20 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Tragedi Bencana Korupsi

Tragedi Bencana Korupsi

Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas) dan Open Mind Community Semarang
Kita tidak bisa memungkiri, bencana paling tragis dan ngeri saat ini adalah korupsi. Efek yang ditimbulkan korupsi sangat laten dan masif, merugikan orang jamak dalam skala luas. Korupsi adalah bencana kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan terstruktur, tidak seperti bencana alam yang relatif cepat berlalu. Akibat yang ditimbulkannya sangat sulit diantisipasi, dan kerusakan yang diakibatkannya tidak mudah dibangun kembali.
Korupsi tidak hanya merusak tatanan politik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Kultur korupsi membuat manusia kehilangan jiwa. Nilai-nilai kemanusiaan dirusak oleh hasrat kebinatangan (animal desire) manusia sendiri.
Bencana kemanusiaan korupsi bermula oleh goncangan-goncangan kecil, yaitu godaan diri untuk melakukan gasab—mempergunakan milik atau hak orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri. Ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dengan cara tidak benar, tanpa disadari sebenarnya ia telah kehilangan sesuatu di dalam dirinya, yaitu kehilangan jiwa manusianya.
Korupsi adalah laku individu membangun dunia material-profan, dengan cara meruntuhkan transendesi (nilai) yang ada di dalam dirinya. Individu yang korup telah menentang kebajikan-kebajikan di dalam diri yang telah menjadi fitrahnya sebagai manusia.
Goncangan demi goncangan yang terus-menerus itu berakumulasi menjadi gempa besar. Gempa yang membuat diri manusia terbelah, membuat jiwanya terpisah dari tubuhnya, dan celakanya manusia lebih memuja hasrat tubuh yang wadag. Pada akhirnya, jiwa-jiwa yang terbelah itu akan kehilangan identitas kemanusiaannya.
Kejatuhan nilai-nilai kemanusiaan serta-merta menggiring manusia kembali kepada keadaban binatang, di mana keinginan dan kebutuhannya lebih ditentukan oleh syahwat atau hasrat libidinal. Barangkali, laku manusia tidak lagi merepresentasikannya sebagai homo sapiens (makhluk berpikir). Justru setiap laku manusia dikendalikan oleh naluri kebinatangannya—bukan pikirannya—yang cenderung rakus.
Dislokasi Sosial
Situasi macam ini sangat memungkinkan berlakunya tesis Thomas Hobbes (1588-1679), homo homini lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Manusia telah tercerabut dari kesadaran homo socious (makhluk sosial) yang dengan pura-pura menafikan bahwa segala tindakannya sebenarnya berimplikasi bagi orang lain.
Hukum rimba dengan kredo survival of the fittest nyaris menjadi hukum mutlak ketika kekuatan individu (kekuasaan, uang, atau kesempatan) digunakan untuk mempertahankan kehidupan dirinya sendiri. Kekuatan individu yang mengatasi kekuatan orang lain tidak difungsikan untuk melengkapi kekuarangan orang lain, tetapi justru dimanfaatkan sebagai alat untuk menindas yang lemah.
Pelaku korupsi sesungguhnya telah melepaskan diri dari ikatan sosial. Ia memilih lepas dari kepentingan bersama dan memilih bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, mengamankan diri sendiri, dan mengabaikan hak-hak dan kepentingan orang lain.
Padahal, eksistensi manusia ditentukan oleh tanggung jawabnya kepada sesamanya. Emmanuel Levinas (1895-1956), filsuf posmodernis asal Prancis, menyatakan kredonya yang berbunyi respondeo ergo sum: aku bertanggung jawab (atas diri sendiri dan orang lain) maka aku ada. Pandangan itu merupakan antitesis dari filsafat modernisme Barat yang menempatkan manusia sebagai totalitas yang mutlak. Levinas memandang manusia tidak memiliki eksistensi subjektif yang mutlak, melainkan individu bereksistensi karena ia memikul tanggung jawab untuk dirinya sekaligus orang lain di sekitarnya. Individu bereksistensi karena ia bermanfaat bagi kelangsungan komunitas, sebab setiap individu memiliki peran-peran yang tak tergantikan di dalam masyarakat. Lain kata, "aku" ada karena "liyan" (orang lain) ada.
Kehadiran "liyan" adalah cermin dari kehadiran "aku" seseorang. Kehadiran individu di tengah masyarakat menuntut respons dan tanggung jawab dari orang lain, dan tidak sewenang-wenang.
Dipandang dari perspektif tanggung jawab sosial itu, seorang koruptor sejatinya telah mengalami dislokasi (ketercerabutan) sosial. Koruptor terpisah oleh kerumunan yang riil, terjerumus ke dalam dunia imajiner yang dibayangkannya sendiri: kemakmuran tak terbatas (yang sebenarnya nirmakna). Setiap dislokasi sosial itu akan selalu berbuah tragedi. Kini tragedi korupsi itu bernama pemiskinan ekonomi, kebobrokan politik, pendangkalan diri, keretakan ikatan sosial, dan penghancuran nilai-nilai manusia yang universal.

Opini Lampung Pos 21 Desember 2010