20 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Gayus dan Remunerasi Polri

Gayus dan Remunerasi Polri

PEMERINTAH bersama DPR pada 15 Desember lalu menyepakati pemberian remunerasi kepada enam lembaga pemerintah yaitu TNI, Polri, Kementerian PAN, Kementerian Kesra, Kementerian Polhukam, dan Kementerian Pertahanan. Kebijakan ini menindaklanjuti program remunerasi yang telah diberikan kepada beberapa departemen pada tahun lalu.

Menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, remunerasi merupakan bagian dari kebijakan reformasi birokrasi dalam rangka meningkatkan kinerja aparatur pemerintah demi terwujudnya clean and good governance. Melalui kebijakan ini, sebagaimana menjadi filosofi adanya remunerasi maka pemberian imbalan atau gaji akan ditata kembali dengan mengaitkannya pada sistem penilaian kinerja.

Remunerasi dalam paradigma tugas polisi, merupakan keniscayaan. Setidaknya bila ini dikaitkan dengan profesionalisme, yang berarti kesiapan melaksanakan tugas sesuai dengan komitmen visi dan misi yang diamanatkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengukur profesionalisme, menurut Sullivan, pakar ilmu kepolisian dan kriminolog dari Amerika Serikat, dapat dilihat dari tiga parameter, yaitu motivasi, pendidikan, dan penghasilan. Agar diperoleh penegak hukum (termasuk polisi) yang baik, haruslah dipenuhi prinsip Well MES, yaitu well motivation (motivasi yang bagus), well education (pendidikan yang baik), dan well salary (gaji yang layak).

Terkait dengan remunerasi bagi polisi maka gaji yang layak memang seharusnya jadi perhatian pemerintah dan menjadi bagian komprehensif dari political will ke arah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik. Meskipun sejatinya alasan ini menjadi bahan perdebatan, mengingat ”yurisprudensi” kasus Gayus. Gayus yang memeroleh remunerasi dengan penghasilan per bulan antara Rp 8 juta dan Rp 10 juta, masih saja melakukan tindakan abuse of power. Gayus sepertinya telah mematahkan hipotesis bahwa gaji besar lewat program remunerasi di Ditjen Pajak bisa menghasilkan kinerja yang bagus.

Selama ini, kecilnya take home pay polisi tetap menjadi salah satu alasan mengapa polisi terjebak dalam berbagai penyimpangan yang dikeluhkan masyarakat. Gaji bintara polisi dengan masa kerja 0 tahun Rp 1,3 juta, sedangkan gaji jenderal polisi dengan masa dinas 32 tahun Rp 3,4 juta. Jumlah ini sangat timpang bila misalkan dibandingkan dengan gaji pegawai perbankan. Padahal di tingkat ASEAN, gaji polisi dengan pangkat terendah pasti lebih besar dibanding pegawai perbankan dengan golongan dan masa kerja yang sama.
Dalam Kebimbangan Meskipun garis kebijakan kepolisian tidak pernah memberi toleransi atas perbuatan yang merugikan citra institusi dengan dalih apapun. dalam kondisi seperti ini, maka secara alami terbangun kelompok polisi yang idealis dan polisi nonidealis.

Kelompok idealis sangat menjunjung tinggi nilai dan pedoman hidup yang diajarkan melalui Tri Brata dan Catur Prasetya. Meskipun belum ada penelitian khusus tentang hal ini, pada perkembangannya sesuai dengan tuntutan reformasi, dari tahun ke tahun jumlah polisi dalam kelompok ini meningkat kuantitasnya. Hal ini didasari pada kondisi derasnya tuntutan masyarakat secara faktual, sehingga menjadi hal yang kontraproduktif bila polisi tetap berada dalam paradigma pada era sebelum reformasi.

Adapun keberadaan polisi nonidealis, masih dalam konstruksi kebimbangan melihat das sollen dan das sein eksistensinya. Jadi adanya remunerasi mempunyai implikasi besar bagi perubahan institusi karena paradigma idealis dan nonidealis tereduksi oleh substansi dari remunerasi, yaitu terciptanya aparatur pemerintah yang bersih. Dengan berpijak pada pemahaman ini maka setelah menerima remunerasi, tidak ada lagi toleransi bagi anggota polisi yang mencederai tugas pokoknya untuk menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Masyarakat tentunya berhak untuk mendelegitimasikan kembali kebijakan remunerasi yang jelas-jelas menguras keuangan negara. Jangan sampai program ini menjadi kebijakan ”makan tulang di atas kemiskinan” rakyat Indonesia.

Sejatinya bukan hal yang sulit mewujudkan kinerja polisi yang profesional, karena kuncinya terletak pada kemauan yang dipelopori pemangku kebijakan internal kepolisian dan dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan. (10)

— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota

Wacana Suara Merdeka 21 Desember 2010