K. Muhamad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, mahasiswa program doktor Religious Studies UIN Bandung
Gagasan ini muncul ketika saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Teun A. Van Dijk, seorang ahli pengamat media di University of Amsterdam, Belanda, berjudul Ethnic Minorities and The Media: Changing Cultural Boundaries yang diterbitkan Open University Press, United Kingdom.
Gagasan yang disampaikan buku ini sangat menarik. Menurutnya, tanpa disadari kita sering berucap, berpikir, dan bertingkah melakukan rasisme “gaya” baru. Bahkan perilaku seperti itu kerapkali juga dilakukan tanpa disadarinya oleh para jurnalistik di dalam menulis berita di media, dan para elite pemerintah dalam membuat kebijakan.
Jika menilik sejarahnya, wacana rasisme gaya baru ini sebenarnya sudah mulai mencuat digagas pada era 1980-an sebagai level praktis terhadap perubahan-perubahan dalam hakikat hegemoni dan ketidaksejajaran etnik di dalam masyarakat multikultur kontemporer.
Rasisme “gaya” baru berfokus pada perbedaan-perbedaan kultural, pada ketidaksempurnaan kultural dan bukan pada inferioritas atau superioritas biologis-genetis seperti apa yang digagas rasisme gaya lama.
Dalam rasisme gaya baru ketidaksejajaran tidak diwujudkan dengan menindas secara fisik kelompok lain seperti apa yang dilakukan oleh perilaku rasisme gaya lama, melainkan dengan menciptakan kerugian sosial dan psikologis.
Tanpa kita sadari di setiap kali kita ketemu atau berhadapan dengan seseorang, kelompok yang berbeda, kita akan menjaga jarak bahkan mungkin berkata-kata dengan cibiran. Sebagai contoh pola berpikir rasisme “gaya” baru adalah pola berpikir yang mengatakan bahwa kemiskinan yang melanda masyarakat pedalaman Indonesia diakibatkan karena mereka bodoh, eksklusif, dan tidak beradab, atau ketika kita bertemu dengan mereka yang berasal dari pedalaman Indonesia selalu mengatakannya dengan orang terasing, orang tradisional, orang terbelakang, orang kolot, antimodernisasi, dan istilah-istilah lainnya yang diskriminatif.
Teun A. Van Dijk mengatakan rasisme model baru selalu menjadikan tiga pola berpikir sebagai pijakan: mereka berbeda, mereka menyimpang, dan mereka adalah ancaman. Dalam rasisme gaya baru, perbedaan-perbedaan selalu dianggap sebagai hal yang melanggar norma dan aturan kelompok dominan. Karena itu, penyadaran dan usaha penyeragaman adalah merupakan keharusan bahkan mungkin kewajiban.
Lebih lanjut ia mengatakan pola berpikir rasis gaya baru tersebut juga semakin mengkristal karena disebabkan oleh peranan media yang lebih memihak pada mereka yang dominan. Pemegang kuasa dengan aturan mainnya selalu menjadikan media sebagai alat pembinasaan atau klaim negatif atas mereka yang minoritas yang patut diselamatkan.
Buah dari cara itu menjadikan pola berpikir kita memandang yang minoritas sebagai mereka yang salah, menyimpang, dan harus berhati-hati terlebih ketika permasalahan itu menyangkut hal yang sangat substansial terkait dengan teologi atau keimanan.
Hal ini terjadi karena rasisme gaya baru bahkan yang lama sekalipun adalah wujud dari kurangnya bahan informasi kita terhadap mereka yang minoritas itu. Klaim negatif atas minoritas itu semakin menjadi-jadi akibat kurangnya kesempatan mereka mengakses ke media. Karena itulah mereka tidak bisa berekspresi secara leluasa untuk membela diri atau membantah segala tuduhan.
Karena itu, tugas selanjutnya yang mahapenting adalah bagaimana kita harus berpikir ulang dan tentunya tidak gegabah dalam melakukan justifikasi atas mereka yang berbeda dengan kita. Mungkin saja pada diri mereka yang minoritas, tradisional, bahkan kolot itu banyak tersimpan local wisdom (kearifan lokal) yang harus kita pelihara dan rawat agar senantiasa hidup dan menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia.
Kalau pola berpikir bijak itu terus kita pupuk, rawat dan selalu menjadi ikhtiar dalam tindakan seluruh manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan identitasnya, anggota keluarganya hanya karena berbeda—baik itu terkait dengan budaya, kepercayaan, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya.
Juga tak akan ada lagi rumah dan harta benda yang musnah dan hilang dijarah, dibakar hanya karena perbedaan identitas. Bukankah para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan nilai untuk selalu bersikap ramah kepada siapa pun sebagai ciri identitas kita sebagai orang Timur.
Opini Lampung Post 11 Desember 2010