20 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Ada Apa di Balik Merger Flexi-Esia?

Ada Apa di Balik Merger Flexi-Esia?

Rencana merger dua operator telekomunikasi berbasis Code Devision Multiple Access (CDMA) yakni Flexi milik PT Telkom dengan Esia milik Grup Bakrie semakin santer.
Meski belum mencapai titik temu, reaksi penolakan atas rencana merger itu kian kencang.
Penolakan paling keras disuarakan oleh Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom dengan menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara. Intinya, tidak ada satu pun karyawan PT Telkom yang setuju merger Flexi-Esia. Alasannya, dari berbagai sisi Flexi masih lebih unggul dibanding Esia. Dari sisi aset misalnya, aset Flexi diperkirakan mencapai Rp 9 triliun, sementara aset Esia disebut-sebut Rp 8 triliun.  Kemudian dari sisi jaringan, layanan dan fasilitas lainnya tetap dinilai tidak setara. Lebih dari itu, karyawan Telkom berpendapat bahwa merger itu merupakan pintu hilangnya aset negara. Karena setelah merger nantinya akan dijual kepada pihak asing.
Ketua Umum DPP Sekar Telkom, Wisnu Adhi Wuryanto me­ngatakan, merger tersebut harus dibatalkan. Menurut penilaian Sekar Telkom merger itu lebih banyak keburukannya daripada manfaatnya. “Hal itu ditinjau dari sisi finansial, aspek sosial, manajemen risiko dan aspek eksistensi SDM. Flexi adalah aset negara yang sangat produktif dan strategis karena sudah eksis hingga pelosok Papua dan digunakan oleh semua kalangan masyarakat. Pengoperasiannya pun didukung sumber daya terbatas yakni kanal frekuensi yang dimiliki negara. Jadi, tidak sepantasnya dimerger dengan swasta.
Apa yang disuarakan oleh Sekar Telkom tersebut mendapat tanggapan positif dari Kementerian BUMN. Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar secara tegas meminta manajemen PT Telkom untuk mengkaji rencana merger Flexi-Esia. Manajemen PT Telkom tidak memaksakan merger apabila kondisi tidak mendukungnya. “Semua harus dikomunikasikan dengan baik kepada pihak-pihak terkait, termasuk kepada karyawan. Kami yakin direksi bisa mengambil keputusan yang tepat sesuai harapan publik, termasuk karyawan,” kata Mustafa.
Kita sangat menggarisbawahi pernyataan Menneg BUMN tersebut. Apa yang disampaikan Mustafa Abubakar tersebut sesuai dengan koridor dan harus mendapat perhatian dari pihak terkait, terutama direksi atau manajemen PT Telkom. Memang sewajarnya ada suatu kajian mendalam soal merger ini dan tidak boleh dilakukan terburu-buru.
Belajar dari sejumlah kasus sebelumnya, di mana aset beberapa BUMN kita akhirnya dikuasai oleh pihak asing. Kita harus berhati-hati dan jangan terlena dengan janji-janji merger yang seolah-olah membawa kemajuan luar biasa bagi pemasukan negara.
Sebelum mengambil suatu keputusan final, tentu harus ada penjelasan secara komprehensif mengenai latar belakang kebijakan merger itu. Kenapa Flexi harus dimerger dengan Esia? Bukankah PT Telkom sudah begitu kuat? Toh selama ini kedua operator ini sangat gencar dalam berpromosi.
Benarkah rencana merger itu sebagai upaya meningkatkan daya saing dan pelayanan atau karena faktor lain. Sebab, kita mendengar suara-suara miring beredar di luaran bahwa keputusan merger itu adalah “pemaksaan” yang dilakukan pihak tertentu sebagai kompensasi atas balas jasa dalam pemilu lalu.
Kita berharap direksi PT Telkom dan para komisaris yang baru saja dilantik pekan lalu bisa memberikan penjelasan yang gamblang serta rasional kepada karyawan, pemangku kepentingan, masyarakat dan lainnya, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan dampak negatif lainnya. Unjuk rasa Sekar PT Telkom beberapa hari lalu merupakan “sinyal kuat” bahwa ada ketidakberesan dalam hal merger tersebut.

Opini Sinar Harapan 21 Desember 2010