Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Sosial (Lekas) dan Open Mind Community Semarang
Kita tidak bisa memungkiri, bencana paling tragis dan ngeri saat ini  adalah korupsi. Efek yang ditimbulkan korupsi sangat laten dan masif,  merugikan orang jamak dalam skala luas. Korupsi adalah bencana  kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan terstruktur, tidak  seperti bencana alam yang relatif cepat berlalu. Akibat yang  ditimbulkannya sangat sulit diantisipasi, dan kerusakan yang  diakibatkannya tidak mudah dibangun kembali.
Korupsi tidak hanya merusak tatanan politik, sosial, dan ekonomi,  tetapi juga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Kultur  korupsi membuat manusia kehilangan jiwa. Nilai-nilai kemanusiaan dirusak  oleh hasrat kebinatangan (animal desire) manusia sendiri.
Bencana kemanusiaan korupsi bermula oleh goncangan-goncangan kecil,  yaitu godaan diri untuk melakukan gasab—mempergunakan milik atau hak  orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri. Ketika seseorang  mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dengan cara tidak benar, tanpa  disadari sebenarnya ia telah kehilangan sesuatu di dalam dirinya, yaitu  kehilangan jiwa manusianya.
Korupsi adalah laku individu membangun dunia material-profan, dengan  cara meruntuhkan transendesi (nilai) yang ada di dalam dirinya. Individu  yang korup telah menentang kebajikan-kebajikan di dalam diri yang telah  menjadi fitrahnya sebagai manusia.
Goncangan demi goncangan yang terus-menerus itu berakumulasi menjadi  gempa besar. Gempa yang membuat diri manusia terbelah, membuat jiwanya  terpisah dari tubuhnya, dan celakanya manusia lebih memuja hasrat tubuh  yang wadag. Pada akhirnya, jiwa-jiwa yang terbelah itu akan kehilangan  identitas kemanusiaannya.
Kejatuhan nilai-nilai kemanusiaan serta-merta menggiring manusia  kembali kepada keadaban binatang, di mana keinginan dan kebutuhannya  lebih ditentukan oleh syahwat atau hasrat libidinal. Barangkali, laku  manusia tidak lagi merepresentasikannya sebagai homo sapiens (makhluk  berpikir). Justru setiap laku manusia dikendalikan oleh naluri  kebinatangannya—bukan pikirannya—yang cenderung rakus.
Dislokasi Sosial
Situasi macam ini sangat memungkinkan berlakunya tesis Thomas Hobbes  (1588-1679), homo homini lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi  manusia lainnya. Manusia telah tercerabut dari kesadaran homo socious  (makhluk sosial) yang dengan pura-pura menafikan bahwa segala  tindakannya sebenarnya berimplikasi bagi orang lain.
Hukum rimba dengan kredo survival of the fittest nyaris menjadi hukum  mutlak ketika kekuatan individu (kekuasaan, uang, atau kesempatan)  digunakan untuk mempertahankan kehidupan dirinya sendiri. Kekuatan  individu yang mengatasi kekuatan orang lain tidak difungsikan untuk  melengkapi kekuarangan orang lain, tetapi justru dimanfaatkan sebagai  alat untuk menindas yang lemah.
Pelaku korupsi sesungguhnya telah melepaskan diri dari ikatan sosial.  Ia memilih lepas dari kepentingan bersama dan memilih bertanggung jawab  kepada dirinya sendiri, mengamankan diri sendiri, dan mengabaikan  hak-hak dan kepentingan orang lain.
Padahal, eksistensi manusia ditentukan oleh tanggung jawabnya kepada  sesamanya. Emmanuel Levinas (1895-1956), filsuf posmodernis asal  Prancis, menyatakan kredonya yang berbunyi respondeo ergo sum: aku  bertanggung jawab (atas diri sendiri dan orang lain) maka aku ada.  Pandangan itu merupakan antitesis dari filsafat modernisme Barat yang  menempatkan manusia sebagai totalitas yang mutlak. Levinas memandang  manusia tidak memiliki eksistensi subjektif yang mutlak, melainkan  individu bereksistensi karena ia memikul tanggung jawab untuk dirinya  sekaligus orang lain di sekitarnya. Individu bereksistensi karena ia  bermanfaat bagi kelangsungan komunitas, sebab setiap individu memiliki  peran-peran yang tak tergantikan di dalam masyarakat. Lain kata, "aku"  ada karena "liyan" (orang lain) ada.
Kehadiran "liyan" adalah cermin dari kehadiran "aku" seseorang.  Kehadiran individu di tengah masyarakat menuntut respons dan tanggung  jawab dari orang lain, dan tidak sewenang-wenang.
Dipandang dari perspektif tanggung jawab sosial itu, seorang koruptor  sejatinya telah mengalami dislokasi (ketercerabutan) sosial. Koruptor  terpisah oleh kerumunan yang riil, terjerumus ke dalam dunia imajiner  yang dibayangkannya sendiri: kemakmuran tak terbatas (yang sebenarnya  nirmakna). Setiap dislokasi sosial itu akan selalu berbuah tragedi. Kini  tragedi korupsi itu bernama pemiskinan ekonomi, kebobrokan politik,  pendangkalan diri, keretakan ikatan sosial, dan penghancuran nilai-nilai  manusia yang universal.
Opini Lampung Pos 21 Desember 2010
20 Desember 2010
Tragedi Bencana Korupsi
Thank You!