20 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Mengefisienkan Penggunaan BBM

Mengefisienkan Penggunaan BBM

Tidak akan lama lagi, kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi akan segera diterapkan. Selama ini, karena tidak adanya pembatasan BBM bersubsidi maka beban subsidi BBM yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terlalu besar.
Salah satu penyebab utamanya, tentu saja karena jumlah kendaraan terus meningkat dari waktu ke waktu.  Berdasarkan data yang ada, penjualan mobil pada tahun 2009 menembus angka 700-an ribu unit. Sedangkan menjelang akhir tahun 2010 ini, penjualan sudah hampir menembus angka 800-an ribu unit. Sebuah angka pertambahan yang cukup fantastis. 
Rencana pembatasan BBM bersubsidi itu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebijakan tersebut merupakan rencana lama yang sudah diwacanakan sejak 2008 silam, saat harga minyak dunia membubung tinggi. Pada 2010, dari berbagai wacana yang muncul sejak April, pemerintah memfokuskan pelarangan BBM bersubsidi untuk mobil.  Seperti diketahui, pemerintah telah menyiapkan dua opsi pembatasan BBM bersubsidi. Pilihan pertama, semua kendaraan roda empat pelat hitam tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. 
Itu berarti, hanya angkutan umum, kendaraan roda dua dan tiga, serta nelayan yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Sedangkan opsi kedua adalah kendaraan roda empat pelat hitam keluaran tahun 2005 ke atas tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi.  Pembatasan subsidi untuk kalangan menengah ke atas memang sudah mendesak dilakukan. Hanya saja yang tidak boleh dilupakan adalah implementasi di lapangan, agar tidak muncul masalah baru.  Dari sisi teknis pelaksanaan, untuk batasan tahun kendaraan, kalau harus mengecek Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) satu per satu di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) maka akan muncul antrean panjang yang malah akan menimbulkan masalah baru. 
Langkah mengefisienkan penggunaan BBM sebenarnya tidak hanya ditujukan terhadap masyarakat. Pengelola Pertamina yang selama ini telah dipercaya mengurusi masalah bahan bakar minyak di negeri ini juga harus mampu menunjukkan bahwa pengelolaannya benar-benar bersih dari berbagai persoalan. Selama ini, masalah mafia minyak selalu saja mewarnai perjalanan pengelolaan Pertamina.
Sejak tampuk pimpinan Pertamina diduduki Karen Agustiawan sejak Februari 2009, beragam persoalan dalam Pertamina masih saja berjalan mulus. Lalu, apakah kekusutan Pertamina yang dirasakan Widya Purnama, pendahulunya masih juga dialami Karen, sepertinya nuansa itu masih terasa. Tapi yang pasti, selalu ada pertanyaan publik yang diulang-ulang hingga detik ini: mampukah Pertamina menandingi Petronas? Sejak awal Karen Agustiawan dilantik, pertanyaan ini bertubi-tubi diajukan.
Karen dan direksi Pertamina lainnya pun jengkel apabila Pertamina selalu dibanding-bandingkan dengan BUMN migas Malaysia tersebut. Mereka selalu berdalih, perlakuan dan fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap Petronas dan Pertamina sangat berbeda. Pernyataan Karen ada benarnya. Meski berstatus persero, Pertamina selama ini ibarat dilepas kepalanya, tapi dipegang ekornya.
Pertamina seperti dipasung dan tidak diperlakukan sebagai korporasi murni. Kewajibannya menyediakan BBM bersubsidi hingga pelosok dan daerah terpencil cukup menguras konsentrasi dan sumber daya Pertamina. Tugas public service obligation (PSO) yang diemban selama ini mengurangi kelincahannya sebagai entitas bisnis. Bila larangan penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil pribadi jadi berlaku mulai Januari 2011, Pertamina bakal bertarung dengan raksasa migas internasional yang kini siap merebut empuknya bisnis hilir minyak.
Sementara perusahaan migas asing seperti Shell dan Petronas yang memiliki SPBU di kota-kota besar tidak memiliki kewajiban PSO. Di lain sisi, upaya Pertamina untuk melebarkan sayap bisnis justru diganjal. Sungguh ironis. Ketika Pertamina hendak membeli saham PT Medco Energy International Tbk yang dimiliki Encore International Ltd (EIL), Komisi VII DPR RI meributkannya. Dengan berbagai alasan, mereka menolak akuisisi itu, karena dinilai tidak memberikan nilai tambah bagi industri migas nasional.
Padahal, rencana Pertamina membeli Medco bukan keputusan dadakan, melainkan sudah dievaluasi selama tiga tahun. Celakanya, begitu Pertamina batal, justru Medco kini dilirik perusahaan migas asal Dubai. DPR dan pemerintah seyogianya justru memberikan dukungan penuh kepada Pertamina. Apalagi bila aksi korporasi yang dilakukan merupakan bagian dari strategi untuk menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). Padahal, Medco memiliki jaringan internasional, dan produksi minyak Pertamina bisa bertambah 53 ribu barel per hari jika mengakuisisi perusahaan milik keluarga Arifin Panigoro itu.
Saat ini Pertamina tengah mengincar 30-an aset perusahaan migas, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bila langkah ini positif untuk Pertamina, tak ada alasan bagi pemerintah dan DPR untuk menghalang-halangi. Jika DPR dan pemerintah memang ingin melihat Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia, mestinya mereka justru ikut menghilangkan berbagai tekanan dan belenggu yang selama ini membonsai Pertamina. DPR dan pemerintah harus serius turut membasmi para mafia impor minyak atau pemburu rente yang merugikan Pertamina dan negara. Mereka juga harus menghilangkan intervensi yang selama ini menjadi keluhan manajemen Pertamina. Namun, pada saat bersamaan, Pertamina pun perlu berbenah diri.
Pembersihan internal, konsolidasi, dan efisiensi harus terus dilakukan. Penyelundupan BBM yang masih marak dan melibatkan oknum Pertamina harus diminimalisasi. Kita optimistis Pertamina dapat menjadi perusahaan berskala internasional yang disegani, sejajar dengan raksasa-raksasa migas dunia. Hal ini bisa terwujud bila mendapat dukungan DPR, political will pemerintah, dan sokongan para stakeholder
Setelah itu, yang tidak kalah pentingnya adalah antisipasi sedini mungkin potensi penyimpangan yang mungkin timbul setelah kebijakan pembatasan BBM menjadi tanggungjawab Pertamina. Kita tentu berharap agar kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak memicu terjadinya masalah baru seperti penggelapan penjualan premium.  Sama halnya ketika pemerintah memberi subsidi kepada pengguna elpiji 3 Kg dan melepas subsidi bagi pemakai elpiji tabung 12 Kg beberapa waktu lalu. 
Terlepas dari rencana pembatasan BBM bersubsidi tersebut, tanpa adanya aturan atau kebijakan pemerintah, serta perubahan menyeluruh dalam tubuh Pertamina, maka persoalan BBM akan selalu menjadi beban bagi bangsa ini. ***

Opini Analisa daily 21 Desember 2010