20 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Fenomena Modal Masuk Asing

Fenomena Modal Masuk Asing

Cadangan devisa Indonesia akan segera menembus 100 miliar dollar AS. Jumlah yang dianggap sangat aman dan bahkan lebih dari memadai untuk kebutuhan menjaga diri perekonomian dan menjaga stabilitas rupiah.
Kenaikan cadangan devisa sebesar 25 miliar dollar AS tahun ini disebabkan surplus neraca pembayaran yang cukup besar dan mayoritas berasal dari aliran modal asing dalam bentuk portofolio. Derasnya arus modal portofolio global ke Indonesia jelas membawa manfaat, tetapi juga risiko. Dengan meningkatnya pasokan devisa, rupiah menguat dan akan menurunkan inflasi, sumber pembiayaan anggaran pemerintah lebih murah, dan tersedianya sumber pembiayaan untuk investasi di dalam negeri.
Risikonya adalah penggelembungan aset dan overshoothing nilai tukar, mengurangi daya saing, dan meningkatnya kerentanan terhadap krisis. Arus modal saat ini juga terlalu besar dibandingkan kemampuan pasar keuangan domestik untuk dapat menyerapnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan di sektor riil, khususnya investasi dan perdagangan, untuk menyerapnya.
Fenomena dan respons
Pascakrisis global 2008-2009, aliran modal masuk (capital inflows) negara berkembang (emerging markets/EM) meningkat sangat besar, didorong baik oleh ekses likuiditas global dan lambatnya pemulihan ekonomi negara maju maupun laju pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, perbedaan suku bunga yang besar, dan ekspektasi apresiasi nilai tukar. Derasnya aliran modal masuk didorong juga oleh langkah lanjutan pelonggaran Bank Sentral AS (the Fed) dan Bank Sentral Jepang (BOJ) yang menambah likuiditas global.
Selama 2010, arus modal masuk ke EM sangat besar dan diperkirakan berlanjut pada 2011. Modal masuk swasta ke EM diperkirakan meningkat dari 581,4 miliar dollar AS (2009) menjadi 825,0 miliar dollar AS (2010) dan 833,5 miliar dollar AS (2011).
Beberapa negara melakukan respons terhadap derasnya aliran modal asing dengan berbagai kebijakan. Brasil menaikkan pajak transaksi finansial terhadap pembelian obligasi lokal oleh pelaku asing dari 2 persen ke 4 persen (5 Oktober 2010), kemudian dari 4 persen ke 6 persen (18 Oktober 2010). Kenaikan tak berlaku untuk saham. Thailand mengenakan pajak 15 persen atas bunga dan keuntungan (capital gain) dari kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah, berlaku efektif 13 Oktober 2010.
Bank Sentral Korea (BoK) mengetatkan limit kontrak derivatif, untuk bank domestik menjadi 50 persen dan untuk asing diturunkan jadi 250 persen dari 300 persen. Transaksi valuta asing untuk korporasi yang menggunakan transaksi derivatif juga dibatasi jadi 100 persen dari 125 persen dari nilai transaksi. Pinjaman dalam valuta asing hanya diperkenankan untuk korporasi yang beroperasi di luar negeri.
Bank Sentral China (PBoC) kembali menaikkan cadangan di bank sentral (reserve ratio/RR) 50 basis poin (bps) jadi 17,5 persen untuk enam bank terbesar. Kenaikan diberlakukan sementara (dua bulan) untuk kemudian akan dikembalikan ke level semula. Sepanjang 2010, PBoC telah menaikkan RR empat kali mulai Januari 2010. Bank Sentral Peru ( BCRP) menaikkan RR baik untuk mata uang domestik maupun asing, berlaku Oktober 2010. RR untuk simpanan dalam mata uang domestik dan asing dinaikkan dari 8,5 persen jadi 9,0 persen. BCRP juga menaikkan marginal requirement untuk simpanan dalam mata uang lokal jadi 25 persen dari 15 persen, sementara simpanan valas dari 50 persen menjadi 55 persen.
Kebijakan pengendalian arus modal masuk dengan penerapan pajak, meski dipergunakan di beberapa negara, secara empiris hasilnya tak sesuai dengan tujuannya. Gillingham and Greenlees (1992) serta Burman dan O’Hara (1994) meneliti dampak perubahan tingkat pajak atas capital gains dalam jangka panjang.
Dengan menggunakan data time series dan data mikro di AS, studi menunjukkan kenaikan tingkat pajak atas capital gains justru mengakibatkan pembalikan aliran modal dan penurunan penerimaan pajak. Saham korporat jauh lebih responsif terhadap kebijakan perpajakan dibandingkan aset lain yang memiliki biaya transaksi tinggi. Meski demikian, jika ada pilihan instrumen pajak untuk mengendalikan, Burman dan Randolph (1994) menemukan bahwa penggunaan kebijakan pajak secara sementara (transitory) memberikan efek yang lebih baik daripada yang bersifat permanen.
Respons Indonesia
Selama 2010, arus masuk modal portofolio sebagian besar masuk ke Surat Berharga Negara (SBN). Meningkatnya arus modal masuk ke SBN memberi manfaat. Pertama, sebagai sumber penting pembiayaan fiskal. Kedua, menurunkan biaya bunga bagi penerbitan obligasi swasta. Namun, meningkatnya pangsa asing di SBN menimbulkan risiko kerentanan pasar domestik terhadap kejutan dari luar dan pembalikan ”kepercayaan” terhadap prospek ekonomi makro. Dibandingkan negara-negara di tingkat regional, pangsa kepemilikan asing di SBN di Indonesia merupakan yang tertinggi (28,3 persen).
Meningkatnya arus modal ke SBN dapat berlanjut karena masih menarik dibandingkan obligasi negara lain. Di lain pihak, jika imbal hasil SBN terus menurun (di bawah 7 persen) akan berpotensi mendorong perbankan melepas SBN dan meningkatkan penanaman ke SBI.
Menghadapi arus modal masuk, BI dan pemerintah perlu menempuh bauran kebijakan yang lebih terkoordinasi. Mengakomodasi nilai tukar yang fleksibel dengan menjaga apresiasi dan volatilitas rupiah adalah benar. Namun, menjaga rupiah pada level sekarang perlu biaya moneter terlalu besar. Saya cenderung intervensi BI dikurangi.
Memupuk cadangan devisa, perlu untuk memperkuat daya tahan perekonomian. Cadangan devisa 100 miliar dollar AS sudah dianggap extra insurance. Perlu dipikirkan penggunaannya ke sektor produktif, misalnya menghimpun dana infrastruktur nasional ataupun negara-negara ASEAN lain.
Menempuh pengelolaan likuiditas secara selektif sudah benar, misalnya memperpanjang waktu kepemilikan SBI, menaikkan GWM sementara, dan memperkecil peluang pihak asing mengakumulasi SBI. Kebijakan ”pengaturan terhadap lalu lintas modal asing” dan secara ketat terus melakukan ”monitoring” terhadap arus modal asing, agar stabilitas moneter dan sistem keuangan tetap terjaga, tetap diperlukan. Saya setuju dengan langkah ini meski harus ada komunikasi yang baik dengan pelaku pasar dan perbankan sehingga tidak ada kesan dilakukan kontrol devisa dan menghalangi bank ekspansi.
Di sisi fiskal, pre-financing obligasi pemerintah sesuai UU APBN-P 2010 seharusnya dapat dilakukan untuk pemenuhan target pembiayaan tahun depan. Peningkatan penerbitan saham perdana yang sebagian besar ditujukan untuk investasi terus didorong. Penerbitan obligasi korporasi perlu diperluas. Penerbitan seri baru obligasi dan saham perlu untuk menambah pasokan instrumen pasar modal sehingga dapat menghindari terjadi ”gelembung” di pasar modal.
Pengendalian arus modal masuk tanpa dibarengi perbaikan di sektor riil akan saja tetap sia-sia. Masuknya arus modal asing tampaknya akan terus terjadi pada 2011 dan jika kita tidak siap menghadapinya, termasuk rencana kontingensi, risiko pembalikan modal akan menghadang.
Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FEB-UGM, dan Direktur Lembaga Penelitian dan Pelatihan FEB-UGM, Yogyakarta

Opini Kompas 21 Desember 2010