta saja, apakah dipilih atau ditetapkan. Seolah pemerintahan sebuah daerah bukan sebuah sistem sehingga kita lupa membahas mengenai apa yang akan terjadi pada level jabatan di bawah gubernur/wagub, apakah akan biasa saja seperti selama ini, atau terjadi pengurangan jabatan, atau malah penggemukkan lagi. Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah adanya jabatan-jabatan baru lagi di bawah gubernur/wagub dengan tugas yang belum jelas karena konsolidasi sistem pemerintahan bukan hanya hal yang sulit, juga penuh intrik.
Yang kita sayangkan adalah, seperti selama ini, hanya terjadi penggemukkan saja. Jangan dulu dibahas soal berapa alokasi anggaran untuk jabatan-jabatan baru itu, apa tugas mereka, atau seberapa efektifkah. Bahas dululah soal bagaimana situasi politik lokal jika jabatan-jabatan baru itu lebih menjadi ajang berpolitik dibanding ajang pengabdian kepada masyarakat. Padahal, pertaruhan atas semua ini adalah apa yang sudah dicapai oleh masyarakat Yogyakarta selama ini, yaitu kemadanian masyarakatnya.
Selama ini, terus terang saja, masyarakat belum merasakan manfaat nyata dari semakin banyaknya jabatan-jabatan baru yang dibuat oleh pemerintah pusat. Kalau jabatan baru yang ada di level pemerintah pusat saja belum ter-manage secara produktif oleh Presiden untuk dirasakan secara nyata oleh rakyat, lalu bagaimana dengan jabatan baru yang berada jauh di bawahnya ? Maka, sekali lagi, ingatlah bahwa demokrasi hanyalah cara yang sifatnya relatif bagi setiap daerah. Tujuannyalah yang sama, bahwa demokrasi adalah bertujuan untuk terciptanya masyarakat madani. Keinginan masyarakat Yogyakarta agar gubernur/wagub mereka ditetapkan adalah wujud demokrasi itu sendiri. Dan mereka bukan hanya sekedar berdemokrasi. Lebih dari itu, kehidupan masyarakat Yogyakarta yang ayem, adem, tenteram menunjukkan mereka telah mencapai tujuan dari demokrasi itu sendiri.
Justru, meskipun salah jika menjadikan demokrasi ala Yogyakarta sebagai standar untuk demokrasi seluruh Indonesia, sudah semestinyalah pemerintah pusat memuji sistem demokrasi yang ada di Yogyakarta. Setidaknya, kehidupan yang tenteram itu bisa membuat pemerintah pusat untuk lebih konsentrasi pada persoalan lain yang memang sangat mendesak untuk diselesaikan.
Egaliter
Memang ada aspek-aspek yang perlu diperbaiki dari tradisi dalam pemerintahan Yogyakarta selama ini, terutama aspek-aspek yang bisa membuat orang berpikir ada feodalitas di Yogyakarta. Aspek-aspek itu mungkin sebuah tradisi kecil dalam Keraton, tetapi seringkali itu pula yang tampak di mata masyarakat Indonesia umumnya. Misalnya, jalan ke hadapan Sultan dengan cara berlutut, menangkupkan kedua tapak tangan sambil menunduk untuk menghormati, dan bentuk-bentuk kecil lainnya.
Bahwa masih banyak kerajaan di wilayah NKRI sekarang ini. Tetapi, ini adalah abad komunikasi dimana setiap orang bisa melihat ada Kerajaan Inggris atau Belanda dimana para pembantu rajanya bersikap menghormati rajanya secara seperlunya saja. Di kerajaan-kerajaan lain yang masih ada di Indonesia, bentuk-bentuk tradisi seperti itu mungkin masih ada, tetapi tidak terlihat di layar kaca misalnya.
Yang perlu diketahui adalah kecenderungan bangsa Indonesia pascareformasi adalah bersifat egaliter. Bentuk-bentuk penghormatan seperti berlutut dianggap tidak sesuai lagi untuk Indonesia yang bertekad untuk maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Saya yakin bahwa Sultan Yogyakarta juga punya sifat egaliter itu, tetapi orang selalu ingin melihat apa yang ada di dalam Istana Sultan Yogyakarta. Jangan sampai egaliter substansial Sultan jadi tertutupi oleh bentuk-bentuk kecil seperti itu. Egaliter perlu ditunjukkan setiap saat, luar dan dalam Istana, kepada siapa saja, dan dalam situasi apa saja. Tujuannya, agar hal-hal kecil seperti itu tidak dianggap sebagai feodalisme di zaman modern apalagi dianggap ada monarki di Yogyakarta

Opini Analisa Daily 21 Desember 2010