20 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Ancaman Netralitas Penyelenggara Pemilu

Ancaman Netralitas Penyelenggara Pemilu

Nampaknya tidak ada kata menyerah bagi para wakil rakyat di Senayan dalam menelusuri berbagai celah politik guna melanggengkan kekuasaan.
Bukan hanya hasrat dan keinginan untuk mengeruk keuangan Negara yang menggejala, namun lebih parah dari itu. Membesarkan sayap kekuasaan dengan mengutak-atik berbagai aturan hukum yang ada juga turut dilakukan para anggota DPR. Bahkan upaya itu terus saja dilakukan kendati sudah ditemukan mekanisme yang jelas dan ekplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Gejala itu paling mencuat saat ini terkait dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Perdebatan berkepanjangan mulai mewarnai seluruh tahapan pembahasan RUU dimaksud. Perdebatan yang paling menonjol justru terjadi pada saat pembahasan yang tidak memiliki kontribusi langsung dalam membentuk suatu produk hukum yang berkualitas.
Pasalnya, perdebatan itu hanya terjadi pada masalah independensi Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu. Padahal terkait dengan masalah independensi KPU sudah jelas diamanahkan UUD 1945 bahwa pemilu diselenggarakan oleh sebuah lembaga independent. Dengan demikian, maka seharusnya para wakil rakyat tidak perlu memperdebatkan persoalan independensi KPU karena sudah digariskan dalam konstitusi.
Namun anehnya, justru mayoritas wakil rakyat di Senayan berusaha menggarap mekanisme pemilihan anggota KPU agar bisa dimasuki oleh orang-orang yang berlatarbelakang parpol. Hal ini jelas menjadi ancaman serius terhadap independensi KPU dimasa yang akan datang. Netralitas KPU akan benar-benar punah manakala personilnya justru diisi oleh kalangan parpol yang sudah pasti resisten dengan berbagai kepentingan politik.
Dengan kondisi ini, justru kualitas demokrasi kita akan kehilangan makna dasarnya. Kendati berbagai peralihan jabatan di pemerintahan akan diselenggarakan melalui mekanisme pemilu, namun bila penyelenggaranya justru dipenuhi oleh orang-orang yang merupakan bagian dari parpol, maka hasilnya sudah dapat diprediksi bakal sarat dengan muatan-muatan politis dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Inilah salah satu strategi parpol dalam melanggengkan kekuasaannya. Membangun gebrakan politik tanpa mengindahkan mekanisme hukum yang ada.
Sampai saat ini, hanya fraksi Partai Demokrat tetap konsisten dengan pendiriannya bahwa KPU harus steril dari anggota partai politik. Partai Demokrat berpendapat KPU yang mandiri adalah mandat konstitusi. Sementara sejumlah fraksi lainnya membolehkan anggota parpol masuk anggota KPU, asal keluar dari partai politik. Referensi elite partai politik, baik yang mendukung maupun yang menolak masuknya orang parpol ke KPU itu, sama, yaitu Pemilu 1999. Menurut parpol yang menginginkan anggotanya masuk KPU, Pemilu 1999 nyaris tidak ada persoalan di level teknis.
Dalam pandangan mereka, persoalan teknis pemilu justru muncul saat KPU diisi dengan orang-orang independen. Pada Pemilu 2004, beberapa anggota KPU didera kasus korupsi dalam penyelenggaraan pengadaan logistik pemilu. Bahkan beberapa orang di antaranya telah mendekam di penjara setelah diputuskan bersalah, seperti Nazruddin Syamsuddin dan Mulyana W Kusumah. Pemilu 2009 kembali didera masalah, yakni soal daftar pemilih tetap (DPT) dan soal lambatnya distribusi logistik ke beberapa daerah. Peristiwa Sejarah
Alasan-alasan itulah yang membuat beberapa partai politik menawarkan wacana bahwa komposisi KPU ke depan diisi orang-orang partisan partai politik. Kita sebaiknya tidak melupakan peristiwa sejarah yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 1999. Pada waktu itu, 27 anggota KPU yang berasal dari partai politik menolak menandatangani berita acara dan sertifikasi tabulasi hasil penghitungan suara secara nasional yang telah diserahkan PPI ke KPU.
Penyebabnya, beberapa petinggi partai politik menginstruksikan anggotanya yang berada di KPU untuk melakukan penolakan terhadap hasil Pemilu 1999. Simbolisasinya adalah dengan tidak menandatangani berita acara hasil Pemilu 1999. Untuk mengatasi kebuntuan politik saat itu, Presiden BJ Habibie terpaksa mengeluarkan Keppres Nomor 92 Tahun 1999 untuk menetapkan hasil Pemilu 1999 meski ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa yang menetapkan hasil pemilu itu adalah KPU.
Atas dasar pengalaman itu, selayaknya pemerintah dan DPR mencari formulasi yang tepat agar penyelenggara pemilu steril dari kepentingan peserta pemilu. Anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu harus benar-benar menjalankan fungsinya, laiknya wasit dalam sebuah pertandingan. Muara dari pemikiran itu adalah terbentuknya konfi gurasi anggota KPU Pemilu 2004, yang berasal dari nonpartisan, sebagaimana termuat dalam Pasal 18 Huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003. Ketentuan itu bahkan kembali diakomodasi dan disempurnakan dalam Pemilu 2009 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang saat ini sedang digodok di DPR untuk direvisi menjelang Pemilu 2014.
Kiranya seluruh elemen bangsa ini patut mengingatkan DPR bahwa pemilu merupakan instrumen demokrasi yang sangat penting. Melalui pemilu, kedaulatan rakyat disalurkan sekali dalam lima tahun. Melalui pemilu pula, maka harapan akan terbentuknya pemerintahan yang seiring dengan ide dan kehendak rakyat akan dapat diwujudkan.
Namun bila ternyata pemilu itu sendiri justru dijalankan oleh orang-orang yang juga akan berperan sebagai pemain utama dalam pemilihan, lalu bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan hasil yang benar-benar steril dari berbagai kepentingan politik. Kendatipun bagi anggota parpol yang hendak duduk di KPU disyaratkan harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari jabatan parpolnya, namun teramat sulit bagi kita untuk menerima mereka sebagai sosok yang bersih dari jangkauan parpol.
Bibit-bibit kepentingan politik kemungkinan besar masih akan melekat bagi mereka yang berasal dari parpol yang hendak berusaha mencari peran sebagai wasit pemilu. Hal ini tidak layak untuk dibiarkan dalam menjaga keutuhan pelaksanaan demokrasi demi masa depan demokrasi itu sendiri serta masa depan bangsa Indonesia yang sudah lama mengagung-agungkan demokrasi. ***

Opini Analisa Daily 21 Desember 2010