Heboh soal sistem monarki dalam rangka pemilihan/penetapan Gubernur Yogyakarta menyiratkan perjalanan politik, khususnya otonomi daerah (Otda), tidak bisa diharapkan sepi dari ujian di tengah dinamika NKRI mencari jati diri. Situasi bisa mendadak bergolak karena kekecewaan rakyat setempat akibat yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, yang telah dinyatakan memiliki keistimewaan karena sejarah asal-usul keterlibatannya dalam pembentukan NKRI, tiba-tiba sebagian wewenang sultannya akan dicabut. Letupan-letupan kecil bisa menjadi ledakan-ledakan besar yang memerlukan waktu lama meredamnya.
Kasus Aceh sebaiknya menjadi pelajaran. Wilayah ini menjalankan perang hebat melawan penjajahan Belanda secara terus-menerus selama hampir 70 tahun (1873-1942). Dia melakukannya demi kepentingan bangsa dan agama. Tetapi setelah menjadi bagian NKRI, kemudian pada 1976 di Aceh bangkit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menginginkan Aceh lepas, mungkin antara lain karena merasa tidak sreg dengan perlakuan pusat. Perdamaian baru tercapai pada 2005, setelah konflik hampir 30 tahun. Sekarang, seandainya keistimewaan dan wewenangnya ada yang dicabut--misalnya pemberlakuan hukum syariah karena pusat menganggap sistem itu tidak berlaku seragam dengan di daerah-daerah lain--dapat dibayangkan apa yang bisa terjadi. Dalam pembukaan buku Perang Kolonial Belanda di Aceh (1977), Gubernur Aceh A Muzakkir Wallad mengutip filsuf kenamaan Schopenhauer yang pada 1818 menulis: "Only through history does a nation become completely conscious of itself," atau "Hanya melalui sejarahlah suatu bangsa dapat sepenuhnya sadar akan dirinya".
Protes-protes daerah yang terjadi sejauh ini tak pelak makin meningkatkan rasa hormat kita kepada para founding fathers yang sejak awal melihat kemungkinan terganggunya keutuhan bangsa dan negara mengingat tingginya heterogenitas. Jumlah penduduk pun terus meningkat (menjadi sekitar tiga kali lipat sejak kemerdekaan) dengan keragaman tradisi dan budaya tersebar di ribuan pulau terserak di wilayah demikian luas. Untuk kemungkinan terjadinya miskomunikasi yang bisa mengakibatkan disintegrasi, sistem musyawarah mufakat disertakan dalam falsafah negara. Mereka berkeyakinan, atau paling tidak mengharapkan, semua permasalahan bisa diatasi dengan jalan berembuk. Karena itu, kemampuan menyampaikan dan mendengarkan pesan menjadi tuntutan bagi semua pihak, terutama kalangan politisi. Jangan rakyat dibuat kacau karena lemahnya komunikasi antarkalangan politisi.
Jauh panggang dari api
Cita-cita founding fathers tentang otda masih jauh panggang dari api, padahal disintegrasi selalu membayangi. Tokoh yang mendapat sebutan Arsitek Otonomi Daerah, Prof Dr Ryaas Rasyid, pernah mengatakan, memahami soal otda tidak cukup hanya dengan membaca undang-undangnya. Kita harus tahu falsafah, konsep dasar, strategi pelaksanaan, serta monitoring-nya. Menteri Negara Otonomi Daerah RI masa pemerintahan Abdurrahman Wahid itu menambahkan, dalam posisi strategisnya waktu itu, dia mengusulkan sekitar 200 keppres dan 30 peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otda. Penjelasannya: tanpa ada bimbingan dan pengawasan, peraturan untuk menjalankannya saja tidak akan mencukupi. Distorsi pelaksanaan otda bukan karena substansi undang-undangnya, tetapi pada pelaksanaannya.
Ryaas Rasyid sejak 25 Januari tahun ini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Tentang pemilu kada, yang juga mencerminkan perkembangan sistem otda, Ryaas pernah menyatakan bahwa faktor-faktor emosional lebih banyak berbicara daripada pemikiran rasional. Tiap kali diselenggarakan pemilu atau pemilu kada, selalu ada salah satu pihak yang tidak bisa menerima hasilnya. Sikap itu didasari emosi, bukan rasio.
Sultan Hamengku Buwono X, dalam buku Merajut Kembali Keindonesiaan Kita (2007) menyatakan, UU No 22/1999 dan No 25/1999 mengenai Otda, memberikan harapan besar bagi daerah-daerah. Tetapi pesimisme timbul karena banyaknya 'blank cheque' berupa peraturan pelaksanaan yang masih harus dibuat. Maka, otda yang benar-benar utuh belum dapat segera dilaksanakan dengan baik. Apalagi belum ada kesediaan pemerintah untuk memberikan pembagian kekuasaan dan pendapatan serta pemberdayaan administrasi regional yang selama ini bersifat monolitis sentralistis.
Sultan HB X menambahkan, "Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai tanggapan dalam menafsirkan dan mengimplementasikannya. Dengan demikian, jika sering terjadi euforia yang berlebihan di daerah, dapatlah dimaklumi. Bahkan sebagian orang mengkhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa karena munculnya regionalisme atau daerahisme."
Pendidikan partai politik
Partai-partai politik memiliki peran penting sebagai penyalur aspirasi rakyat. Seyogianya, lewat wakil-wakilnya di DPR/DPRD, mereka mampu mencegah tumbuhnya benih-benih disintegrasi. Jangan malahan menyampaikan keterangan sepenggal-sepenggal yang bisa menimbulkan masalah. Untuk itu, perlu pendidikan politik oleh segenap partai politik bagi anggota-anggotanya dan, secara tidak langsung, bagi masyarakat umum. Sikap ini membantu mencegah terjadinya konflik-konflik disintegrasi. Pendidikan itu perlu mengingat latar belakang yang tidak merata, khususnya di bidang pendidikan politik.
Pendidikan politik membantu membangun demokrasi yang bersubstansi; bukan sekadar demokrasi prosedural yang menentukan kalah-menang berdasarkan jumlah angka yang diperoleh. Selain itu, pendidikan politik diharapkan memberikan kesempatan kepada para anggota partai politik untuk bersikap lebih aktif dalam--mengutip Ryaas Rasyid--"...proses deliberasi, diskursus, dan perdebatan. Maka besar harapan forum-forum DPR/DPRD akan menjadi tempat lahirnya negarawan-negarawan yang bijaksana. Mungkin dengan cara itu, kekurangan negarawan secara berangsur akan bisa teratasi."
Pada waktu ini banyak dibicarakan politik uang yang dipakai partai-partai politik untuk membeli suara rakyat. Ini pun bentuk korupsi oleh pelaku-pelaku politik yang meracuni nilai-nilai moral para konstituen, yang banyak di antaranya memang selalu membutuhkan keuntungan instan dalam perhelatan politik bentuk apa pun. Ini antara lain menjawab, mengapa pihak yang kalah dalam pemilu atau pemilu kada bersikap sangat emosional. Mungkin bukan hanya karena kekalahan yang diderita, tetapi juga karena mempertimbangkan jumlah dana yang menguap dalam proses pertarungan. Semua itu kasatmata dan dirasakan oleh rakyat. Lebih-lebih setelah yang menang pun kemudian dengan lancang dan berani melakukan korupsi untuk mengembalikan dana yang hilang pada saat pemilihannya.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan, disintegrasi yang diantisipasi founding fathers rasanya terjadi terutama bukan karena ulah atau keinginan rakyat NKRI, tetapi akibat sikap elite politik/bisnis yang menggunakan kelemahan sistem politik dan pemerintahan untuk menghimpun kekuasaan/keuntungan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mungkin sudah saatnya reformasi sikap mulai dilakukan kalangan politisi yang selama ini terkesan menomorduakan kepentingan rakyat.
Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 10 Desember 2010