20 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Menuju Kota Renaisans

Menuju Kota Renaisans

Dalam upaya menuju kota renaisans, perencanaan dan pembangunan kota tidak boleh lagi terlalu terfokus pada aspek prosedural tetapi harus lebih menukik pada aspek substansial

GEBRAKAN Wali Kota Semarang Soemarmo dengan slogan ‘’Saatnya Semarang Setara’’ dan pencanangan kota Solo sebagai ‘’Eco Cultural City’’ layak disimak. Terlihat ada tekad melakukan terobosan baru dalam pembangunan kota. Tidak sekadar mengikuti kecenderungan dengan prinsip business-as-usual tetapi ingin menciptakan kecenderungan dengan prinsip business-unusual.
Kenyataan menunjukkan bahwa kota-kota yang masuk kategori metropolis, dan bahkan megapolis seperti New York, London, Jakarta, tidak lagi bisa menjadi percontohan.

Kemacetan, kekumuhan, kriminalitas, kesenjangan, makin lama tampak makin mengerikan. Tak heran bila metropolis masa kini dilecehkan menjadi miseropolis alias kota yang menyengsarakan warganya. Dalam buku terbarunya yang mencerahkan Ren-Gen: Renaissance Generation (2007), Patricia Martin menyuguhkan gagasan menciptakan kota renaisans.

Renaisans adalah suatu gerakan atau periode yang sarat dengan aktivitas kreatif dan inovatif, sering diasosiasikan dengan kelahiran kembali peradaban manusia. Sudah saatnya kota-kota di luar New York, London, dan Jakarta, mempersiapkan diri dengan terobosan baru menuju kota renaisans.

Salah satu prasyarat menuju terciptanya kota renaisans adalah keberadaan dan pemanfaatan infrastruktur intelektual. Maksudnya, lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan segenap sumber dayanya. Kota Semarang memiliki beberapa PTN (Undip, Unnes, dan IAIN) dan banyak PTS (Unissula, Unika Soegijapranata, Untag, USM, dan lain-lain). Selain itu juga perpustakaan, museum, pusdiklat, kursus, serta pondok-pondok pesantren.

Untuk penanganan rob dan banjir yang saat ini melanda kota Semarang, Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) sebetulnya sudah merintis pertemuan dengan Kementerian PU di Jakarta. Waktu itu dicapai kesepakatan bahwa grand design untuk mengatasi rob dan banjir akan disusun oleh tim dari Undip, berkoordinasi dengan berbagai pihak, khususnya Pemprov Jawa Tengah dan Pemkot  Semarang.

Alternatif-alternatif seperti dam lepas pantai gagasan Ir John Wirawan, tanggul sepanjang pantura a la Korea Selatan, pembangunan Waduk Jatibarang, polder Kali Banger, normalisasi sungai, sumur biopori, dan lain-lain perlu dibuka dan dipadukan secara holistik. Melalui pelibatan infrastruktur intelektual diharapkan dapat disaring, dikaji, dan kemudian dipilih alternatif terbaik, dengan pelaksanaan secara bertahap.
Ruang Tata Hijau Dalam upaya menuju kota renaisans, perencanaan dan pembangunan kota tidak boleh lagi terlalu terfokus pada aspek prosedural tetapi harus lebih menukik pada aspek substansial.

Untuk kota Semarang, yang terasa mendesak untuk ditanggulangi, sesudah masalah rob dan banjir, adalah sistem transportasi atau sirkulasi lalu lintas. Kota itu mirip dengan organisme atau jasad  hidup. Jaringan transportasi dapat diibaratkan seperti otot-otot di tubuh yang mengalirkan darah agar bisa selalu lancar menuju ke berbagai bagian tubuh.
Selain itu, tidak kalah penting dalam penciptaan kota renaisans adalah yang berkaitan dengan Gerakan Hijau, yang diistilahkan oleh Patricia Martin dengan sebutan environmentally progressive cities.

Ketentuan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 bahwa tiap kota wajib menyisihkan 30% dari lahan kota untuk ruang terbuka hijau (RTH) wajib ditaati. Itu saja tidak cukup karena harus diatur persebaran atau distribusinya, tata lingkungannya, jenis tanamannya, dan perabot tamannya. Untuk kota Semarang dan Surakarta wajib dipegang teguh ketentuan tentang koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB) demi keserasian lingkungan.

Penyelenggaraan sayembara-sayembara perancangan kawasan seperti Pasar Johar (Semarang) dan perancangan koridor Jalan Jenderal Soedirman antara Keraton Kasunanan an Pasar Gede (Solo), layak dapat acungan jempol. Melalui sayembara perancangan yang profesional semacam itu diperoleh paling tidak dua manfaat.

Pertama; diperoleh alternatif-alternatif segar, bahkan bisa di luar dugaan. Kedua; dapat menjadi wahana menggalang partisipasi masyarakat secara aktif, sebagai wujud demokratisasi perencanaan dan pembangunan kota. (10)
                                                     
— Eko Budihardjo, guru besar Arsitektur dan Perkotaan Undip, Ketua Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang

Wacana Suara Merdeka 21 Desember 2010